Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Mitos La Ode Wuna, Siluman Separuh Ular yang Menjadi Nenek Moyang Migrasi Masyarakat Sulawesi Tenggara ke Maluku

Dosen UI, melalui BRIN, mengangkat kajian mengenai mitos siluman setengah ular. Erat kaitannya dengan sejarah pergerakan masyarakat Sulawesi Tenggara.

27 Maret 2024 | 10.46 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PRMB) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengerjakan kajian terkait mitologi yang berhubungan dengan sejarah pergerakan masyarakat Sulawesi Tenggara ke Maluku. Penelitian yang dikerjakan Dosen Universitas Indonesia (UI), Geger Riyanto itu berjudul Dari Siluman jadi Nenek Moyang: Dinamika Sejarah Mistis di Tengah Pergerakan ke Maluku.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Terdapat sebuah mitos di kalangan masyarakat Sulawesi Tenggara—persisnya wilayah Munda dan Buton—mengenai La Ode Wuna, jelmaan makhluk setengah ular. Geger mengatakan siluman ular itu diresmikan sebagai nenek moyang dari sejarah pergerakan Maluku.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Sekelumit kisah yang mewakili cerita mistis di tengah masyarakat, yang dipercaya menjadi salah satu budaya Indonesia,” ucap Geger dalam suatu forum diskusi budaya, dikutip dari siaran pers BRIN pada Selasa, 26 Maret 2024.

Dari sisi struktur mitos, kata Geger, La ode Wuna merupakan pangeran dari Muna yang diusir. Meski nihil penjelasan sejarah yang spesifik, cerita itu kemungkinan terjadi pada zaman kerajaan.

”Jika berbicara dalam kondisi sekarang, (kisah) ini merefleksikan pergerakan orang Buton ke Maluku Tengah yang berlangsung intens sejak akhir abad ke-19 sampai hari ini,” kata dia.  

Geger menjelaskan bahwa Buton tergabung ke dalam Maluku sejak lama. Kesultanan Buton merupakan bagian dari “Dunia Maluku” yang berpusat di Ternate. Cerita ini, kata dia, muncul dalam catatan kronikus portugis bernama Antonio Galvao yang sempat tinggal di Ternate pada 1536 – 1539. Kini Buton adalah salah satu kabupaten di Sulawesi Tenggara. 

Pengajar di Departemen Antropologi UI itu juga menemukan mitos Bikusagara, cerita seorang tetua di Ternate yang menemukan empat telur naga yang menetas dan melahirkan empat manusia. Ketika dewasa, masing-masing dari mereka menjadi Raja Bacan, Raja Papua, Raja Butung (Raja Buton) dan Banggai, serta istri Raja loloda.

Kajian Geger juga mengisahkan migrasi orang Buton ke Maluku yang bersifat ekonomis. Mereka datang demi peluang kerja pasca industrialisasi eropa. Masyarakat Buton membuka kebun kelapa, serta bekerja sebagai buruh musiman di kebun cengkeh orang Maluku. Tapi, sebelumnya mereka sudah memiliki jaringan dagang dengan Maluku Tengah.

Cerita La Ode Wuna sangat beragam. Kisah tersebut selalu diulang-ulang hingga menjadi elemen kontradiktif yang paling mudah diingat. Anak Sultan Muna itu dikurung dan diusir oleh ayahnya karena sebuah skandal.

Manusia berbadan separuh ular itu beranjak ke Seram. La Ode Wuna digambarkan sebagai sosok sakti yang bisa hadir kapan saja.  pelindung dan pemberi berkah untuk orang banyak. Geger menyebut sosok itu sebagai ‘teteh ular’.

Dalam banyak cerita, La Ode Wuna dihubungkan dengan sejarah mistis dunia Maluku. Sosok ini muncul dalam sejarah mistis sebagai utusan kerajaan luar dalam mitos di Waraka pada 1973-1974. Kala itu dia belum dikaitkan dengan orang Buton.

Kisah ini disambung turun temurun agar masyarakat Seram memiliki ritual dan mitos untuk terhubung dengan ‘yang asing’. Cerita La Ode Wuna yang tersebar itu diambil kembali oleh orang Buton sebagai bukti sejarah setelah mereka didiskriminasi dan direndahkan sebagai orang asing di Maluku.

Sebagian warga Maluku Tengah, Geger meneruskan, tidak suka dengan klaim sejarah mistis La Ode Wuna yang dianggap ngawur.  Mitos itu menjadi subjek kontroversi di Maluku Tengah.

Peneliti Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN, Hutomo, menilai penuturan Geger bukan karena sifat yang sentimental. “Secara tidak langsung, mitos ini mempunyai peranan penting dalam komunitas Maluku sendiri,” tuturnya.

Dia mengakui adanya beberapa konteks pada mitos itu yang dibuat agar dipercaya dan ditakuti masyarakat. Namun, hal itu juga dianggap membawa harapan.

Secara tidak langsung, kata Hutomo, cerita tersebut mengandung beberapa nilai tentang aktivitas kehidupan manusia untuk tidak saling memusuhi dan bersinggungan. Sisi lain mitos itu menjadi penting bagi suatu komunitas atau budaya tertentu.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus