SOENARTO Pr, pelukis yang didaulat untuk membimbing para
penderita penyakit jiwa di Rumah Sakit Jiwa Grogol (Jakarta)
suatu hari bertanya-tanya ke mana salah seorang murid asuhannya.
"Tadi pagi dia memecahkan kaca jendela. Dia minggat," jawab
seorang pasien yang sedang bersiap-siap untuk menerima pelajaran
melukis.
Bekas pimpinan Sanggar Bambu '59 yang berambut panjang sampai ke
bahu itu teringat pada lukisan-lukisan yang dibuat Salamah
(bukan nama sebenarnya). Biasanya wanita itu memilih rumah,
gunung atau laut. Tetapi hari-hari terakhir dia banyak membuat
lukisan yang menggambarkan kemarahan. Lukisannya yang paling
akhir adalah tentang binatang berlidah panjang berwarna merah
seperti api.
Soenarto, 50 tahun, tidak terlalu paham mengenai penyakit
jiwa. Tapi dari pengalamannya mengajar di kalangan orang-orang
yang "guncang" jiwa di rumah sakit itu, dia tambah yakin bahwa
perasaan orang bisa terbaca dari lukisannya.
Contoh lain lagi. Ada seorang penderita, selain gila dia juga
tuli dan bisu. Karena tak ketahuan siapa nama sebenarnya, dia
kemudian dipanggil Susi oleh penghuni rumah sakit. Menurut
Soenarto, si Susi ini bagus lukisannya. "Barangkali tak ada
pelukis yang bisa melukis begitu abstrak seperti Susi," cerita
Soenarto Pr. Kepada TEMPO.
Tapi pada suatu hari tiba-tiba gaya lukisannya berubah. Susi
beralih dari abstrak ke realis. Sang guru bertanya-tanya,
mengapa lukisan Susi jadi aneh. "Tadi pagi dia mencoba melarikan
diri, tapi gagal karena tertangkap keamanan," jawab seorang
petugas yang biasanya hadir mengawasi sambil membantu para
pasien.
Sudah sejak setengah tahun yang lalu Soenarto menjadi guru di
rumah sakit jiwa itu. Dia diundang pihak rumah sakit untuk
membimbing para penderita yang sudah masuk dalam kategori ringan
dan dipersiapkan untuk dikembalikan ke masyarakat. Mereka memang
masih mendapat obat-obatan, tapi dosisnya sudah jauh berkurang.
Gembira Melukis
Selain melukis, pasien juga belajar membuat barang-barang
kerajinan. Menonton dan olahraga termasuk pula dalam jadwal
rehabilitasi yang dipusatkan di dalam ruangan yang berukuran
sekitar 50 mÿFD. Ruangan itu bernama Bagian Therapi Sosial.
Soenarto Pr. seminggu sekali mengajar di situ. Pelukis yang
berpembawaan tenang itu nampaknya memang cocok betul untuk
pekerjaan yang dibebankan padanya. Dia cukup sabar untuk
menghadapi rupa-rupa tingkah laku yang sering-sering tak
terduga. "Ngapain lu ke mari geblek!" muridnya yang biasanya
pendiam tiba-tiba menghardik di pintu masuk.
Kalau mengajar anak-anak, barangkali dia tak perlu mengambilkan
cat dan memilihkan kuas. Tapi buat para penderita gangguan jiwa
dia harus melakukannya. Sundari (bukan nama sebenarnya) menurut
pengakuan Soenarto merupakan muridnya yang paling produktif.Tapi
untuk mempersiapkan sebuah lukisan Soenarto Pr. harus menyalakan
rokok, karena wanita berusia 30 tahun itu perokok berat. Dia
juga harus melorotkan cat dari tube, karena kalau tak begitu
Sundari akan melukis dengan sebuah warna saja.
Satu kali muridnva ini melukis pantai dengan gunung sebagai
latar belakang. Di tengah laut dia membuat sebuah bundaran
gelap. Disangka perahu. Ternyata menurut si murid itu adalah
gua.
Sekali mengajar menurut Soenarto Pr dia mendapat honorarium Rp
10.000. "Tapi boleh dibilang uang itu kebanyakan habis terpakai
untuk menghibur pasien. Karena saban hari saya harus membawa
oleh-oleh rokok atau permen," katanya.
Kelihatannya dia senang dengan lapangan yang baru ini. "Saya
ingin belajar. Dan buat para penderita, melukis mungkin akan
memberikan penyembuhan. Karena yang saya lihat mereka sangat
gembira kalau sedang melukis," katanya pula.
Para murid Soenarto Pr. nampaknya telah menghasilkan beberapa
lukisan yang mendapat kesempatan dipamerkan di Hotel Sari
Pasific awal Desember. Sekitar 20 lukisan dari Rumah Sakit Jiwa
Grogol turut serta dalam pameran besar para penderita gangguan
jiwa dari seluruh rumah sakit jiwa di Indonesia yang
diselenggarakan untuk memeriahkan pertemuan ASEAN Forum on
Mental Rhabilitation 29 November sampai 4 Desember di hotel
itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini