SAMBIL tersenyum-senyum, Wakil Presiden Adam Malik berdiri di
hadapan para transmigran di Batumarta Ogan Komering Ulu (OKU),
Sumatera Selatan. "Saudara jangan merasa terlempar ke mari.
Indonesia itu dari Sabang sampai Merauke," kata Wapres ketika
berada di sana Minggu lalu dalam rangka peninjauan rutin.
Para penghuni tempat pemukiman baru itu memang "terlempar" dari
tempat asal mereka: Ja-Bar, Ja-Teng, Ja-Tim dan Bali. Di atas
areal 65 ribu hektar itu, kini bermukim 4.395 KK (20 ribu jiwa).
Batumarta yang berhawa sejuk dan mulai hijau oleh tumbuhan
pangan dan karet, merupakan proyek percontohan pertanian lahan
kering.
Lokasi transmigrasi yang mulai dihuni sejak 1976 itu, bisa
dicapai sekitar satu jam dengan mobil dari Baturaja ibukota
Kab. OKU). Jalan selebar 6 meter, yang 3 meter sudah diaspal
hingga kendaraan bisa lewat dengan aman walau hujan deras. Rumah
yang tadinya terdiri dari papan beratap genting, banyak yang
sudah berganti rupa. Di Unit VI, misalnya, 27 dari 44 KK
penghuni yang berasal dari Boyolali (datang tahun 1977), sudah
bisa membangun rumah baru. Beberapa di antaranya bertembok
penuh. Rumah asli berukuran 4 x 6 meter kini mereka jadikan
kandang sapi.
Bekas Wartawan
Sekolah pun tersedia. Ada 4 SD, 5 madrasah, 3 SMP dan sebuah SMA
Tanzania yang diresmikan Presiden Yulius Nyerere, Oktober lalu.
Pasar Gotong Royong yang kian ramai pun, mampu menyedot puluhan
pedagang. Pihak Pemda OKU telah membangun sebuah pasar
lagi--yang lebih besar dan megah --dan konon bakal dibuka tak
lama lagi.
Keceriaan wajah proyek ini, dicapai dalam waktu relatif singkat.
Enam tahun lalu daerah ini sebagian besar berupa padang
alang-alang. Hasil survei tahun 1975 menunjukkan bahwa areal itu
cocok untuk tanaman karet dan ternak sapi. Juli 1976, kata
pemimpin proyek A. Choesnan, Internatonal Bank for
Reconstructon and Development (IBRD) menyediakan dana sebesar
US$ 30 juta, ditambah US$ 26 juta dari Pemerintah RI.
Pemukiman Batumarta disiapkan hampir berbarengan dengan Sitiung
di Sumatera Barat dan Rimbo Bujang di Jambi. Di Sitiung, dengan
luas areal 5.500 ha, tinggal 4.000 KK transmigran. Selain rumah
dan pekarangan di atas tanah seluas 1/4 ha, para transmigran
juga mendapat 1 ha tanah untuk ladang yang siap tanam ketika
pemukiman itu pertama kali dihuni 1976.
Di Batumarta ditempatkan beberapa sarjana. Di samping Choesnan,
dokter hewan yang pernah memimpin transmigrasi AD di Lampung,
ada sarjana pertanian, perkebunan dan kehutanan. Yang sarjana
pertanian, misalnya, antara lain mengelola kebun benih yang
luasnya 200 ha. Dan perkebunan karet yang akan dibagikan
masing-masing 1 ha kepada tiap KK, dikelola sarjana perkebunan
dibantu PTP X. Kebun karet itu akan diserahkan kepada para
transmigran setelah siap sadap (2 - 3 tahun lagi). Setiap KK
juga mendapat 4 hektar tanah 1 ha untuk tanaman keras,
selebihnya untuk tanaman pangan.
Zuhdi Safari, guru SD di Batumarta asal Brebes yang tahun lalu
terpilih sebagai juara III transmigran teladan nasional, bisa
memetik 3 ton lebih padi dari areal 1 ha. Tiap 75 hari ia juga
bisa memanen 10.000 bongkol jagung. Ditambah 100 ekor ayam
ternak, maka hidupnya cukup tenang. Tiap tiga bulan ia balik ke
P. Jawa, menengok tiga anaknya sembari menyerahkan gajinya
sebaga guru untuk biaya mereka.
Tapi petani lain seperti Djojo Sudarmo dan Reso Suwarno, hanya
bisa panen dengan hasil 4 - 5 kuintal/ha. "Padi IR 36 yang kami
tanam terlalu tinggi batangnya. Rebah kalau tertiup angin," kata
Sudarmo. Zuhdi rupanya lebih pintar: dia menanam jenis sirendab.
Ibnu Suroyo, bekas wartawan Pos Kota di Jakarta, terutama senang
karena bakal memperoleh 1 ha kebun karet. Dari kebun karetnya
itu, paling tidak ia bisa mengantungi Rp 100 ribu sebulan.
Jumlah itu bisa untuk memberi pendidikan yang layak bagi dua
anaknya.
Suroyo dulu pernah mukim di proyek transmigrasi Kal-Bar, lalu
pindah ke Batumarta. Ia nampaknya betah, dan sedang mengumpulkan
bahan untuk menulis buku. "Dari Batumarta hubungan mudah,"
katanya, "kalau mau ke Jakarta tak sampai waktu sehari."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini