SEPULUH tahun yang lalu, untuk memperdalam ilmunya tentang
manusia, dia pergi ke kebun binatang. Tiga bulan dihabiskannya
waktunya di sana meneliti perilaku binatang menyusui tingkat
tinggi, terutama simpanse. Dia bilang, tanpa pengertian yang
mendalam tentang binatang menyusui, tentang faktor-faktor
biologis yang mendasari perilaku mereka, perilaku manusia yang
begitu rumit tidak bisa difahami dengan baik. Dari caranya
bekerja, meneliti, berpikir dan menganalisa tak ayal lagi dia
ini ilmiawan tulen.
Saya masih ingat betul bagaimana ilmiawan tulen ini memelihara
belasan tikus putih di rumahnya, dalam kotak-kotak yang
ukurannya bisa dirobah. Tikus-tikusnya itu menguatkan teori yang
sudah mapan, yakni hubungan kepadatan penduduk dengan agresi.
Kata teori, setelah dilewati tingkat kepadatan tertentu, timbul
persoalan tekanan jiwa dan agresi. Bila penduduk semakin padat,
gejala agresi semakin menampak. Pada binatang tertentu,
kegawatan ini bahkan bisa memunck pada kanibalisme. Menurut
ilmiawan ini, dengan manifestasi yang berbeda, teori tersebut
berlaku pula bagi masyarakat manusia.
Maka saya pun banyak kecipratan cerita perihal binatang: tentang
eksperimen Calhoun mengenai tikus, tentang kehidupan sosial
monyet Afrika oleh Zuckerman dan tentang kasih sayang sesama
binatang hasil penelitian Harlow.
Ada kalanya dia cerita tentang burung, tentang perilaku
teritorial makhluk ini. Untuk apa burung berkicau? Apakah burung
berkicau karena gembira menyongsong pagi yang cerah? Atau apakah
ia berdendang karena tugas seharian telah usai lalu tetirah di
atas dahan? Tidak. Kicau burung jantan adalah kicau politik,
kicau maklumat perbatasan. Tersirat dalam kicaunya: hai sahabat,
ini daerah saya, bukan daerah burung lain. Dia tahu di mana
layak berkicau, di mana memberi peringatan dan di mana harus
bungkem.
Begitu pun anjing tahu di mana bisa kencing, di mana tidak.
Sebelum melepas hajat kecil, anjing mencium dulu calon
"W.C."-nya. Daerah mereka ditandai dengan bau kencing.
Menghargai sesama berarti menghargai bau kencing. Bagi banyak
binatang, teritorial diketahui dengan bantuan hidung.
***
Seputar jam delapan malam kami tiba di makam itu, di atas bukit.
Bulan remang-remang. Makam yang luas itu kami kelilingi. Seperti
mengitari kubu penuh misteri. Di sebelah utara, begitu keluar
dari semak terlihat samar-samar sebuah kuburan, di sampingnya
sesosok tubuh duduk bersila dengan khidmat. Tercium bau
kemenyan. Beberapa menit kemudian berjumpa dengan pemandangan
serupa: kuburan dan nisan dengan sosok tubuh yang khidmat.
Menghadap ke Selatan, ke kawasan Nyai Roro Kidul, kami (ilmiawan
tulen itu dan saya) duduk di atas tangga makam Imogiri yang
terkenal itu. Sejak Sultan Agung, dengan segala kebesaran,
jenazah ningrat Yogyakarta dan Surakarta diusung melalui ratusan
anak tangga ini.
"Kunjungan ke Jawa ini betul-betul mengesankan. Mudah-mudahan
ada kesempatan lain ke Indonesia. Saya harap ada kesempatan
meneliti ke mari."
Dia cerita tentang pulau Jawa yang dilhatnya beberapa hari,
penuh manusia. Manusia di mana-mana, penuh sesak. Dia cerita
tentang kraton, Taman Sari, wayang, Borobudur, motif batik,
simbol-simbol dan makam yang menakjubkan. Tapi di atas segalanya
itu, sebagai orang asing dan sebagai ilmiawan, dia lebih takjub
atas perilaku manusia yang dia amati.
"Saya naik bis umum ke Borobudur. Bis berdesak-desak. Saya naik
bis ke Prambanan. Juga berdesak desak. Tapi meski begitu,
penumpang masih berusaha memberi tempat pada orang lain. Orang
tidak marah, tidak jengkel, tidak menggerutu, tidak agresip.
Malah masih menolong orang lain, kalau bisa. Ini mengejutkan
sekali. Mengapa? Sebuah teori yang sudah mapan menjadi kropos,
tidak berlaku lagi. Kepadatan penduduk di Jawa tidak berkorelasi
dengan agresi. Penduduk berdesak, tapi orangnya lembut dan
ramah. Bebeda sekali dengan tikus. Segera akan saya tulis
kepada Dr. Calhoun. Manusia bukan tikus. Kebudayaan penentu
konsep tentang ruang."
Ia merenung sebentar lalu menyambung: "Bukan maksud saya bahwa
masalah kependudukan di sini dapat diabaikan. Bukan. Saya tahu
pulau Jawa menghadapi masalah yang gawat, yang perlu
ditanggulangi. Kemiskinan, kekurangan tanah, kekurangan sekolah
dan fasilitas umum lainnya begitu menyolok."
Udara malam semakin dingin. Dalam perjalanan turun kami
berpapasan dengan beberapa orang yang menaiki tangga, membawa
tikar dan kemenyan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini