Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

sains

Menuju Anak Singkong Versi 2.0

Dosen Universitas Jember menyulap singkong jadi beras. Bentuk dan rasa serupa, kandungan gizinya bisa ditambah, melebihi beras asli.

4 Juli 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Asap mengepul ketika seorang mahasiswa membuka penanak itu. Aroma nasi hangat menyeruak, membuat sudut Laboratorium Biokimia Fakultas Pertanian Universitas Jember, Jawa Timur, dua pekan lalu, berbau warteg. Sekilas, tidak ada yang asing dengan nasi sumber harum itu. Tapi, dilihat lebih saksama, warnanya tidak putih bersih. Sedikit bercampur krem dan kuning, mirip nasi jagung. Kalau dikunyah agak lengket, seperti beras ketan, tapi rasanya tidak beda dengan nasi putih.

Nasi itu bukan dari beras biasa, melainkan terbuat dari singkong atau Manihot esculenta—juga disebut ubi kayu atau ketela. Peraciknya Achmad Subagio, pakar pangan dan pertanian Universitas Jember.

Subagio memulai riwayat beras itu dari penelitian, berangkat dari data yang meresahkan. Konsumsi beras Indonesia membubung hingga 139,7 kilogram per orang per tahun. Jauh di atas konsumsi ideal 87,4 kilogram. Bahkan Jepang, yang penduduknya juga makan nasi sebagai makanan pokok, berada di posisi 50 kilogram.

Beras jadi sumber karbohidrat yang paling banyak diandalkan penduduk Indonesia, 77,06 persen. Ini diikuti terigu, 17,03 persen. Bahan lain seperti jagung, umbi, dan ketela hanya rutin dikonsumsi sekitar 1 persen. Kemaruk beras mengancam ketahanan pangan. ”Ketika ada gejolak produksi padi, posisi kita rapuh,” kata Subagio kepada Tempo dua pekan lalu. Terlebih posisi ”sekondan” ditempati bahan yang didatangkan dari luar negeri.

Subagio, 42 tahun, melirik singkong. Sejak kecil dia akrab dengan tanaman ini karena ayahnya pembuat getuk lindri, kue tradisional yang terbuat dari bahan yang sama.

Singkong jadi pilihan karena produksinya berlimpah, 21 juta ton per tahun. Lebih dari separuh target produksi beras tahun ini, 37 juta ton. Tanaman kaya karbohidrat ini, menurut Subagio, tahan banting dan bisa dikembangkan secara massal, bahkan di lahan kering.

Ilmuwan asal Kediri, Jawa Timur, ini memulai penelitian pada 2004. Riset awal tidak mulus karena tak ada zat perekat pada singkong. Kalau dimasak, tepung lumer seperti bubur. Setelah tiga tahun, dia menghasilkan tepung singkong modifikasi atau modified cassava flour, Mocaf.

Berbeda dengan tepung singkong biasa, Mocaf melalui tahap fermentasi sehingga memiliki mikroba yang meningkatkan derajat kekentalan, daya larut, dan daya rekat. Mikroba juga menghasilkan asam laktat untuk menghilangkan bau basi yang sering muncul dari produk olahan singkong, seperti gaplek. Keunggulan lainnya adalah tidak mengandung protein gluten, sehingga aman dikonsumsi penderita alergi gluten, seperti autisme. Komposisinya 88 persen pati (unsur utama penyusun karbohidrat), 7 persen air, 2,5 persen serat, 1 persen protein, 1 persen abu, dan 0,5 persen lemak.

Setelah berhasil membuat mi dan roti, Subagio berkonsentrasi memodifikasi singkong jadi beras sejak awal tahun ini. Mocaf dicampur dengan beras dan protein kedelai terisolasi atau ISP—dengan perbandingan 70 dan 30—di mesin serupa blender berkecepatan 17.500 putaran per menit. Hasil adonan dimasukkan ke mesin ekstruder, yang biasa digunakan untuk mencetak mi. Adonan panjang lalu dipotong jadi ukuran setengah sentimeter, seukuran butir beras.

Selanjutnya butiran dimasukkan ke mesin uap selama sepuluh menit, dan terakhir dipanaskan dalam oven 60 derajat Celsius selama sehari. Hasilnya mirip pelet, makanan ternak, yang berwarna kekuningan. Keras seperti beras. Cara memasaknya pun tak berbeda. Untuk menghilangkan warna kuning, perlu campuran beras putih saat menanak.

”Produksi sudah hampir rampung, 95 persen,” kata Subagio. Nantinya ujung beras tiruan akan diperhalus sehingga meruncing layaknya beras asli. Dia meminta relasi di Universitas Brawijaya, Malang, membuat mesin cetaknya, yang kelar bulan ini.

Penyempurnaan lain adalah tambahan gizi. Selain memproduksi beras tiruan dengan kandungan nutrisi sama dengan nasi, ada juga varian produk bernilai tambah. Misalnya dengan menambahkan protein, yodium, dan zat besi untuk diberikan ke daerah rawan gizi, atau membubuhkan daun katuk (Sauropus androgynus) guna memperlancar air susu ibu. Ada juga varian yang diperkaya dengan kunyit, sehingga tercipta nasi kuning, dan santan bakal nasi uduk. Karena berbagai kelebihan itu, dia menamai karyanya Beras Cerdas. Doktor lulusan Osaka Prefecture University, Jepang, ini mengatakan beras itu bisa dijual seharga beras putih kelas menengah, sekitar Rp 6.000 per kilogram. Varian khususnya lebih mahal, karena mengandung gizi tambahan.

Badan Ketahanan Pangan Jawa Timur, yang menyokong penelitian Subagio, menilai Beras Cerdas bisa diandalkan untuk mengantisipasi krisis pangan karena didapat dari bahan yang berlimpah. Menurut Kepala Bidang Penganekaragaman dan Konsumsi Pangan, Apriyanto, singkong mumpuni untuk melapis padi, yang kemampuan produksinya terus turun. Tiga tahun terakhir, dia mengungkapkan, 500 ribu hektare sawah beralih fungsi di Jawa, sementara kemampuan sawah yang ada terus menurun seiring dengan berkurangnya unsur hara dalam tanah. ”Saat ini beras masih surplus,” katanya, ”tapi suatu saat pasti akan berkurang.”

Dia mengatakan Beras Cerdas akan diluncurkan pada Hari Pangan Sedunia, 16 Oktober mendatang. Saat ini mereka sedang menguji tingkat penerimaan masyarakat dengan menyebarnya ke beberapa daerah di Jawa Timur, mewakili lima kebudayaan, yaitu Jawa Mataraman, Arek, Pesisir, Pandalungan, dan Madura. Trenggalek jadi proyek percontohan pengembangan Mocaf, bahan baku Beras Cerdas. Sejak 2008, sekitar 1.500 petani singkong di sana diajari memproduksi tepung berlabel Mocaf-T1 itu. Mereka mampu memproduksi sampai 200 ton per tahun. Teknologinya, kata Apriyanto, sederhana dan bisa diterapkan di tingkat usaha kecil dan mikro.

Satu hal yang mengganjal adalah stereotipe. Subagio mengatakan sebagian besar masyarakat Indonesia menganggap singkong, beserta produk turunannya, sebagai makanan orang kere.

Tiwul, misalnya. Gaplek kering yang ditumbuk lalu dikukus ini seolah terkubur zaman setelah dikeroyok donat, Big Mac, dan Whopper. Presiden Soeharto, yang mengandalkan tiwul sewaktu bergerilya di sekitar Yogyakarta pada 1946-1948, sering berpromosi, termasuk saat mengirim 10 ribu ton gogik atau tiwul kering untuk mengatasi bencana kelaparan di Papua pada 1997. Tapi, menurut Subagio, hal ini malah membuat singkong makin identik dengan kesengsaraan.

Pada 1980-an, penyanyi Arie Wibowo bangga memproklamasikan diri sebagai anak singkong lewat lagu Singkong dan Keju. Sekarang siapa tahu masih ada juga yang mau dipanggil anak singkong.

Reza M., Mahbub Djunaidy, Fathurrohman Taufiq

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus