CONDET, Muara Angke, dan Kemayoran bergema di Munchen, Jerman
Barat. Dalam lomba yang diselenggarakan oleh International
Federation of Landscape Architects (IFLA), tiga rencana
arsitektur lansekap untuk tiga kawasan di wilayah DKI Jakarta
itu dinyatakan sebagai Juara bersama, dan meraih hadiah pertama
sebesar 7.500 DM. Ketiga disain tersebut beserta disain lain
yang datang dari sekitar 100 negara, 19-20 September lalu
dipamerkan di kota budaya Jerman Barat itu. Ini merupakan salah
satu acara Kongres IFLA ke-21 .
Kemenangan Indonesia itu cukup mengejutkan. "Disain dari kita
begitu sederhana, sementara dari negara lain begitu hebat,"
tutur Ir. Zain Rachman, ketua Ikatan Arsitek Lansekap Indonesia
(IALI), yang menghadiri kongres tersebut. Dan yang hebat itu,
misalnya, rencana kota bawah air. Tapi para juri agaknya punya
pertimbangan sendiri. Ketiga dlsain yang dirancang para
mahasiswa Fakultas Arsitektur Lansekap Trisakti Jakarta, itu
rupanyadinilai klop dengan tema yang ditentukan: "Alam, Kota,
dan Masa Depan". Dan, juri pun menganggap ketiga disain itu
relevan dengan kebutuhan daerah yang didisain untuk masa kini
dan masa datang.
Rencana Lansekap itu baru di kertas, memang. Tapi sekitar 30
mahasiswa Fakultas Arsitektur Lansekap Trisakti, yang terbagi
tiga kelompok, tidak main-main. Mulai Maret 1983 mereka turun ke
lapangan, mencatat kenyataan yang ada di Condet, Muara Angke,
dan Kemayoran. Dan catatan itu lantas dirancang bagaimana
sebaiknya lingkungan di situ ditata. Bukan cuma dari
keindahannya, tapi juga diperhitungkan faktor manusianya.
Mahasiswa kelompok Condet, yang jumlahnya 11 orang dan diketuai
oleh Lukman Nulhakim, memperoleh data menarik dari Condet.
Misalnya dicatat oeh mereka, tanah pertanian yang subur di
kawasan itu makin menyempit karena bermunculannya bangunan. Dan
penduduk asli, orang Betawi, makin terdesak. Lenyapnya tanah
bagi orang Condet berarti pula lenyapnya pohon-pohon buah
produktif, seperti duku dan salak, yang selama ini merupakan
sumber penghasilan mereka. Benar, persoalan yang ditemukan para
mahasiswa itu bukan baru. Yang baru dari para mahasiswa tersebut
ialah pendekatan mereka terhadap problem itu. Bertolak dari
pendekatan hubungan tradisl yang ada antara orang Condet dan
tanah mereka, diusulkanlah: sebaiknya Condet dibagi menjadi tiga
wilayah. Manfaatnya, mekanisme hidup jadi bisa teratur, dan
secara tak langsung kelestarian tanah - serta sumber penghasilan
- terjamin.
Daerah pertama adalah kawasan sepanjang Sungai Ciliwung yang
menerobos Condet. Daerah im diusulkan menjadi tempat kebun buah.
Daerah tengah, merupakan lokasi untuk kegiatan alami dan
pemukiman. Di sini, tanah subur, yang terletak di antara
tembok-tembok rumah, diusulkan untuk ditanami tumbuhan perdu -
bisa berupa tanaman dapur, bisa pula berupa tanaman obat. Dan
daerah ketiga, yang terletak di sisi timur, barulah merupakan
daerah pasar, pabrik, dan lain-lain. Misalnya, di sini diusulkan
didirikan laboratorium botani. Pohon tentu harus tetap ada.
Cuma, cukup pohon pelindung jalan, seperti asem selon.
Yang juga menarik adalah diusulkannya pasar terapung di pinggir
Ciliwung. Manfaatnya: menghemat tanah dan menyemarakkan daerah
sepanjang sungai.
Dengan pembagian kawasan itu, menurut Irma Mildawati, anggota
kelompok Condet, "Bisa menolong penduduk asli Condet untuk tak
menjual tanahnya." Sebab, para mahasiswa itu pun mendaftar pohon
apa saja, yang mempunyai nilai ekonomis dan kira-kira cocok
ditanam di Condet. Hingga petani Condet bisa punya banyak
pilihan. Selama ini yang ditanam di sana adalah durian, duku,
salak, rambutan, dan mlinjo yang memang merupakan tanaman
tradisional di situ.
Rencana itu tak hanya bermanfaat bai Condet. Juga bagi
lingkungan di sekitarnya karena daerah itu akan berfungsi
sebagai paru-paru wilayah, dan sebagai tandon air. Disain ini
diberi judul: "Pulau Hijau di Tengah Lautan Kelabu".
Dengan prinsip serupa, 10 mahasiswa yang dikoordinasikan Wikrama
Wardhana menggarap disain daerah Kemayoran. Yang digarap ialah
bekas lapangan udara. Pemerintah DKI Jakarta dikabarkan memang
merencanakan akan memindahkan pelabuhan udara ini ke tempat
lain. Dengan judul "Kemayoran: Memfungsikan Kembali Lansekap
buat Masa Depan", daerah ini diusulkan untuk menjadi "hutan
kota". Tentu saja bukan sebuah hutan dengan pohon-pohon raksasa.
Sebab, diusulkan pula adanya pasar dan kegiatan lain. Yang perlu
dihutankan ialah daerah yang kini berumput itu. Adapun jenis dan
fungsi pohon di sini tentu saja berbeda dengan di Condet. Fungsi
pohon di Kemayoran, menurut mereka, sebagai peneduh,
penanggulangan polusi, penanggulangan banjir, stabilisator
struktur tanah, dan untuk keindahan. Tanaman produktif tak ada.
Yang banyak disebut, misalnya, flamboyan, dadap, dan seruni.
Bangunan yang ada kini, ditambah daerah landasan beraspal,
diusulkan sebagai daerah pasar, toko, serta kios.
"Muara Angke: Desa Nelayan Terakhir di Jakarta," itulah judul
disain lansekap untuk daerah pantai itu. Dari ketiga disain
arsitektur lansekap yang menang ini, rasanya, disain untuk Muara
Angke yang paling bagus. Kelompok yang dipimpin Achmad Rivai,
mahasiswa Fakultas Arsitektur Lansekap tingkat V, benar-benar
bertolak dari manusianya - nelayan. Tak banyak sebenarnya yang
diusulkan disain ini. Yang penting, menurut mereka, bila
pemerintah atau siapa saja berniat membangun perumahan bagi
nelayan, lokasinya haruslah di dekat tempat penjemuran ikan. Itu
berarti, rumah mesti didisain agar menerima banyak angin, supaya
tidak amis, bau ikan.
Usul lain untuk Muara Angke: pantai ditanami bambu gombong,
bakau, dan akasia guna menahan erosi pantai.
Bidang arsitektur lansekap sepertinya menjadi penting di tengah
serunya orang berteriak tentang lingkungan hidup. Berbeda dengan
arsitektur yang terutama menggarap bangunan, arsitektur lansekap
- yang fakultasnya baru satu-satunya di Indonesia - mengutamakan
perpaduan serasi antara unsur alami dan buatan. Menurut Zain
Rachman, yang juga mengurus masalah lingkungan hidup di
Indonesia, itulah mungkin yang menguntungkan mahasiswa Trisakti
itu. "Disain kita, kalau mau bertolak dari kenyataan, memang mau
tak mau menyajikan rencana dengan unsur alam yang menonjol,"
katanya. Dan untuk negara-negara maju, yang alami ini memang
sudah susah dicari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini