Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak sari-sarinya lantai empat Gedung Aldevco Octagon, Buncit, Jakarta Selatan, sangat ramai Selasa pekan lalu. Biasanya lantai itu hanya ditempati belasan karyawan bagian teknologi informasi PT Agranet Multicitra Siberkom (Agrakom), pengelola portal berita Detikcom. Tapi sore itu sungguh spesial. Semua awak redaksi Detikcom, yang biasanya duduk di lantai dua dan lima, ikut berkumpul di sana. Lima puluhan reporter yang sedang meliput berita di lapangan juga diperintahkan kembali ke kantor.
Semua karyawan Agrakom duduk meriung di ruang rapat. Sebagian besar berdiri karena tak kebagian kursi. Hari mulai gelap ketika Pemimpin Redaksi Detikcom Budiono Darsono membuka pertemuan dengan satu kabar penting. ”Kita akan dibeli Grup Para,” ujar sumber Tempo menirukan ucapan Budiono.
Sebagian karyawan Agrakom terkejut mendengar pengumuman itu. Sontak saja pertanyaan bermunculan dari para karyawan. Sebagian wartawan situs warta digital itu mempertanyakan alasan penjualan perusahaan dan nilai akuisisi. Beberapa awak redaksi lain khawatir akan nasib independensi pemberitaan. Maklum, Grup Para adalah kelompok usaha milik Chairul Tanjung, pengusaha dan orang terkaya ke-12 di Indonesia versi majalah Forbes 2011. Chairul juga aktif sebagai Ketua Komite Ekonomi Nasional bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Ada juga karyawan Agrakom yang bertanya kemungkinan rasionalisasi gaji dan kewajiban wartawan Detikcom mengenakan seragam, seperti awak redaksi Trans TV dan Trans 7 milik Grup Para. Dengan santai Budiono meminta anak buahnya tak khawatir. ”Hanya kepemilikan yang berubah,” ujarnya.
Pertanyaan harga pembelian saham tak terjawab sore itu. Tapi pertemuan Budiono dengan para karyawan dan awak media online itu seolah-olah mengkonfirmasi selentingan desas-desus. Dalam tiga pekan terakhir, para karyawan mendengar kabar nyaring Chairul Tanjung akan membeli Detikcom.
Salah seorang petinggi Grup Para mengungkapkan niat Grup Para membeli Detikcom berawal dari keinginan Chairul Tanjung melengkapi imperium bisnisnya dengan memiliki satu portal berita online. Chairul lewat Grup Para memang sangat ekspansif dalam satu dekade terakhir. Sukses dengan usaha jasa keuangan Bank Mega, Grup Para merambah beraneka ragam bisnis. Di pertelevisian, meski sudah memiliki Trans TV, Grup Para membeli PT Duta Visual Nusantara Tivi Tujuh (TV 7) dari Kelompok Kompas Gramedia dan menjadikannya PT Duta Visual Nusantara (Trans 7) pada 2006.
Selanjutnya Grup Para membeli hak penjualan (franchise) The Coffee Bean & Tea Leaf, mengakuisisi perusahaan jasa perjalanan Anta Tour dan sekaligus menguasai anak usahanya, Vayatour. Grup Para membeli PT Mahagaya Perdana, pemegang hak eksklusif penjualan merek fashion kelas atas, seperti Prada dan Hugo Boss. Grup Para juga mengakuisisi PT Naryadelta Prarthana, pemegang lisensi distribusi es krim Baskin Robbins di Indonesia.
Terakhir kali, melalui usaha konglomerasinya tersebut, Chairul terjun ke bisnis retail dengan mengakuisisi 40 persen saham PT Carrefour Indonesia senilai US$ 300 juta (sekitar Rp 3 triliun) pada April tahun lalu. Belum lagi ekspansinya di bisnis taman hiburan lewat pembukaan Trans Studio Theme Park di Makassar dua tahun lalu dan di Bandung bulan lalu. ”Tapi semua belum lengkap karena Grup Para belum punya portal berita,” ujarnya.
Grup Para pun akhirnya menjadikan Detikcom sebagai incaran paling potensial. Hingga saat ini Detikcom memang paling moncer di jajaran portal berita. Situs pemeringkat layanan Internet, Alexa, menempatkannya di urutan ke-11 dari situs paling banyak dikunjungi di Indonesia. Dari sisi kinerja keuangan, Detikcom juga cukup bersinar dengan meraup pendapatan lebih Rp 120 miliar tahun lalu. Dengan rekam jejak pertumbuhan 40 persen setiap tahunnya, pendapatan Detikcom diperkirakan mencapai lebih dari Rp 160 miliar pada tahun ini.
Rupanya gayung bersambut. Pada saat bersamaan, sebagian pemegang saham Agrakom juga menimbang opsi menjual sebagian kepemilikannya kepada investor yang bisa menopang rencana pengembangan bisnis Detikcom di masa mendatang. Lantaran tak dikendalikan oleh kelompok usaha besar, ujar sumber Tempo lainnya, Agrakom relatif kurang ekspansif. Setiap pengembangan bisnis selalu menghabiskan dana perseroan sehingga rencana lain tak bisa dijalankan sekaligus.
Sejak awal 2009, Chairul Tanjung bolak-balik menyambangi Buncit—sebutan kantor redaksi Detikcom. Beberapa kali pula Budiono—bersama Abdul Rahman dan Calvin Lukmantara mendirikan Detikcom pada 1998—berbalas kunjung ke kantor Chairul di Menara Bank Mega, Tendean, Jakarta Selatan. Semula Grup Para menawar 100 persen saham Agrakom senilai US$ 40 juta (sekitar Rp 344 miliar) sesuai dengan hasil penghitungan Credit Suisse yang disewa Grup Para. Tapi para pemilik Detik menganggap harga itu terlalu murah. Transaksi pun tak terealisasi.
Sebetulnya tak banyak orang tahu rencana Chairul mengakuisisi Detikcom. Kabar yang ramai berembus justru Detikcom akan diakuisisi PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom). Perusahaan telekomunikasi pelat merah itu dikabarkan sempat menawar Detikcom dengan harga yang sama dengan penawaran awal Grup Para. Itu sebabnya, hasilnya pun sama: akuisisi oleh Telkom batal.
Juru bicara Telkom, Eddy Kurnia, membenarkan bahwa direksi Telkom sempat bertemu dengan manajemen Agrakom. Tapi Telkom dan Agrakom sama sekali belum membicarakan rencana akuisisi Detikcom. ”Baru sebatas nanya antarteman, apa dan bagaimana Detikcom itu,” ujar Eddy kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.
Menurut Eddy, Telkom tak punya keahlian mengelola portal berita berbasis jurnalistik. Alhasil, Telkom lebih memilih membangun Plasa.com dan membeli situs jual-beli lewat Internet. ”Kami membangun Mojopia,” kata Eddy. Mojopia—sebenarnya bernama PT Metranet—meluncurkan kembali portal belanja online Plasa.com dengan investasi US$ 2 juta dua tahun lalu.
Tidak seperti Telkom, ternyata Grup Para tak bisa berpaling dari Detikcom. Diam-diam mereka datang lagi dengan penawaran baru tiga pekan lalu. Kali ini harga yang disodorkan sekitar US$ 62 juta (sekitar Rp 533 miliar), hampir sama dengan hasil penghitungan PT Bahana Securities. Perusahaan sekuritas ini pernah diminta direksi Agrakom menghitung nilai Detikcom tahun lalu.
Secepat kilat Grup Para dan pemegang saham Agrakom—Budiono dan kawan-kawan, Tiger Investment, serta Mitsui—menyepakati dilakukannya uji tuntas (due diligence). ”Senin pekan lalu sebenarnya sudah disepakati, tapi harganya belum tuntas,” kata sumber tadi.
Sebagai tanda jadi, Grup Para bersedia membayar uang muka sekitar US$ 20 juta. Jika transaksi sukses, Budiono tetap akan menjabat Pemimpin Redaksi Detikcom hingga 2014. Grup Para dan pemegang saham Agrakom berkomitmen tak akan mengumumkan akuisisi itu hingga seluruh proses beres. ”Kalau ada yang melanggar, transaksi bisa dibatalkan.”
Itu sebabnya, Chairul dan Budiono sama sekali tak merespons upaya konfirmasi yang dilakukan Tempo. Chairul tak mengangkat panggilan ke telepon selulernya. Pertanyaan lewat pesan pendek pun tak dibalas. Budiono saat ditemui di kantornya Jumat pekan lalu juga emoh mengomentari akuisisi Detikcom. ”Belum ada cerita yang bisa saya ceritakan,” ujarnya. Budiono mengaku sedang sibuk mengurus rencana perayaan ulang tahun Detikcom ke-13 pada 9 Juli ini.
Meski begitu, Kepala Hubungan Masyarakat dan Pemasaran PT Televisi Transformasi Indonesia (Trans TV) Hadiansyah Lubis membenarkan rencana Grup Para mengambil alih saham Agrakom. Tapi dia juga menolak menyebutkan nilai akuisisi dan detail proses uji tuntas yang masih berlangsung. Menurut Hadiansyah, aksi korporasi Grup Para sengaja tidak dipublikasikan agar tidak mempengaruhi proses tawar-menawar. ”Nanti harganya tambah naik,” ujarnya seraya tersenyum.
Petinggi Grup Para lainnya membisikkan, Grup Para memang khawatir kejadian tahun lalu, ketika akan mengakuisisi PT Indosiar Visual Mandiri Tbk (pemilik stasiun televisi Indosiar), terulang. Saat itu, ujarnya, akibat berita itu sudah tersebar ke publik dan menjadi rumor di pasar modal, harga saham Indosiar melonjak 143,9 persen dalam sehari. Akibatnya, Bursa Efek Indonesia sempat menghentikan sementara transaksi saham Indosiar di lantai bursa. Grup Para langsung mundur pelan-pelan lantaran harga menjadi terlalu mahal. ”Sebenarnya kami sudah siap mengajukan penawaran Indosiar saat itu,” katanya.
Nah, sekarang, ujar dia, harga final pembelian Detikcom belum diputuskan. Tim dari Grup Para menilai harga yang diminta pemegang saham Agrakom pada kisaran US$ 70 juta (sekitar Rp 602 miliar) masih kelewat mahal. Meski Detikcom berada di baris terdepan portal berita online, Grup Para menilai pangsa pasar bisnis serupa sudah banyak berubah dengan hadirnya portal-portal berita sejenis, seperti Okezone.com milik MNC, Vivanews.com milik Grup Bakrie, dan Beritasatu.com milik Lippo Group.
Tapi, dalam persaingan portal media di masa depan, Grup Para memang harus punya media digital. Kompetitor utamanya, seperti MNC dan Bakrie, sudah memiliki media online yang makin mapan. Jika ingin bersaing dengan dua grup itu, Grup Para memang harus memperluas area kepemilikannya di bisnis media. Bisa jadi akuisisi Detikcom bukan pembelian terakhir Para di bisnis informasi.
Agoeng Wijaya, Anne L. Handayani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo