WARNA bulunya yang cokelat redup agaknya tak mengesankan. Hanya
bulu kuning yang bagaikan jubah emas menghiasi punggung dan
kepalanya, membuat burung itu cemerlang. Hampir satu labad
lamanya Punjung Kuning (Amblyornis flavifrons Rothschild) itu,
sempat merupakan misteri bagi para ornitolog, ahli ilmu burung.
Tak pernah mereka berhasil menemukan burung itu, yang dalam
bahasa Inggris juga disebut aneh: Yellow-fronted gardener
bowerbird).
Karenanya pernyataan Prof. Dr. Jared M. Diamond bulan lalu,
cukup menggemparkan para ornitolog. Dr. Diamond, ornitolog dari
Universitas California di Los Angeles, berhasil menemukan
punjung kuning itu di suatu tempat di Irian Jaya. "Amat
mengagumkan," ujar Dr. Donald Bruning, dari American Museum of
Natural History di Chicago. Juga ornitolog Indonesia, Prof. Dr.q
S. Somadikarta, menggunakan ungkapan serupa. "Kalau sudah
begini, sangat menggairahkan," ucap Dekan FIPIA-UI itu kepada
TEMPO pekan lalu.
Kisah misteri itu bermula di tahun 1895. Waktu itu Lionel Walter
Rothschild mengidentifikasi tiga lembar kulit burung, sebagai
berasal dari suatu jenis baru dalam suku burung
Ptilonorhynchidae (bowerbird atau punjung) yang mencakup 18
jenis.
Walter Rothschild--orang kaya raya, anggota keluarga perbankan
Rothschild -- memang gemar ilmu alam, terutama yang bersangkutan
dengan satwa. Ia bahkan punya museum bernama Tring Museum of
Natural History. Setiap waktu ia membeli ribuan kulit burung
dari seluruh pelosok dunia. Tiga lembar kulit punjung itu ia
temukan antara kiriman yang berasal dari "New Guinea". Tepatnya
di mana di pulau itu tak diketahui. Tapi sejak itu orang
berlomba menemukan jenis baru itu--meski tanpa hasil.
Lalu datanglah Januari 1981: Dr. Diamond berkunjung ke Irian
Jaya, membantu Direktorat PPA (Perlindungan dan Pengawetan
Alam), melakukan studi tentang flora dan fauna setempat. Ketika
suatu hari Diamond menjelajahi hutan di pegunungan di Irian Jaya
itu, tiba-tiba terdengar kicau burung yang aneh.
Diamond mendekat. Ia pun melihat seekor burung, sebesar burung
puyuh, berdiri dekat suatu rakitan terbuat dari ranting, daun
dan lumut, seluruhnya dihiasi buah-buahan dan benda lain yang
berwarna.
Burung itu tampak berusaha merayu seekor burung betina yang
hinggap di dahan dekat rakitan yang dibuat burung jantan itu. Si
jantan "menyodorkan buah berwarna biru cemerlang dengan paruhnya
ke arah betina itu," cerita Diamond. Semuanya sambil
mengeluarkan bunyi-bunyi yang aneh dan menggetarkan bulu kuning
di pundaknya. Selama 20 menit Diamond memperhatikan adegan
merayu itu, namun "jantan itu tak berhasil dan betinanya
terbang".
Yang disaksikan Diamond itu ialah adegan bujuk rayu yang memang
ciri khas perilaku semua jenis burung punjung
(Ptlonosbynchidae) Semua upaya dikerahkan untuk membangun
rakitan yang indah terhias itu, agar betinanya terbujuk
memasukinya dan mau digauli. Hanya untuk itu. Kelak betinanya
membuat sarang tersendiri, tempat ia bertelur. Perilaku itu,
yang "aneka ragam dan unik, tak punya bandingan dalam dunia
satwa," ujar Evelyn Hutchinson, biolog terkenal dari Universitas
Yale di AS.
Diamond sendiri tak segera yakin ia melihat burung yang selama
ini menjadi misteri. Sekembalinya ia di Amerika, ia
membandingkan datanya dengan dua lembar kulit punjung kuning
yang kini tersimpan di American Museum of Natural History di
Chicago.
Pangeran Penasaran
Kedua kulit itu berasal dari koleksi Tring Museum yang
seluruhnya dibeli di tahun 1932. Waktu itu satu lembar sempat
"hilang". Yang menemukan lembar itu kembali ialah Dr. Thomas
Gilliard. Seperti diceritakan Dr. Somadikarta, Dr. Gilliard
sepulangnya dari Irian aya di tahun 1964, singgah di Eropa.
"Ternyata Gilliard menemukan lembar yang hilang itu di British
Museum of Natural History," ujar Somadikarta.
Penjelajahan Diamond ke Irian Jaya yang disponsori WWF (Dana
Satwa Liar Dunia) bersama dengan National Geographic Society di
Washington, memang tak bertujuan mencari burung itu. "Tapi
setiap ilmuwan yang datang ke sini, menyumpan cita-cita
menemukan burung itu. Burung Misteri dari Irian," ujar Dimond.
Agaknya setiap ekspedisi semacam itu berasaskan "sambil menyelam
minum air", suatu hal yang dibenarkan Prof. Somadikarta. "Kalau
ada burung yang tak diketahui lokasinya, ornitolog bagaikan
penasaran, ingin mencari lokasi itu," ujarnya.
Termasuk yang pernah penasaran, Pangeran Mahkota (waktu itu)
Leopold III dari Belgia, yang di tahun 1914 membawa ekspedisi ke
Irian mencari punjung kuning itu. Sejak itu berbagai ekspedisi
susul menyusul, antaranya Dr. Ernst Mayr dari Jerman yang
pertama kali ke Irian tahun 1928.
Mayr sempat sampai tiga kali kembali ke Irian mencari burung
itu, terakhir tahun 50-an ketika ia sudah menjadi profesor di
Universitas Harvard, AS. Tahun itu juga datang Dr. S. Dillon
Ripley dari Universitas Yale, AS--sekarang ia Sekretaris
Smithsonian Institute -yang pertama kali ke Irian di tahun 1937.
Ahli burung Indonesia, Prof. Dr. Somadikarta, pertama kali
terlibat pencarian punjung kuning itu ketika ia menyertai Prof.
Dr. E. Thoma: Gilliard dalam satu ekspedisi ke Irian tahun 1964.
"Waktu itu ada tiga lokasi yang hendak dituju," cerita Dr.
Somadikarta. Puncak gunung di Pulau Batanta yang belum
dikunjungi orang, kemudian Pegunungan Tamrau, bagian utara
Kepala Burung, dan Pegunungan Gauttier, barat daya Jayapura.
Sebetulnya, menurut Somadikarta, Pegunungan Gauttier menjadi
sasaran utama, tapi karena waktu itu dinyatakan kurang aman,
"tahun 1964 kita pertama datang ke Batanta."
Lebih satu bulan ia bersama Gilliard menjelajahi tempat itu,
tanpa menemukan punjung kuning itu. Kemudian Gilliard ke
Pegunungan Tamrau. "Saya tidak ikut ke Tamrau," ujar
Somadikarta. Juga di tempat ini tidak ditemukan punjung kuning
itu. Tinggal Pegunungan Gauttier. Ini direncanakan untuk
dikunjungi bersama tahun 1966. Rencana itu batal karena Prof.
Gilliard meninggal tahun 1965.
Tanpa Foto
Kesempatan berikut untuk mencari punjung kuning itu datang
ketika akhir tahun lalu Dr. Diamond mengajak Somadikarta ke
Irian. Ajakan yang menggoda itu terpaksa ia tolak karena
kesibukannya sebagai dekan. "Kalau tidak karena itu, pasti saya
pergi," ujar Somadikarta.
Bagi Diamond sendiri kunjungan itu merupakan yang ke delapan ke
Irian, banyaknya di Papua Nugini. Ia terutama mempelajari suku
burung cenderawasih (Paradisaeidae) dan sepupunya, suku burung
punjung (Ptilonorhyncbidae). Tak heran kalau Donald Bruning
mengakui Diamond sebagai "satu antara setengah lusin orang yang
paling mampu menenali burung punjung kuning itu."
Pengakuan ini agaknya perlu, karena kisah Diamond tentang
penemuannya itu tak didukung foto atau gambar. Semua itu
menurut Diamond hilang ketika perahu yang ia tumpangi di
pedalaman Irian terbalik. Meski begitu para ornitolog tetap
percaya kebenaran cerita Diamond. "Lazimnya diharapkan suatu
foto, contoh atau kesaksian pengamat lain," ujar Roger Tory
Peterson, ornitolog yang tersohor karena gambarnya tentang
berbagai jenis burung. "Tapi Diamond agaknya dapat dipercaya,"
sambungnya juga Prof. Somadikarta sependapat dengan Peterson
itu. "Saya kenal baik dengan Jared Diamond," ujarnya. "Meski
orangnya masih muda, ia bukan main !"
Somadikarta juga melihat kenyataan lain yang memperkuat
keyakinannya itu. "Kalau ornitolog tahu, lokasi mana yang belum
diteliti, mereka berebutan ke sana," ujar Somadikarta. "Kita
memang mau ke Gauttier," ujarnya, mengenangkan rencananya yang
batal tahun 1966.
Karena itu ketika Diamond mau berangkat, Somadikarta sempat
memancingnya. "Kamu mau ke Gauttier yah?" Diamond waktu itu
tidak menjawab, hanya ketawa saja. "Karena itu saya yakin Jared
menemukan (punjung kuning itu) di Pegunungan Gauttier," ujar
Somadikarta. "Meski Diamond tidak menyatakannya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini