Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Menyelamatkan betawi dari kerontang

Mahasiswa fakultas arsitektur lansekap trisakti memenangkan 3 disain arsitektur lansekap untuk 3 kawasan di wilayah dki jakarta, yaitu condet, muara angke dan kemayoran. (ilt)

15 Oktober 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CONDET, Muara Angke, dan Kemayoran bergema di Munchen, Jerman Barat. Dalam lomba yang diselenggarakan oleh International Federation of Landscape Architects (IFLA), tiga rencana arsitektur lansekap untuk tiga kawasan di wilayah DKI Jakarta itu dinyatakan sebagai Juara bersama, dan meraih hadiah pertama sebesar 7.500 DM. Ketiga disain tersebut beserta disain lain yang datang dari sekitar 100 negara, 19-20 September lalu dipamerkan di kota budaya Jerman Barat itu. Ini merupakan salah satu acara Kongres IFLA ke-21 . Kemenangan Indonesia itu cukup mengejutkan. "Disain dari kita begitu sederhana, sementara dari negara lain begitu hebat," tutur Ir. Zain Rachman, ketua Ikatan Arsitek Lansekap Indonesia (IALI), yang menghadiri kongres tersebut. Dan yang hebat itu, misalnya, rencana kota bawah air. Tapi para juri agaknya punya pertimbangan sendiri. Ketiga dlsain yang dirancang para mahasiswa Fakultas Arsitektur Lansekap Trisakti Jakarta, itu rupanyadinilai klop dengan tema yang ditentukan: "Alam, Kota, dan Masa Depan". Dan, juri pun menganggap ketiga disain itu relevan dengan kebutuhan daerah yang didisain untuk masa kini dan masa datang. Rencana Lansekap itu baru di kertas, memang. Tapi sekitar 30 mahasiswa Fakultas Arsitektur Lansekap Trisakti, yang terbagi tiga kelompok, tidak main-main. Mulai Maret 1983 mereka turun ke lapangan, mencatat kenyataan yang ada di Condet, Muara Angke, dan Kemayoran. Dan catatan itu lantas dirancang bagaimana sebaiknya lingkungan di situ ditata. Bukan cuma dari keindahannya, tapi juga diperhitungkan faktor manusianya. Mahasiswa kelompok Condet, yang jumlahnya 11 orang dan diketuai oleh Lukman Nulhakim, memperoleh data menarik dari Condet. Misalnya dicatat oeh mereka, tanah pertanian yang subur di kawasan itu makin menyempit karena bermunculannya bangunan. Dan penduduk asli, orang Betawi, makin terdesak. Lenyapnya tanah bagi orang Condet berarti pula lenyapnya pohon-pohon buah produktif, seperti duku dan salak, yang selama ini merupakan sumber penghasilan mereka. Benar, persoalan yang ditemukan para mahasiswa itu bukan baru. Yang baru dari para mahasiswa tersebut ialah pendekatan mereka terhadap problem itu. Bertolak dari pendekatan hubungan tradisl yang ada antara orang Condet dan tanah mereka, diusulkanlah: sebaiknya Condet dibagi menjadi tiga wilayah. Manfaatnya, mekanisme hidup jadi bisa teratur, dan secara tak langsung kelestarian tanah - serta sumber penghasilan - terjamin. Daerah pertama adalah kawasan sepanjang Sungai Ciliwung yang menerobos Condet. Daerah im diusulkan menjadi tempat kebun buah. Daerah tengah, merupakan lokasi untuk kegiatan alami dan pemukiman. Di sini, tanah subur, yang terletak di antara tembok-tembok rumah, diusulkan untuk ditanami tumbuhan perdu - bisa berupa tanaman dapur, bisa pula berupa tanaman obat. Dan daerah ketiga, yang terletak di sisi timur, barulah merupakan daerah pasar, pabrik, dan lain-lain. Misalnya, di sini diusulkan didirikan laboratorium botani. Pohon tentu harus tetap ada. Cuma, cukup pohon pelindung jalan, seperti asem selon. Yang juga menarik adalah diusulkannya pasar terapung di pinggir Ciliwung. Manfaatnya: menghemat tanah dan menyemarakkan daerah sepanjang sungai. Dengan pembagian kawasan itu, menurut Irma Mildawati, anggota kelompok Condet, "Bisa menolong penduduk asli Condet untuk tak menjual tanahnya." Sebab, para mahasiswa itu pun mendaftar pohon apa saja, yang mempunyai nilai ekonomis dan kira-kira cocok ditanam di Condet. Hingga petani Condet bisa punya banyak pilihan. Selama ini yang ditanam di sana adalah durian, duku, salak, rambutan, dan mlinjo yang memang merupakan tanaman tradisional di situ. Rencana itu tak hanya bermanfaat bai Condet. Juga bagi lingkungan di sekitarnya karena daerah itu akan berfungsi sebagai paru-paru wilayah, dan sebagai tandon air. Disain ini diberi judul: "Pulau Hijau di Tengah Lautan Kelabu". Dengan prinsip serupa, 10 mahasiswa yang dikoordinasikan Wikrama Wardhana menggarap disain daerah Kemayoran. Yang digarap ialah bekas lapangan udara. Pemerintah DKI Jakarta dikabarkan memang merencanakan akan memindahkan pelabuhan udara ini ke tempat lain. Dengan judul "Kemayoran: Memfungsikan Kembali Lansekap buat Masa Depan", daerah ini diusulkan untuk menjadi "hutan kota". Tentu saja bukan sebuah hutan dengan pohon-pohon raksasa. Sebab, diusulkan pula adanya pasar dan kegiatan lain. Yang perlu dihutankan ialah daerah yang kini berumput itu. Adapun jenis dan fungsi pohon di sini tentu saja berbeda dengan di Condet. Fungsi pohon di Kemayoran, menurut mereka, sebagai peneduh, penanggulangan polusi, penanggulangan banjir, stabilisator struktur tanah, dan untuk keindahan. Tanaman produktif tak ada. Yang banyak disebut, misalnya, flamboyan, dadap, dan seruni. Bangunan yang ada kini, ditambah daerah landasan beraspal, diusulkan sebagai daerah pasar, toko, serta kios. "Muara Angke: Desa Nelayan Terakhir di Jakarta," itulah judul disain lansekap untuk daerah pantai itu. Dari ketiga disain arsitektur lansekap yang menang ini, rasanya, disain untuk Muara Angke yang paling bagus. Kelompok yang dipimpin Achmad Rivai, mahasiswa Fakultas Arsitektur Lansekap tingkat V, benar-benar bertolak dari manusianya - nelayan. Tak banyak sebenarnya yang diusulkan disain ini. Yang penting, menurut mereka, bila pemerintah atau siapa saja berniat membangun perumahan bagi nelayan, lokasinya haruslah di dekat tempat penjemuran ikan. Itu berarti, rumah mesti didisain agar menerima banyak angin, supaya tidak amis, bau ikan. Usul lain untuk Muara Angke: pantai ditanami bambu gombong, bakau, dan akasia guna menahan erosi pantai. Bidang arsitektur lansekap sepertinya menjadi penting di tengah serunya orang berteriak tentang lingkungan hidup. Berbeda dengan arsitektur yang terutama menggarap bangunan, arsitektur lansekap - yang fakultasnya baru satu-satunya di Indonesia - mengutamakan perpaduan serasi antara unsur alami dan buatan. Menurut Zain Rachman, yang juga mengurus masalah lingkungan hidup di Indonesia, itulah mungkin yang menguntungkan mahasiswa Trisakti itu. "Disain kita, kalau mau bertolak dari kenyataan, memang mau tak mau menyajikan rencana dengan unsur alam yang menonjol," katanya. Dan untuk negara-negara maju, yang alami ini memang sudah susah dicari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus