Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Bertani di bekas alang-alang

Pemukiman transmigran di batumarta, ogan komering ulu, sumatra selatan. contoh pertanian lahan kering. penghuni menerima kebun karet siap sadap.

12 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMBIL tersenyum-senyum, Wakil Presiden Adam Malik berdiri di hadapan para transmigran di Batumarta Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan. "Saudara jangan merasa terlempar ke mari. Indonesia itu dari Sabang sampai Merauke," kata Wapres ketika berada di sana Minggu lalu dalam rangka peninjauan rutin. Para penghuni tempat pemukiman baru itu memang "terlempar" dari tempat asal mereka: Ja-Bar, Ja-Teng, Ja-Tim dan Bali. Di atas areal 65 ribu hektar itu, kini bermukim 4.395 KK (20 ribu jiwa). Batumarta yang berhawa sejuk dan mulai hijau oleh tumbuhan pangan dan karet, merupakan proyek percontohan pertanian lahan kering. Lokasi transmigrasi yang mulai dihuni sejak 1976 itu, bisa dicapai sekitar satu jam dengan mobil dari Baturaja ibukota Kab. OKU). Jalan selebar 6 meter, yang 3 meter sudah diaspal hingga kendaraan bisa lewat dengan aman walau hujan deras. Rumah yang tadinya terdiri dari papan beratap genting, banyak yang sudah berganti rupa. Di Unit VI, misalnya, 27 dari 44 KK penghuni yang berasal dari Boyolali (datang tahun 1977), sudah bisa membangun rumah baru. Beberapa di antaranya bertembok penuh. Rumah asli berukuran 4 x 6 meter kini mereka jadikan kandang sapi. Bekas Wartawan Sekolah pun tersedia. Ada 4 SD, 5 madrasah, 3 SMP dan sebuah SMA Tanzania yang diresmikan Presiden Yulius Nyerere, Oktober lalu. Pasar Gotong Royong yang kian ramai pun, mampu menyedot puluhan pedagang. Pihak Pemda OKU telah membangun sebuah pasar lagi--yang lebih besar dan megah --dan konon bakal dibuka tak lama lagi. Keceriaan wajah proyek ini, dicapai dalam waktu relatif singkat. Enam tahun lalu daerah ini sebagian besar berupa padang alang-alang. Hasil survei tahun 1975 menunjukkan bahwa areal itu cocok untuk tanaman karet dan ternak sapi. Juli 1976, kata pemimpin proyek A. Choesnan, Internatonal Bank for Reconstructon and Development (IBRD) menyediakan dana sebesar US$ 30 juta, ditambah US$ 26 juta dari Pemerintah RI. Pemukiman Batumarta disiapkan hampir berbarengan dengan Sitiung di Sumatera Barat dan Rimbo Bujang di Jambi. Di Sitiung, dengan luas areal 5.500 ha, tinggal 4.000 KK transmigran. Selain rumah dan pekarangan di atas tanah seluas 1/4 ha, para transmigran juga mendapat 1 ha tanah untuk ladang yang siap tanam ketika pemukiman itu pertama kali dihuni 1976. Di Batumarta ditempatkan beberapa sarjana. Di samping Choesnan, dokter hewan yang pernah memimpin transmigrasi AD di Lampung, ada sarjana pertanian, perkebunan dan kehutanan. Yang sarjana pertanian, misalnya, antara lain mengelola kebun benih yang luasnya 200 ha. Dan perkebunan karet yang akan dibagikan masing-masing 1 ha kepada tiap KK, dikelola sarjana perkebunan dibantu PTP X. Kebun karet itu akan diserahkan kepada para transmigran setelah siap sadap (2 - 3 tahun lagi). Setiap KK juga mendapat 4 hektar tanah 1 ha untuk tanaman keras, selebihnya untuk tanaman pangan. Zuhdi Safari, guru SD di Batumarta asal Brebes yang tahun lalu terpilih sebagai juara III transmigran teladan nasional, bisa memetik 3 ton lebih padi dari areal 1 ha. Tiap 75 hari ia juga bisa memanen 10.000 bongkol jagung. Ditambah 100 ekor ayam ternak, maka hidupnya cukup tenang. Tiap tiga bulan ia balik ke P. Jawa, menengok tiga anaknya sembari menyerahkan gajinya sebaga guru untuk biaya mereka. Tapi petani lain seperti Djojo Sudarmo dan Reso Suwarno, hanya bisa panen dengan hasil 4 - 5 kuintal/ha. "Padi IR 36 yang kami tanam terlalu tinggi batangnya. Rebah kalau tertiup angin," kata Sudarmo. Zuhdi rupanya lebih pintar: dia menanam jenis sirendab. Ibnu Suroyo, bekas wartawan Pos Kota di Jakarta, terutama senang karena bakal memperoleh 1 ha kebun karet. Dari kebun karetnya itu, paling tidak ia bisa mengantungi Rp 100 ribu sebulan. Jumlah itu bisa untuk memberi pendidikan yang layak bagi dua anaknya. Suroyo dulu pernah mukim di proyek transmigrasi Kal-Bar, lalu pindah ke Batumarta. Ia nampaknya betah, dan sedang mengumpulkan bahan untuk menulis buku. "Dari Batumarta hubungan mudah," katanya, "kalau mau ke Jakarta tak sampai waktu sehari."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus