MULANYA hanya kerja iseng seorang mahasiswa. Yang kemudian,
dengan dorongan dosennya, dikembangkan menjadi "kerja serius".
Maka dibukalah sebuah pameran patung berjudul "Kreativitas tanpa
Yenny Rachman," di Galeri Institut Kesenian Jakarta (IKJ) 1-15
Desember ini.
Gagasan nyentrik ini agaknya memang menjawab pameran senirupa di
Pusat Pengembangan Kesenian DKI, di Kuningan, bulan lalu -- yang
dibuka oleh bintang film Yenny. Pameran yang dulu itu konon
makan biaya berjuta rupiah -- menampilkan karya para seniman
muda "dari seluruh Indonesia" yang kurang mengesankan.
Apa yang dibanggakan pameran Akademi Senipatung IKJ ini?
Sebagian besar patung, ternyata, ukurannya tak lebih besar dari
empu jari Yenny Rachman. Karena itu dalam ruang sekitar 10 x 10
m itu bisa dipajang lebih dari seratus Patung.
Yah, memang hanya soal ukuran. Cuma, dalam karya senirupa ukuran
ternyata punya peranan. Bayangkan sebuah patung besar yang
dibuatkan duplikatnya dalam ukuran sekian kali lebih kecil.
Walau bentuk karya itu ditiru secara persis, ukuran kecil dan
besar tentulah memberikan citra berbeda. Pun sebaliknya: bila
yang kecil dibesarkan.
Misalnya saja patung-patung kayu karya Ira Koswara dalam pameran
ini.
Seorang lelaki duduk berbaju hitam potongan Cina, bercaping.
Yang lain: patung seorang lelaki sedang mengayun langkah. Tinggi
patung itu tak lebih dari 10 cm. Kesan pertama: ini barang
mainan yang lucu. Hanya, teknik pembuatannya memberi kesan
betapa telatennya si pematung --misalnya dalam mengukir mata,
hidung, mulut. Kesan-kesan itu tak akan muncul bila patung itu
dibuat dalam ukuran besar.
Kecuali itu penonton sendiri terpaksa cermat. Dan kecermaun
memang tak sia-sia untuk karya-karya mini yang memang berhasil.
Yakni yang tak mengesankan hanya sebuah miniatur--yang baru
menjadi karyajadi bila sudah dibesarkan. Beberapa karya Dot
Barimotz, misalnya, memberi kesan begitu. Contoh: patung mini
berupa figur yang sedang merentang tangan berlandaskan bentuk
silinder. Kesannya, patung ini baru merupakan rencana sebuah
monumen besar.
Dengan sedikit memilih, karya-karya Dianthus Patiasina agaknya
merupakan contoh keminian yang memberi kekhasan. Ada bentuk
entah apa yang merupakan susunan bulatan, dipadu dengan bentuk
seperti kerangka kipas. Kelunakan wujud bulat dan ketajaman
bentuk kerangka, pada patung mini ternyata tak begitu terasa
kontrasnya. Dan perpaduannya seperti menimbulkan gerak: ada
dialog dua bentuk yang tak pernah berhenti. Ini membuat karya
itu mengikat.
Ada juga patung-patung mini yang disusun dari onderdil, entah
arloji atau barang mainan elektronik atau apa. Onderdil, di
tangan seorang pematung, ternyata bisa memberikan citra sebuah
taman yang sejuk.
Pameran patung memang tak sesering pameran lukisan. Kecuali
patung tak praktis diangkut ke sana-sini, kerja mematung sendiri
relatif lebih lama dibanding kerja melukis. Agaknya
patung-patung mini mahasiswa IKJ ini bisa memberikan perspektif
baru: kerja mematung, dan usaha memamerkan patung yang lebih
praktis --karena bentuknya yang mini tadi.
Tentu, sekali lagi, asal tak hanya mencipta semacam "maket".
Asal tak hanya menyerupai hasil bikinan kanak-kanak Bali di
tengah permainan mereka. Atau boneka di toko souvenir.
Kontras mestinya terbit antara karya mini dan karya monumental
yang membutuhkan ruang luas. Alternatif baru mestinya terlihat,
sehubungan dengan makin padatnya lingkungan.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini