Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Bahasa politik cendekiawan

Bahasa politik indonesia adalah bahasa persepsi. rencana berdirinya icki untuk mengimbangi icmi yang makin berkibar, mendapat sambutan hangat dari masyarakat.

21 Mei 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAHASA politik Indonesia adalah bahasa reduksi, dengan maksud mengurangi makna yang sebenarnya dari sebuah termin. Seorang "ditahan" disebut "dimintai keterangan". Kalau aktivis, seniman, dan budayawan dilarang melakukan kegiatannya diungkapkan sebagai "pencekalan" -- sama halnya dengan mereka yang terlibat kasus Bapindo. Bahasa politik Indonesia juga adalah bahasa persepsi. Demokrasi bisa bermakna luas, dapat pula bermakna sempit. Atau ambil contoh istilah cendekiawan atau intelektual, yang sekarang sedang marak dibicarakan, dapat diartikan mereka yang bergelar sarjana, pemilik jabatan birokrasi, tokoh politik, atau siapa saja yang merasa dirinya intelektual. Kalau kita hendak memahami gejala ICKI yang akan lahir, mungkin dapat melalui bahasa reduksi ini. Gosip politik di Jakarta sudah lama menyuarakan akan lahirnya sebuah organisasi cendekiawan yang baru. Dan yang santer terdengar adalah yang akan dibidani oleh Menteri Siswono Yudohusodo, terutama untuk menampung kalangan intelektual nasionalis dengan nama ICNI, Ikatan Cendekiawan Nasional Indonesia. Mungkin karena gencarnya serangan terhadap munculnya gejala "politik aliran" dan primordialisme, niat tersebut urung. Bahkan Menteri Siswono membantah akan adanya rencana tersebut. Akan tetapi politikus senior Alamsjah Ratu Perwiranegara ternyata masih lincah dengan manuver-manuvernya. Mulai dengan "doa politik", isu suksesi, sampai -- yang terakhir -- mensponsori ICKI, Ikatan Cendekiawan Kebangsaan Indonesia. Mengapa ICKI? Alamsjah membeberkan beberapa alasannya. Antara lain, itu sebagai "perekat" organisasi para cendekia yang sudah ada seperti PIKI, ICMI, ISKA, dan FCHI. Juga dikatakan karena organisasi yang ada cenderung memperlihatkan gejala sektarian. Dengan adanya ICKI, sektarianisme dapat dibendung sehingga semangat persatuan dan kesatuan dalam negara bangsa dapat terpelihara dengan baik. Akan tetapi orang tak akan percaya begitu saja dengan alasan "formal" itu. Tentunya ada tujuan lain yang jauh lebih penting. Kehadiran ICKI, diakui atau tidak, suka atau tidak, tentu ada kaitannya dengan ICMI, yakni untuk membendung penampilan ICMI yang sangat marak sejak dibentuknya, awal tahun 1990. ICMI menampakkan diri sebagai burung merak yang mengepakkan sayapnya seakan menantang dunia di sekitarnya. Kehadiran ICMI menimbulkan kekhawatiran yang kuat di banyak kalangan karena ada gejala bahwa ICMI bukan semata-mata sebagai wadah untuk melakukan diskursus intelektual, akan tetapi lebih merupakan wadah untuk mobilisasi politik. Apakah benar demikian? Orang kemudian mencari sejumlah indikator, seperti munculnya dengan proporsi yang substansif para tokoh dan aktivis ICMI dalam lembaga legislatif, birokrasi pemerintahan seperti dalam kabinet, sesuatu yang sangat tak biasa atau unprecedented. ICMI juga muncul di beberapa BUMN, dan yang terakhir dalam kepengurusan Golkar -- ketika Habibie menjadi ketua formaturnya. Orang juga mengkhawatirkan kehadiran ICMI karena ICMI itu sendiri. ICMI menangani banyak hal dengan hierarki organisasi yang korporatis. Yang sangat menakjubkan, ICMI merangkum banyak pihak, mulai pejabat tinggi (presiden, wakil presiden, sejumlah menteri) di Jakarta, sampai para bupati di daerah. Dengan kepemimpinan yang energik dari Menteri Habibie, dan personalitinya yang mempunyai daya tarik tersendiri, tingkat prevalensi organisasi seperti ini bagaimanapun juga menimbulkan kesan bahwa ICMI bukan lagi sebagai tempat untuk diskursus intelektual. ICMI telah menjadi wahana mobilisasi politik, baik untuk kepentingan jangka pendek maupun jangka panjang. Tak pelak lagi ICMI dituduh sebagai organisasi politik, bukan organisasi kaum cendekiawan. Dan kemudian lahirlah ICKI. Pertanyaannya, apakah yang menjadi lahan organisasi ini. Siapakah yang akan menjadi figur utamanya? Tentu jawabannya bersifat "negatif". Artinya, mereka yang "tak" termasuk dalam salah satu organisasi intelektual yang sudah ada. Bukan ICMI, PIKI, ISKA, atau FCHI. Siapakah mereka? Para menteri atau tokoh militer? Dan yang sangat tak jelas jawabannya adalah siapa saja yang mau bergabung dan merasa dirinya intelektual. Masalahnya kemudian adalah soal merasa atau rumangsa, bukan persoalan realita. Dalam kenyataannya, berapa banyak intelektual atau cendekiawan yang sebenarnya di Indonesia ini sehingga begitu banyak organisasinya? Kecendekiawanan tak ada kaitannya dengan gelar. Sekalipun seseorang mempunyai gelar BA, Drs, MA, dan PhD, belum tentu ia seorang cendekiawan. Seorang pengajar di sebuah perguruan tinggi hebat dengan jabatan akademik yang tertinggi, belum tentu ia seorang cendekiawan. Kecendekiawanan tak ada hubungannya dengan jabatan resmi, tak resmi, atau politik. Menteri, gubernur, dan bupati belum tentu seorang cendekiawan. Kalangan cendekiawan, kata Edward Shils, adalah mereka yang mampu memberikan penjelasan tentang dunia dengan nalarnya kepada masyarakat. Dia harus mampu menjawab pertanyaan fundamental dan hakiki dalam kehidupan ini. Ia tak hanya memiliki nalar, akan tetapi juga hati nurani. Ia punya komitmen yang sangat tinggi dengan lingkungan yang ada di sekitarnya. Cendekiawan memiliki satu tradisi tersendiri, yaitu tradisi olah nalar dan olah rasa. Dan yang tak kalah penting adalah cendekiawan tak dapat diikat dengan bingkai-bingkai organisasi dan kekuasaan. Ia adalah burung yang dapat terbang bebas ke mana ia suka dengan panggilan hati nuraninya. Dengan pengertian seperti ini, berapa banyak cendekiawan atau intelektual dari 186 juta penduduk Indonesia? Maaf saja, tak banyak, bahkan sungguh sangat sedikit. Seorang yang semula memenuhi kriteria cendekiawan bisa saja segera berubah menjadi politikus setelah bergabung dengan sebuah partai. Ia tak lagi punya kebebasan untuk berbicara sesuai dengan hati nuraninya. Apalagi kalau mereka sudah berkhayal untuk bisa memegang suatu jabatan politik. Siapa saja yang merasa dan mengaku diri sebagai cendekiawan. Jadi persoalannya adalah soal rumangsa dan persepsi, dan di atas segalanya adalah persoalan politik, kepentingan politik. Dan itulah bahasa politik Indonesia. Bahasa yang dikemas sedemikian rupa sehingga makna yang sebenarnya menjadi kabur dan kemudian diinterpretasikan sesuai dengan kepentingan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus