Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Tikus dan manusia

Seorang peneliti membantah teori perilaku manusia sama dengan tikus. jika hidup berdesakan akan bersifat agresif bahkan ke kanibalisme. buktinya penduduk jawa yang padat tetap ramah.

14 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPULUH tahun yang lalu, untuk memperdalam ilmunya tentang manusia, dia pergi ke kebun binatang. Tiga bulan dihabiskannya waktunya di sana meneliti perilaku binatang menyusui tingkat tinggi, terutama simpanse. Dia bilang, tanpa pengertian yang mendalam tentang binatang menyusui, tentang faktor-faktor biologis yang mendasari perilaku mereka, perilaku manusia yang begitu rumit tidak bisa difahami dengan baik. Dari caranya bekerja, meneliti, berpikir dan menganalisa tak ayal lagi dia ini ilmiawan tulen. Saya masih ingat betul bagaimana ilmiawan tulen ini memelihara belasan tikus putih di rumahnya, dalam kotak-kotak yang ukurannya bisa dirobah. Tikus-tikusnya itu menguatkan teori yang sudah mapan, yakni hubungan kepadatan penduduk dengan agresi. Kata teori, setelah dilewati tingkat kepadatan tertentu, timbul persoalan tekanan jiwa dan agresi. Bila penduduk semakin padat, gejala agresi semakin menampak. Pada binatang tertentu, kegawatan ini bahkan bisa memunck pada kanibalisme. Menurut ilmiawan ini, dengan manifestasi yang berbeda, teori tersebut berlaku pula bagi masyarakat manusia. Maka saya pun banyak kecipratan cerita perihal binatang: tentang eksperimen Calhoun mengenai tikus, tentang kehidupan sosial monyet Afrika oleh Zuckerman dan tentang kasih sayang sesama binatang hasil penelitian Harlow. Ada kalanya dia cerita tentang burung, tentang perilaku teritorial makhluk ini. Untuk apa burung berkicau? Apakah burung berkicau karena gembira menyongsong pagi yang cerah? Atau apakah ia berdendang karena tugas seharian telah usai lalu tetirah di atas dahan? Tidak. Kicau burung jantan adalah kicau politik, kicau maklumat perbatasan. Tersirat dalam kicaunya: hai sahabat, ini daerah saya, bukan daerah burung lain. Dia tahu di mana layak berkicau, di mana memberi peringatan dan di mana harus bungkem. Begitu pun anjing tahu di mana bisa kencing, di mana tidak. Sebelum melepas hajat kecil, anjing mencium dulu calon "W.C."-nya. Daerah mereka ditandai dengan bau kencing. Menghargai sesama berarti menghargai bau kencing. Bagi banyak binatang, teritorial diketahui dengan bantuan hidung. *** Seputar jam delapan malam kami tiba di makam itu, di atas bukit. Bulan remang-remang. Makam yang luas itu kami kelilingi. Seperti mengitari kubu penuh misteri. Di sebelah utara, begitu keluar dari semak terlihat samar-samar sebuah kuburan, di sampingnya sesosok tubuh duduk bersila dengan khidmat. Tercium bau kemenyan. Beberapa menit kemudian berjumpa dengan pemandangan serupa: kuburan dan nisan dengan sosok tubuh yang khidmat. Menghadap ke Selatan, ke kawasan Nyai Roro Kidul, kami (ilmiawan tulen itu dan saya) duduk di atas tangga makam Imogiri yang terkenal itu. Sejak Sultan Agung, dengan segala kebesaran, jenazah ningrat Yogyakarta dan Surakarta diusung melalui ratusan anak tangga ini. "Kunjungan ke Jawa ini betul-betul mengesankan. Mudah-mudahan ada kesempatan lain ke Indonesia. Saya harap ada kesempatan meneliti ke mari." Dia cerita tentang pulau Jawa yang dilhatnya beberapa hari, penuh manusia. Manusia di mana-mana, penuh sesak. Dia cerita tentang kraton, Taman Sari, wayang, Borobudur, motif batik, simbol-simbol dan makam yang menakjubkan. Tapi di atas segalanya itu, sebagai orang asing dan sebagai ilmiawan, dia lebih takjub atas perilaku manusia yang dia amati. "Saya naik bis umum ke Borobudur. Bis berdesak-desak. Saya naik bis ke Prambanan. Juga berdesak desak. Tapi meski begitu, penumpang masih berusaha memberi tempat pada orang lain. Orang tidak marah, tidak jengkel, tidak menggerutu, tidak agresip. Malah masih menolong orang lain, kalau bisa. Ini mengejutkan sekali. Mengapa? Sebuah teori yang sudah mapan menjadi kropos, tidak berlaku lagi. Kepadatan penduduk di Jawa tidak berkorelasi dengan agresi. Penduduk berdesak, tapi orangnya lembut dan ramah. Bebeda sekali dengan tikus. Segera akan saya tulis kepada Dr. Calhoun. Manusia bukan tikus. Kebudayaan penentu konsep tentang ruang." Ia merenung sebentar lalu menyambung: "Bukan maksud saya bahwa masalah kependudukan di sini dapat diabaikan. Bukan. Saya tahu pulau Jawa menghadapi masalah yang gawat, yang perlu ditanggulangi. Kemiskinan, kekurangan tanah, kekurangan sekolah dan fasilitas umum lainnya begitu menyolok." Udara malam semakin dingin. Dalam perjalanan turun kami berpapasan dengan beberapa orang yang menaiki tangga, membawa tikar dan kemenyan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus