DANIEL Musa alias Yeri boleh dibilang seorang pengedar ganja
yang kampiun. Hanya dalam beberapa bulan, ia berhasil memasarkan
hampir 40 kilo "daun emas" yang diterimanya lewat paket, dalam 8
kali pengiriman. Si pengirim di Medan, menurut polisi tak lain
Yeri sendiri. Caranya, setelah ia membeli dan memaketkan barang
haram itu dari sana, ia buru-buru naik pesawat ke Jakarta, dan
mengambil paket yang dikirimkannya.
Terakhir, Maret lalu, akal bulusnya itu ketahuan. Petugas Bea
Cukai di Jakarta mencurigai sebuah paket enam kilo lebih yang
dialamatkan kepadanya. Polisi segera dikontak, dan begitu Yeri
mengambil paketnya di kantor Elteha, Tanah Abang, ia pun
disergap.
Kini ia diadili di Pengadilan NegeriJakarta Pusat. Jaksa M.
Panjaitan, pekan lalu, menuntutnya hukuman 10 tahun penjara.
Tuntutan itu cukup.memadai karena Yeri boleh dibilang seorang
residivis narkotik kelas berat. Pada 1978 lalu, ia dihukum 1
tahun 6 bulan.
Di gedung pengadilan yang sama, kini juga tengah diadili
residivis narkotik lain, Nyen Nyen dan ibunya, Mama Cacit alias
Tan Tjit Nio. Juni lalu keduanya tertanekap di rumah mereka, di
Bekasi, dengan bukti 2 cie morfin. Jaksa Sukarno menuntut
keduanya masing-masing hukuman 6 tahun penjara disertai denda Rp
4 juta dan 3 tahun penjara plus denda Rp 2 juta.
Nyen Nyen dan ibunya sudah tak asing lagi bagi polisi. Tahun
1978, Mama Cacit dihukum 7 bulan gara-gara memperjualbelikan
"pembunuh putih" alias morfin. Sekarang, Nyen Nyen sudah 3 kali
ditangkap oleh sebab yang sama.
Sedangkan ayah Nyen Nyen, yang nama panggilannya Orok, belum
lama ini baru keluar penjara setelah dihukum 4 bulan. "Keluarga
itu memang hidup semata dari berdagang morfin," kata seorang
perwira polisi Jakarta.
Keluarga itu disinyalir sudah mulai terlibat bisnis narkotik
sejak 1970. Mula-mula hanya sebagai pengecer kelas teri dengan
omset beberapa cekak saja. Ternyata bisnis keluarga itu maju,
sehingga mereka meningkat menjadi pengedar kelas cie, yang bisa
mendatangkan penghasilan lumayan.
Tertangkapnya Nyen Nyen dan Mama Cacit kali ini oleh dibilang
secara tak sengaja. Mula-mula Kapten Pol Gordon Siadari,
komandan Unit Narkotik Kodak Metro Jaya, beserta anak buahnya,
memasang jaring-janng untuk menangkap Buce dan istrinya, yang
diketahui sering melakukan transaksi lewat telepon. Setelah 3
bulan diamati dan dikuntit, Buce dan istrinya, Juni lalu,
disergap di rumah mereka di bilangan Bekasi, saat meracik' lebih
dari 1.000 cekak morfin.
Buce tak berkutik dan mengaku mendapat morfin itu dari Boy
Aseng. Boy itulah yang kemudian menunjuk Nyen Nyen serta ibunya
sebagai pensuplai mereka. Dan ternyata benar. Namun, sampai
kepada Nyen Nyen, polisi menemui jalan buntu untuk melacak
jaringan pengedar narkotik yang lebih tinggi.
Di sidang pengadilan, sebagai saksi Buce mengakui, ia punya
hubungan bisnis narkotik dengan Nyen Nyen. Nyen Nyen sendiri
juga mengaku, setiap 4 hari sekali ia paling tidak mengirim 1
cie morfin buat Buce. Morfin itu selaniutnva diracik dan
diedarkan sampai ke Bandung dan Semarang.
Menurut perkiraan Kapten Gordon, diJakarta paling tidak ada
sekitar 200 pengedar hampir 90% di antaranya residivis - yang
kini masih aktif melakukan bisnis dalam gelap. Dari jumlah
pengedar itu, bisa dibayangkan berapa banyak yang sudah menjadi
korban. Satu cie morfin, menurut Gordon, cukup untuk meracuni
150 orang. Sebab itu, orang seperti Gordon, yang setiap hari
bergulat dengan "musuh masyarakat" dan tahu betapa berbahayanya
narkotik, berharap agar para pengedar dihukum berat.
Terus terang, Jaksa Sukarno pun "menyesal" hanya menuntut Nyen
Nyen dan ibunya 6 dan 3 tahun penjara, meski masih dibebani
denda. Sukarno mengaku baru sadar betapa berbahayanya narkotik
setelah Kapten Gordon memberi kesaksian di pengadilan. Itu pula
sebabnya ia hanya mengajukan perkara residivis narkotik elas
berat itu secara sumir. Padahal, berdasar pasal 33 UU No.9/ 1970
tentang narkotik, orang seperti Nyen Nyen diancam dengan hukuman
maksimum 20 tahun penjara dan denda Rp 30 juta. "Lain kali,
insya Allah, saya akan mengajukan perkara narkotik secara
toakan dan akan menuntut hukuman lebih berat," katanya kepada
TEMPO .
Menurut kabar, jaksa yang mengajukan perkara narkotik ke
pengadilan biasanya memang bersikap hati-hati, antara lain
dengan cara tidak terlalu gencar dalam mengejar jawaban
terdakwa. Lalu tuntutan yang dilontarkan sering jauh di bawah
ancaman hukuman yang ditetapkan undang-undang antinarkotik.
"Salah satu hambatannya adalah soal jaminan keselamatan," kata
seorang jaksa.
Hal itu tampak dari cerita Jaksa M.- Panjaitan, misalnya, yang
dalam menangani perkara Yeri mengaku diperingatkan beberapa
rekannya agar tidak terlalu bersikap keras. "Sindikat narkotik
biasanya punya kaki tangan dan bisa mengancam keselamatan mereka
yang tak disenangi," begitu antara lain nasihat yang sampai ke
telinganya.
"Tapi saya tidak peduli. Bagi saya, hukum adalah hukum," kata
jaksa yang sudah berpengalaman hampir 20 tahun itu. Selain
menyadari bahaya? penyalahgunaan narkotik, jaksa itu juga tahu
persis kegiatan Yeri karena kebetulan mereka bertetangga.
Panjaitan sering menerima laporan dari para tetangga tentang
bisnis gelap Yeri. "Dia ternyata memang pensuplai utama untuk
wilayahnya. Saya perkirakan pelanggannya mencapai 50 orang,"
kata Panjaitan.
Sebab itulah, ia merasa tidak ragu-rau menuntut Yeri 10 tahun
penjara. Masih ditunggu apakah hakim yang memeriksa Yeri,
Nyen Nyen, dan ibunya akan seberani Panjaitan atau bersikap
hati-hati seperti Sukarno.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini