Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Misteri punjung kuning dari irian

Dr. diamond, ornotolog dari univ. california berhasil menemukan burung punjung kuning di suatu tempat di irian jaya. jenis burung yang selama ini menjadi misteri. (ilm)

12 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WARNA bulunya yang cokelat redup agaknya tak mengesankan. Hanya bulu kuning yang bagaikan jubah emas menghiasi punggung dan kepalanya, membuat burung itu cemerlang. Hampir satu labad lamanya Punjung Kuning (Amblyornis flavifrons Rothschild) itu, sempat merupakan misteri bagi para ornitolog, ahli ilmu burung. Tak pernah mereka berhasil menemukan burung itu, yang dalam bahasa Inggris juga disebut aneh: Yellow-fronted gardener bowerbird). Karenanya pernyataan Prof. Dr. Jared M. Diamond bulan lalu, cukup menggemparkan para ornitolog. Dr. Diamond, ornitolog dari Universitas California di Los Angeles, berhasil menemukan punjung kuning itu di suatu tempat di Irian Jaya. "Amat mengagumkan," ujar Dr. Donald Bruning, dari American Museum of Natural History di Chicago. Juga ornitolog Indonesia, Prof. Dr.q S. Somadikarta, menggunakan ungkapan serupa. "Kalau sudah begini, sangat menggairahkan," ucap Dekan FIPIA-UI itu kepada TEMPO pekan lalu. Kisah misteri itu bermula di tahun 1895. Waktu itu Lionel Walter Rothschild mengidentifikasi tiga lembar kulit burung, sebagai berasal dari suatu jenis baru dalam suku burung Ptilonorhynchidae (bowerbird atau punjung) yang mencakup 18 jenis. Walter Rothschild--orang kaya raya, anggota keluarga perbankan Rothschild -- memang gemar ilmu alam, terutama yang bersangkutan dengan satwa. Ia bahkan punya museum bernama Tring Museum of Natural History. Setiap waktu ia membeli ribuan kulit burung dari seluruh pelosok dunia. Tiga lembar kulit punjung itu ia temukan antara kiriman yang berasal dari "New Guinea". Tepatnya di mana di pulau itu tak diketahui. Tapi sejak itu orang berlomba menemukan jenis baru itu--meski tanpa hasil. Lalu datanglah Januari 1981: Dr. Diamond berkunjung ke Irian Jaya, membantu Direktorat PPA (Perlindungan dan Pengawetan Alam), melakukan studi tentang flora dan fauna setempat. Ketika suatu hari Diamond menjelajahi hutan di pegunungan di Irian Jaya itu, tiba-tiba terdengar kicau burung yang aneh. Diamond mendekat. Ia pun melihat seekor burung, sebesar burung puyuh, berdiri dekat suatu rakitan terbuat dari ranting, daun dan lumut, seluruhnya dihiasi buah-buahan dan benda lain yang berwarna. Burung itu tampak berusaha merayu seekor burung betina yang hinggap di dahan dekat rakitan yang dibuat burung jantan itu. Si jantan "menyodorkan buah berwarna biru cemerlang dengan paruhnya ke arah betina itu," cerita Diamond. Semuanya sambil mengeluarkan bunyi-bunyi yang aneh dan menggetarkan bulu kuning di pundaknya. Selama 20 menit Diamond memperhatikan adegan merayu itu, namun "jantan itu tak berhasil dan betinanya terbang". Yang disaksikan Diamond itu ialah adegan bujuk rayu yang memang ciri khas perilaku semua jenis burung punjung (Ptlonosbynchidae) Semua upaya dikerahkan untuk membangun rakitan yang indah terhias itu, agar betinanya terbujuk memasukinya dan mau digauli. Hanya untuk itu. Kelak betinanya membuat sarang tersendiri, tempat ia bertelur. Perilaku itu, yang "aneka ragam dan unik, tak punya bandingan dalam dunia satwa," ujar Evelyn Hutchinson, biolog terkenal dari Universitas Yale di AS. Diamond sendiri tak segera yakin ia melihat burung yang selama ini menjadi misteri. Sekembalinya ia di Amerika, ia membandingkan datanya dengan dua lembar kulit punjung kuning yang kini tersimpan di American Museum of Natural History di Chicago. Pangeran Penasaran Kedua kulit itu berasal dari koleksi Tring Museum yang seluruhnya dibeli di tahun 1932. Waktu itu satu lembar sempat "hilang". Yang menemukan lembar itu kembali ialah Dr. Thomas Gilliard. Seperti diceritakan Dr. Somadikarta, Dr. Gilliard sepulangnya dari Irian aya di tahun 1964, singgah di Eropa. "Ternyata Gilliard menemukan lembar yang hilang itu di British Museum of Natural History," ujar Somadikarta. Penjelajahan Diamond ke Irian Jaya yang disponsori WWF (Dana Satwa Liar Dunia) bersama dengan National Geographic Society di Washington, memang tak bertujuan mencari burung itu. "Tapi setiap ilmuwan yang datang ke sini, menyumpan cita-cita menemukan burung itu. Burung Misteri dari Irian," ujar Dimond. Agaknya setiap ekspedisi semacam itu berasaskan "sambil menyelam minum air", suatu hal yang dibenarkan Prof. Somadikarta. "Kalau ada burung yang tak diketahui lokasinya, ornitolog bagaikan penasaran, ingin mencari lokasi itu," ujarnya. Termasuk yang pernah penasaran, Pangeran Mahkota (waktu itu) Leopold III dari Belgia, yang di tahun 1914 membawa ekspedisi ke Irian mencari punjung kuning itu. Sejak itu berbagai ekspedisi susul menyusul, antaranya Dr. Ernst Mayr dari Jerman yang pertama kali ke Irian tahun 1928. Mayr sempat sampai tiga kali kembali ke Irian mencari burung itu, terakhir tahun 50-an ketika ia sudah menjadi profesor di Universitas Harvard, AS. Tahun itu juga datang Dr. S. Dillon Ripley dari Universitas Yale, AS--sekarang ia Sekretaris Smithsonian Institute -yang pertama kali ke Irian di tahun 1937. Ahli burung Indonesia, Prof. Dr. Somadikarta, pertama kali terlibat pencarian punjung kuning itu ketika ia menyertai Prof. Dr. E. Thoma: Gilliard dalam satu ekspedisi ke Irian tahun 1964. "Waktu itu ada tiga lokasi yang hendak dituju," cerita Dr. Somadikarta. Puncak gunung di Pulau Batanta yang belum dikunjungi orang, kemudian Pegunungan Tamrau, bagian utara Kepala Burung, dan Pegunungan Gauttier, barat daya Jayapura. Sebetulnya, menurut Somadikarta, Pegunungan Gauttier menjadi sasaran utama, tapi karena waktu itu dinyatakan kurang aman, "tahun 1964 kita pertama datang ke Batanta." Lebih satu bulan ia bersama Gilliard menjelajahi tempat itu, tanpa menemukan punjung kuning itu. Kemudian Gilliard ke Pegunungan Tamrau. "Saya tidak ikut ke Tamrau," ujar Somadikarta. Juga di tempat ini tidak ditemukan punjung kuning itu. Tinggal Pegunungan Gauttier. Ini direncanakan untuk dikunjungi bersama tahun 1966. Rencana itu batal karena Prof. Gilliard meninggal tahun 1965. Tanpa Foto Kesempatan berikut untuk mencari punjung kuning itu datang ketika akhir tahun lalu Dr. Diamond mengajak Somadikarta ke Irian. Ajakan yang menggoda itu terpaksa ia tolak karena kesibukannya sebagai dekan. "Kalau tidak karena itu, pasti saya pergi," ujar Somadikarta. Bagi Diamond sendiri kunjungan itu merupakan yang ke delapan ke Irian, banyaknya di Papua Nugini. Ia terutama mempelajari suku burung cenderawasih (Paradisaeidae) dan sepupunya, suku burung punjung (Ptilonorhyncbidae). Tak heran kalau Donald Bruning mengakui Diamond sebagai "satu antara setengah lusin orang yang paling mampu menenali burung punjung kuning itu." Pengakuan ini agaknya perlu, karena kisah Diamond tentang penemuannya itu tak didukung foto atau gambar. Semua itu menurut Diamond hilang ketika perahu yang ia tumpangi di pedalaman Irian terbalik. Meski begitu para ornitolog tetap percaya kebenaran cerita Diamond. "Lazimnya diharapkan suatu foto, contoh atau kesaksian pengamat lain," ujar Roger Tory Peterson, ornitolog yang tersohor karena gambarnya tentang berbagai jenis burung. "Tapi Diamond agaknya dapat dipercaya," sambungnya juga Prof. Somadikarta sependapat dengan Peterson itu. "Saya kenal baik dengan Jared Diamond," ujarnya. "Meski orangnya masih muda, ia bukan main !" Somadikarta juga melihat kenyataan lain yang memperkuat keyakinannya itu. "Kalau ornitolog tahu, lokasi mana yang belum diteliti, mereka berebutan ke sana," ujar Somadikarta. "Kita memang mau ke Gauttier," ujarnya, mengenangkan rencananya yang batal tahun 1966. Karena itu ketika Diamond mau berangkat, Somadikarta sempat memancingnya. "Kamu mau ke Gauttier yah?" Diamond waktu itu tidak menjawab, hanya ketawa saja. "Karena itu saya yakin Jared menemukan (punjung kuning itu) di Pegunungan Gauttier," ujar Somadikarta. "Meski Diamond tidak menyatakannya."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus