TIGA sosok mayat yang teronggok di dalam kotak kaca di museum Kota Urumqi, Provinsi Xinjiang, Cina, tampak seolah baru dikubur kemarin. Sepatu bot dari kulit lakan dan kain panjang ungu yang membalut tubuh mereka masih utuh, sebagaimana juga sebagian kulitnya. Sulit dibayangkan, mayat itu -- sepasang orang dewasa dan seorang bocah dua tahun -- telah menemui ajal lebih dari 3.000 tahun lampau. Yang lebih aneh, ketiga jasad itu berambut pirang, berhidung mancung, dan matanya menjorok ke dalam. Tengkorak kepalanya juga panjang. Semua itu menunjukkan ciri-ciri ras Kaukasia, seperti umumnya orang bule. Padahal jasad itu ditemukan di kawasan Gurun Taklimakan, di kaki Tian Shan (Pegunungan Kahayangan), sebelah barat laut daratan Cina. Sejak penggalian dilakukan di situs pekuburan di kawasan itu, 16 tahun silam, sudah ditemukan 113 mumi -- ditaksir berumur 2.000-4.000 tahun -- yang fisiknya khas orang Eropa. Diperkirakan, seratus mumi lagi masih terbenam di situs tersebut. Mengapa sanak leluhur bangsa Barat ada di kawasan terpencil padang kering Asia Tengah, yang terpaut ribuan kilometer dari kampungnya? Teka-teki ini terus mengganggu Victor Mair, profesor sinologi di Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat, sejak ia berkunjung ke Urumqi, tujuh tahun lalu. Upayanya menyibak misteri mumi bule itu diungkap dalam Discover, April 1994. Mair mengontak Wang Binghua, arkeolog yang pertama kali menemukan mumi dari Xinjiang itu, pada 1991. Mereka sepakat, lalu membentuk tim yang melibatkan pakar genetika dan spesialis tekstil kuno. Tim itu menyisir ulang situs asal mumi di Qizilchoqa (Bukit Kecil Merah) dan Desa Subashi. Mereka mengais artefak yang tersisa, seperti sisir kayu, jarum tisik dari tulang, serta potongan kayu. Selain itu, mereka mengumpulkan berbotol-botol sampel tulang dan jaringan otot mumi -- terutama dari bagian tertutup seperti lipatan paha dan tangan -- untuk melacak riwayatnya dengan tes DNA. Beberapa mumi yang sempat dikubur kembali -- karena museum Urumqi tak dapat menampung -- digali lagi. Kondisinya tak berubah banyak. Berbeda dengan mumi Mesir, mumi Xinjiang memang terawetkan secara alami. Proses pemumian dilakukan sendiri oleh alam gurun bebatuan yang kerontang. Dalam kuburan dangkal, suhu berkisar 40 derajat Celsius di siang hari. Itu cepat mengeringkan kulit mayat sekaligus melindunginya dari bakteri pembusuk. Dan berlainan dengan Pharaoh Mesir kuno, mumi Xinjiang bukan bangsawan. Makam mereka tak berupa monumen khusus. Benda yang ikut dikubur bersama mumi umumnya peralatan sehari-hari. Kalaupun ada perhiasan, tak terlalu berharga. Karena itu, kuburan mumi Xinjiang lumayan lestari -- tak diincar perampok. Saat ini tes DNA belum selesai. Namun, hampir pasti, mumi Xinjiang berasal dari Eropa Barat. Ini terbukti dari teknik tenun kain penutup mumi itu yang khas Eropa -- mirip dengan contoh kain dari periode 3.000-4.000 tahun sebelum Masehi yang ditemukan di Jerman, Austria, dan Skandinavia. Bisa jadi mereka cukup lama menetap di Xinjiang, tersebar di mata rantai oasis Asia Tengah yang ratusan tahun kemudian dikenal sebagai rute kuno perdagangan Asia-Eropa: Jalur Sutra. Dilihat dari topi kuncung -- seperti topi tukang sihir dalam gambaran orang Barat modern -- yang dikenakan mumi di Subashi, kemungkinan merekalah suku Saka. Catatan Iran kuno menyebutkan, pada tahun 520 SM, Raja Persia Darius menaklukkan sebuah suku di Asia Tengah yang disebutnya sebagai "kaum Saka yang bertopi kuncung". Sementara itu, literatur Cina abad kedua menyebut dua suku asing yang hidup di perbatasan barat Cina, yaitu puak Yuezhi dan Wusun, yang dianggap sebagai gerombolan barbar. Namun, dilihat dari artefak yang ditemukan, agaknya urusan mereka tak sekadar mengacau hidup leluhur bangsa Cina. Tapi juga memberi alih teknologi: mengenalkan penempaan logam dan barang paling revolusioner saat itu, roda. Dari sebilah kayu yang ditemukan bersama mumi, terungkap bahwa mereka tidak saja membuat sanggurdi dan perhiasan logam, tapi juga mengendarai kereta kuda beroda. Teknik pembuatannya identik dengan yang dipakai di daerah stepa Ukraina dan seputar Pegunungan Ural sejak 3000 SM. Kehadiran mereka di Asia Tengah, agaknya, berkaitan dengan mulai dikenalnya kereta beroda di Cina, sekitar tahun 1000 SM. Bahkan, besar kemungkinan puak bule di Xinjiang ini juga turut menyumbang teknologi medis. Dari sesosok mumi, ditemukan luka bekas operasi yang dijahit dengan benang dari surai rambut kuda. Mair menautkan penemuan ini dengan legenda Huatuo. Dalam sastra Cina abad ketiga, tersebutlah Huatuo, seorang tabib istimewa yang dapat memperbaiki organ dalam tubuh manusia. Sebelum organ dikeluarkan, pasien dibiusnya dengan meminumkan anggur dan bubuk bunga poppy (opium). Mair memperkirakan, mumi Xinjiang menggunakan bahasa campuran India-Eropa yang disebut Tocharian. Bentuk pengungkapan bahasa ini sebagian terlihat dari torehan di dinding gua di perbukitan sekitar Urumqi. Gua-gua itu sendiri dipenuhi lukisan epos ksatria berjanggut merah, berparas Eropa. Misteri mumi Xinjiang belum terungkap tuntas. Namun, penemuan ini membuktikan, Cina tak tertutup dari pengaruh luar. Dan itu sudah terjadi tiga ribuan tahun yang lampau. Ivan Haris
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini