JAZZ Indonesia bisa kesepian. Ini mungkin sulit dipercaya.
Sebab, Rabu malam pekan lalu di Pasar Seni Ancol, pertunjukan
Abadi Soesman Band tetap dipenuhi penonton. Dan hampir setiap
malam, di hotel-hotel besar di Jakarta, musik negro yang kini
jadi universal ini selalu mendapat tepuk tangan hadirin yang
lumayan banyak. Pasaran rekaman kaset jazz Indonesia juga tak
mengecewakan.
Tapi, mengapa pertunjukan Gala Jazz di Balai Sidang Senayan
Senin pekan ini, salah satu tujuannya masih untuk menggalakkan
penggemar Jazz klta? Malah dijanjikan, delapan kelompok yang
tampil, termasuk Bubby Chen dari Surabaya, akan memainkan segala
jenis jazz, dari yang lama sampai yang paling baru.
"Jazz kini memang lagi populer, tapi seperti cuma mode," tutur
Abadi Soesman. Dia tak akan heran bila, misalnya, tiba-tiba jazz
ditinggalkan penggemarnya. Soalnya, yang banyak dikerubuti
memang Jenis iazz yang ringan, yang pop - yang oleh para musisi
sendiri sebenarnya tidak begitu dibanggakan.
"Lihat saja, kaset yang laris adalah jazz vokal," tutur Ireng
Maulana. Padahal, "jazz itu soal instrumen, bukan vokal," kata
Indra Malaon, seorang pengamat jazz yang tekun.
Karena itulah, Juni lalu, sejumlah musis dan pengamat jazz
berunding. Hasilnya, lahirlah PJI (Perhimpunan Jazz Indonesia).
Organisasi ini direncanakan menjadi wadah pertemuan antara
musisi jazz, pengamat, dan penggemar. Semacam tempat apresiasi.
Dan pertunjukan Gala Jazz itu adalah gebrakan PJI yang pertama.
Memang, agak susah dibuktikan benarkah penggemar iazz cuma
menyukai iazz yang pop dan ada vokalnya.
Di toko-toko kaset, dari rekaman Ireng Maulana yang dicari
adalah Ireng yang mengiringi si vokalis anu. Bukan Ireng Maulana
All-Stars yang biasa menampilkan instrumentalia. Ini diakui
sendiri oleh Ireng."Tanpa vokalis, kaset saya tak akan laku,"
katanya.
Sementara itu, dari pihak musisi jazz kita juga agaknya tanpa
pencarian, tanpa eksperimen baru, hingga terkesan cukup
terbelakang.
Padahal, ada Yopie Item, yang suka mencoba-coba mencari irama
baru. Ada Bubby Chen, yang luwes dalam mengolah lagu-lagu
daerah kita. Juga Ireng - yang bulan lalu merebut simpati
penonton Singapura dalam satu festival iazz internasiona yang
begitu tertib dengan kaidah. "Memang banyak tokoh jazz kita yang
begitu berbakat, tapi kuran berani, masih meraba-raba," kata
Indra Malaon pula.
Padahal, "jazz itu luwes," kata Indra Malaon pula. "Bisa
berkembang ke arah pop, bisa menerima pengaruh apa saja." Di
situlah menariknya jenis musik yang lahir dari derita
budak-budak negro di benua baru yang disebut Amerika. Dengan
faktor utama improvisasi, sebenarnya sudah sejak awal jenis
musik ini menolak kaidah ketat. Jika hanya dari mendengarkan,
musik ini seakan-akan bisa dimainkan siapa saja dengan gampang.
Celakanya, "banyak musisi jazz kita yang belum paham jazznya itu
sendiri, sudah mencoba mencampur-campurkannya dengan musik
lain," kata Abadi Soesman, ketua III PJI. Juga Indra Malaon
menyayangkan para musisi yang, "keburu melompat-lompat sebelum
paham benar apa itu jazz."
Soalnya kini, masih perlukah "jazz standar dipertahankan." Di
zaman musik ini harus bersaing dengan rock atau dangdut? Sejarah
jazz di Amerika sendiri membuktikan, dari tahun 1960-an hingga
1970-an jazz terdesak rock, tak berkutik. Menurut Ireng Maulana,
baru setelah rnembuka diri, dan dengan demikian ada perkembangan
baru, jazz kembali merebut penggemar.
Sudah barang tentu yang diharapkan ialah perkembangan yang
berkarakter, bukan sekadar mencampur-campur. Bukan hanya
meliukkan suara, atau meniup terompet panjang-panjang, sebelum
para penggemar bubar.
Dulu, di tahun 1950-an, ketika Nick Mamahit, Bubby Chen, dan Cok
Sinsoe baru tumbuh, jazz hanya didengarkan kalangan kecil. Waktu
itu, orang hanya bisa mendengarkan lewat piringan hitam yang
mahal itu - dan karenanya cuma orang-orang tertentu yang punya.
Lewat RRI pun masih jarang musik ini disiarkan. "Saya dulu
sering mendengarkan siaran jazz dari Australia atau Singapura,"
tutur Abadi Soesman, 30-an tahun.
Tapi pertumbuhan yang menjanjikan ini dipotong di zaman komunis
jaya. Jazz dianggap musik kapitalis yang harus dimusuhi. Kini
apresiasi jazz kembali dibina lewat Indra Malaon di Radio El
Shinta, lewat Tim Kantosa yang seminggu sekali memberikan
apresiasi jazz di RRI Jakarta. Juga lewat Ireng yang sebulan
sekali tampil di TVRI. Dan, tentu saja, lewat jam session PJI
yang diharapkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini