Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Jerat-jerat plastik

Tukang teluh di tasikmalaya cemas, dua rekannya mati terjerat oleh hansip dan peronda malam. umar, penduduk desa taraju, dihabisi beramai-ramai karena diduga sebagai tukang teluh.(krim)

15 Oktober 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMBUNUH dengan jerat belakangan ini kian merepotkan polisi. Sebab, sudah terbukti, korbannya bukan cuma penjahat kambuhan, padahal caranya masih tetap sama: korban dijemput dari rumah, malam hari, lalu ditemukan jadi mayat dengan leher dan tangan terjerat tali plastik. Seperti yang ditemukan polisi Tasikmalaya, Jawa Barat, dalam dua pembunuhan yang telah terungkap, pelakunya adalah hansip atau peronda malam desa. Di antaranya ada pula yang melibatkan petugas koramil. Korbannya kali ini: tukang teluh dan rentenir. "Rapi dan terencana," kata Letnan E. Mutakin, komandan reserse kepolisian Tasikmalaya. Jeratan tali itu sengaja dipakai untuk mengaburkan jejak, "agar polisi terkecoh dan peristiwa jadi misterius," ujar perwira polisi yang sudah bertugas lebih dari 20 tahun itu. Cuma, rupanya, penjemput calon korban bukan orang misterius. Nyonya Empad, 28 tahun, penduduk Desa Taraju, misalnya, cukup kenal bahwa yang menjemput suaminya, Umar, 40 tahun, pada malam 20 September itu, adalah Hansip Djalili. Hansip itu mengatakan bahwa dia diperintah kepala desa memanggil Umar untuk urusan transmigrasi. Sebagai calon transmigran, tanpa curiga sang nyonya melepas suaminya. Tapi, ketika sampai esoknya Umar tak kunjung pulang, Empad terpaksa melapor ke polisi. Tentu polisi tak sulit mengusut. Setelah Isak Koswara, kepala Desa Taraju, membantah bahwa ia punya urusan dengan Umar malam itu, Djalili pun ditangkap. Pengakuan Djalili, kemudian, mengungkapkan sebuah kisah. Adalah Saf'an, 46 tahun, ketua RK setempat yang punya gara-gara. Setahun lalu, anaknya meninggal dunia. Sesuai dengan hasil pemeriksaan dukun di kampung itu, kematian itu disebabkan teluh, sejenis ilmu hitam yang bisa mencelakakan orang. Ada pula Abas, 29 tahhun, petani dan hansip, yang perutnya buncit belakangan ini dicurigai karena teluh. Karena pengaduan mereka, sebulan sebelum peristiwa, Umar diperiksa Kepala Desa. Tentu saja Umar membantah tuduhan. Tapi, karena tuduhan penduduk desa sudah begitu gencar, Kepala Desa memutuskan, Umar harus pergi bertransmigrasi, "agar penduduk tak resah," cerita Isak Koswara. Rupanya di belakang itu, diam-diam ketua RK, Saf'an, punya rencana lain. "Daripada membuat celaka orang di tempat lain, baik dia dibunuh," begitu kata safan di rumah tahanan polisi kepada TEMPO kemudian. Lewat suatu rembuk kecil dengan sekitar 20 penduduk, putus rencana malam itu, tukang teluh itu harus dihabisi. Dan sebagai algojo ditunjuk Abas. Ketika Umar dijemput di rumahnya, terpaut 300 meter sudah menunggu Abas dan 4 temannya. Di situlah Umar dihabisi beramai-ramai dengan pukulan pacul, kayu, dan batu. Kaki, tangan, dan leher mayat diikat tali plastik, lantas dikuburkan di lubang yang sudah disediakan. "Biar orang menyangka dia korban pembunuhan dalam karung," kata Abas mengakui terus terang. Sekarang keenam tersangka pelaku pembunuhan itu ditahan polisi. Mereka adalah Saf'an, Abas, Dodo, Udju, Ihin, dan Entoh. Sedang 14 lainnya, yang mengetahui rencana pembunuhan, cuma diperiksa. "Sel tak cukup untuk menahan mereka semua," kata Mutakin. Kisah itu cukup membikin kecut orang-orang yang dituduh tukang teluh. Sulaeman, 40 tahun, penduduk Kecamatan Cikatomas, sekarang minta perlindungan polisi, takut akan ancaman bunuh dengan jerat. Di kecamatan itu 10 tukang teluh lainnya sampai sekarang menghilang. Tapi, menurut polisi, mereka cuma sembunyi karena takut. "Belum ada indikasi mereka dibunuh," kata Letnan Mutakin. Yan sudah pasti mati terjerat adalah Acip, 40 tahun, tukang kredit dari Desa Salopa di Kecamatan Sukaraja. Jalan peristiwanya mirip pembunuh Umar. Malam itu, 12 September, Acip dijemput hansip. Sekitar 500 meter dari rumahnya. sudah menunggu Dion, petugas sipil koramil setempat, bersama 3 petugas ronda malam. Dion, yang dibantu petugas ronda, segera menjerat leher Acip sampai korban mati lemas. "Mereka seperti menjerat sapi saja," kata Mutakin. Barulah mayat dikuburkan di tempat itu. Serupa pula dengan peristiwa yang menimpa Umar, polisi bisa membongkar kejadian itu dengan meringkus lebih dulu Toyib, hansip yang menjemput korban dari rumahnya. Duduk soalnya cuma karena Acip cekcok soal utang piutang, Rp 32.000, dengan Djukandi, ipar Dion. Dion lalu mengatur rencana jahat. Dan tampaknya ini tak diketahui persis oleh petugas ronda yang membantu. "Karena Dion, pegawai koramil, yan memerintahkan, kami sangka Acip itu orang yang harus 'dikarungkan'," kata Toyib lugu di rumah tahanan polisi. Teman Toyib ronda malam itu yang turut ditangkap adalah Iming, 41 tahun, Halil, 53 tahun, dan Odjon, 50 tahun. Dion sendiri buron.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus