Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Keluhan orang-orang jazz

Merupakan wadah pertemuan antara musisi jazz, pengamat dan penggemar. dibentuk oleh sejumlah musisi dan pengamat jazz.(ms)

15 Oktober 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAZZ Indonesia bisa kesepian. Ini mungkin sulit dipercaya. Sebab, Rabu malam pekan lalu di Pasar Seni Ancol, pertunjukan Abadi Soesman Band tetap dipenuhi penonton. Dan hampir setiap malam, di hotel-hotel besar di Jakarta, musik negro yang kini jadi universal ini selalu mendapat tepuk tangan hadirin yang lumayan banyak. Pasaran rekaman kaset jazz Indonesia juga tak mengecewakan. Tapi, mengapa pertunjukan Gala Jazz di Balai Sidang Senayan Senin pekan ini, salah satu tujuannya masih untuk menggalakkan penggemar Jazz klta? Malah dijanjikan, delapan kelompok yang tampil, termasuk Bubby Chen dari Surabaya, akan memainkan segala jenis jazz, dari yang lama sampai yang paling baru. "Jazz kini memang lagi populer, tapi seperti cuma mode," tutur Abadi Soesman. Dia tak akan heran bila, misalnya, tiba-tiba jazz ditinggalkan penggemarnya. Soalnya, yang banyak dikerubuti memang Jenis iazz yang ringan, yang pop - yang oleh para musisi sendiri sebenarnya tidak begitu dibanggakan. "Lihat saja, kaset yang laris adalah jazz vokal," tutur Ireng Maulana. Padahal, "jazz itu soal instrumen, bukan vokal," kata Indra Malaon, seorang pengamat jazz yang tekun. Karena itulah, Juni lalu, sejumlah musis dan pengamat jazz berunding. Hasilnya, lahirlah PJI (Perhimpunan Jazz Indonesia). Organisasi ini direncanakan menjadi wadah pertemuan antara musisi jazz, pengamat, dan penggemar. Semacam tempat apresiasi. Dan pertunjukan Gala Jazz itu adalah gebrakan PJI yang pertama. Memang, agak susah dibuktikan benarkah penggemar iazz cuma menyukai iazz yang pop dan ada vokalnya. Di toko-toko kaset, dari rekaman Ireng Maulana yang dicari adalah Ireng yang mengiringi si vokalis anu. Bukan Ireng Maulana All-Stars yang biasa menampilkan instrumentalia. Ini diakui sendiri oleh Ireng."Tanpa vokalis, kaset saya tak akan laku," katanya. Sementara itu, dari pihak musisi jazz kita juga agaknya tanpa pencarian, tanpa eksperimen baru, hingga terkesan cukup terbelakang. Padahal, ada Yopie Item, yang suka mencoba-coba mencari irama baru. Ada Bubby Chen, yang luwes dalam mengolah lagu-lagu daerah kita. Juga Ireng - yang bulan lalu merebut simpati penonton Singapura dalam satu festival iazz internasiona yang begitu tertib dengan kaidah. "Memang banyak tokoh jazz kita yang begitu berbakat, tapi kuran berani, masih meraba-raba," kata Indra Malaon pula. Padahal, "jazz itu luwes," kata Indra Malaon pula. "Bisa berkembang ke arah pop, bisa menerima pengaruh apa saja." Di situlah menariknya jenis musik yang lahir dari derita budak-budak negro di benua baru yang disebut Amerika. Dengan faktor utama improvisasi, sebenarnya sudah sejak awal jenis musik ini menolak kaidah ketat. Jika hanya dari mendengarkan, musik ini seakan-akan bisa dimainkan siapa saja dengan gampang. Celakanya, "banyak musisi jazz kita yang belum paham jazznya itu sendiri, sudah mencoba mencampur-campurkannya dengan musik lain," kata Abadi Soesman, ketua III PJI. Juga Indra Malaon menyayangkan para musisi yang, "keburu melompat-lompat sebelum paham benar apa itu jazz." Soalnya kini, masih perlukah "jazz standar dipertahankan." Di zaman musik ini harus bersaing dengan rock atau dangdut? Sejarah jazz di Amerika sendiri membuktikan, dari tahun 1960-an hingga 1970-an jazz terdesak rock, tak berkutik. Menurut Ireng Maulana, baru setelah rnembuka diri, dan dengan demikian ada perkembangan baru, jazz kembali merebut penggemar. Sudah barang tentu yang diharapkan ialah perkembangan yang berkarakter, bukan sekadar mencampur-campur. Bukan hanya meliukkan suara, atau meniup terompet panjang-panjang, sebelum para penggemar bubar. Dulu, di tahun 1950-an, ketika Nick Mamahit, Bubby Chen, dan Cok Sinsoe baru tumbuh, jazz hanya didengarkan kalangan kecil. Waktu itu, orang hanya bisa mendengarkan lewat piringan hitam yang mahal itu - dan karenanya cuma orang-orang tertentu yang punya. Lewat RRI pun masih jarang musik ini disiarkan. "Saya dulu sering mendengarkan siaran jazz dari Australia atau Singapura," tutur Abadi Soesman, 30-an tahun. Tapi pertumbuhan yang menjanjikan ini dipotong di zaman komunis jaya. Jazz dianggap musik kapitalis yang harus dimusuhi. Kini apresiasi jazz kembali dibina lewat Indra Malaon di Radio El Shinta, lewat Tim Kantosa yang seminggu sekali memberikan apresiasi jazz di RRI Jakarta. Juga lewat Ireng yang sebulan sekali tampil di TVRI. Dan, tentu saja, lewat jam session PJI yang diharapkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus