Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko mengatakan riset menjadi salah satu pilar utama ekonomi nasional sehingga memerlukan dukungan politik.
BRIN akan menarik sebanyak-banyaknya talenta unggul yang tersebar di banyak negara.
Menurut Handoko, riset tidak perlu ada di semua tempat.
SEJAK dilantik sebagai Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada 28 April lalu, Laksana Tri Handoko segera berkonsolidasi. Saban hari, baik secara tatap muka maupun virtual, ia menyambangi para pejabat dan pegawai lembaga-lembaga riset utama untuk menjelaskan ihwal BRIN yang menjadi badan riset tunggal di Indonesia. "Banyak yang menanyakan, ‘Ini nanti kita jadi gimana, sih’," kata Handoko, 53 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo di Lantai 24 Gedung B.J. Habibie, Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa, 11 Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah akhirnya memisahkan BRIN dari Kementerian Riset dan Teknologi dua tahun setelah rencana itu digagas mantan Menteri Riset dan Teknologi, Bambang Brodjonegoro. BRIN menjadi lembaga yang berada langsung di bawah Presiden, sementara Kementerian Riset dan Teknologi dilebur ke dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. BRIN menjadi wadah tunggal yang menaungi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, yang sebelumnya menginduk di Kementerian Riset dan Teknologi, juga berada di bawah BRIN.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Handoko mengawali konsolidasi dari LIPI, lembaga yang ia pimpin tiga tahun terakhir. Lembaga riset tertua dan terbesar di Tanah Air itu merasakan langsung tangan dingin ilmuwan lulusan Jepang ini dalam transformasi menjadi lembaga riset yang lebih efektif, efisien, dan produktif. Handoko mengakui resistansi internal, termasuk dari sederet kolega peneliti, cukup keras pada masa awal pembenahan LIPI. "Sekarang enggak jadi problem. Mereka happy dan paham, 'Oh, iya, memang benar anak itu (Handoko)'. Kan, saya masih muda dibanding mereka," ujarnya, tergelak.
Kepada wartawan Tempo, Sapto Yunus dan Mahardika Satria Hadi, Handoko menjelaskan upayanya mengintegrasikan lembaga-lembaga riset utama, strategi pengembangan riset dan inovasi di bawah BRIN, diaspora peneliti, hingga pentingnya peran riset sektor swasta. Ia juga menanggapi kekhawatiran banyak pihak terhadap potensi politisasi BRIN.
BRIN menaungi lembaga-lembaga riset besar yang telah mapan. Bagaimana Anda memastikan koordinasi antar-lembaga riset tersebut berjalan lancar?
Kami sedang berproses. Khususnya kami konsolidasikan anggaran dulu karena itu titik paling awal. Saat ini kami fokusnya konsolidasi eks Kementerian Riset dan Teknologi dan empat LPNK (lembaga pemerintah non-kementerian), yaitu LIPI, BPPT, Batan, Lapan, termasuk Lembaga Eijkman.
Setelah dilebur ke dalam BRIN, apakah lima lembaga riset tersebut akan tetap mempertahankan entitas masing-masing?
Yang penting tugas-fungsinya masih berjalan. Entitas itu masalah branding. Itu bisa dibuat, lah, tidak jadi masalah. Yang penting kami mengubah proses bisnis supaya yang tadinya sumber daya riset, infrastruktur, dan anggaran ada di mana-mana menjadi satu dulu karena itu masalah fundamentalnya.
Seperti apa posisi setiap lembaga riset dalam struktur baru BRIN?
Kami merencanakan mereka menjadi organisasi nonstruktural sehingga basisnya fungsional. Dengan begitu, mereka bisa berfokus ke riset saja.
Bagaimana nasib para kepala lembaga riset tersebut?
Saya mau open bidding untuk semua supaya fair. Jadi, tidak ada kapling-kaplingan. Saya tahu mereka semua profesional. Kalau ada yang mau ikut lagi, silakan, kami terbuka.
Apakah ada penolakan dari pejabat ataupun pegawai di lima lembaga riset tersebut?
Sejauh ini saya belum melihat ada penolakan, tapi banyak yang menanyakan, “Ini nanti kita jadi gimana, sih.” Ini kan statusnya ASN (aparatur sipil negara). Memangnya saya enggak sedih karena menjadi Kepala LIPI terakhir, misalnya.
Berapa jumlah peneliti yang tergabung dalam BRIN?
Kalau total pegawainya sekitar 10 ribu dari lima lembaga. Penelitinya hampir 6.000 orang.
Bagaimana gambaran dunia riset dan inovasi Tanah Air di bawah BRIN?
Kalau jadi satu lebih gampang berkolaborasi. Problem fundamental riset kita dari dulu adalah critical mass yang rendah. Critical mass sumber daya manusia unggul, infrastruktur yang excellent, dan anggaran kalau dikumpulkan jadi besar. Sumber daya manusianya 1.071 orang per satu juta penduduk. Anggaran Rp 37 triliun. Tapi semua sepertinya kurang karena dipencar di mana-mana sehingga mereka tidak mungkin berkompetisi. Riset tidak perlu ada di semua tempat.
Dengan tantangan tersebut, seperti apa strategi riset dan inovasi BRIN?
Dengan konsolidasi, minimal kami bisa memperbaiki critical mass milik pemerintah. Sebab, jarang ada lembaga riset swasta. Padahal seharusnya ada banyak lembaga riset swasta. Lembaga riset pemerintah cukup satu-dua. Bahkan tidak perlu ada pada banyak negara, he-he-he…. Sedangkan kita terbalik. Ini tecermin di angka GERD (gross expenditure on research and development). Belanja penelitian dan pengembangan pemerintah masih 80 persen. Padahal menurut UNESCO seharusnya 80 persen swasta, 20 persen pemerintah. Malaysia saja begitu, 75 persen swasta, 25 persen pemerintah. Artinya, lembaga riset swasta di sini tidak berkembang. Lembaga riset pemerintahnya gede, tapi ke mana-mana.
Apakah persoalan riset dan inovasi selesai ketika critical mass tercapai?
Tidak. Kita memiliki banyak orang pintar, tapi riset tidak sesimpel itu. Riset harus komplet di semua aspeknya. Itu yang belum ada. Sebab, orang makin pintar pasti makin spesifik. Saya, misalnya, paham fisika teori. Tapi fisika material saja saya sudah enggak ngerti. Jadi saya enggak bisa jadi periset di situ. Nah, soal ini kita masih banyak bolongnya.
Apa solusinya?
Strategi berikutnya adalah menarik sebanyak mungkin talenta. Sebab, dari tiga komponen tadi, 70 persen adalah sumber daya manusia unggul, infrastruktur hanya 20 persen, sisanya baru anggaran. Meskipun anggaran kecil, jadi enabler (pendukung) utama. Makanya kami konsolidasikan anggaran dulu. Nanti yang lain mengikuti.
Siapa saja talenta unggul yang kini masih berdiaspora di berbagai negara?
Saya percaya kalau yang kuliah sampai S-3 kemungkinan besar 30 persennya punya passion jadi periset. Kalau enggak begitu, dia tidak akan sekolah sampai S-3. Potensi itu yang saya incar. Saya selalu bilang kalau merekrut talenta ini enggak bisa seperti merekrut PNS (pegawai negeri sipil). Kita buka pengumuman dan duduk manis menunggu, lalu datang 30 ribu pelamar. Tidak bisa begitu. Kalau talenta itu kita harus hunting. Selama menjadi Kepala LIPI, saya setiap minggu berdiskusi dengan Persatuan Pelajar Indonesia di Korea, Amerika, Jerman.
Bagaimana caranya menarik talenta-talenta unggul yang masih berada di luar negeri?
Kita tidak bisa menarik sumber daya manusia unggul kalau tak punya infrastruktur. Itu yang terjadi dengan saya dulu. Saya diaspora juga. Separuh teman-teman saya enggak balik ke Indonesia.
Apa motivasi mereka untuk bertahan di negara lain?
Macam-macam. Tapi secara umum, ya, karena mereka tidak bisa melanjutkan sesuatu sesuai dengan passion-nya. Enggak ada "mainan". Kalau enggak ada “mainan", ya orangnya langsung drop.
Selama Anda menjabat Kepala LIPI, sudah berapa banyak talenta yang bisa ditarik pulang dari luar negeri?
Belum banyak. Total 150-an orang. Padahal saya membuka tiap tahun 100 slot. Terakhir kami membuka 118 tempat, yang masuk hanya 60 orang. Enggak gampang juga menarik talenta unggul. Apalagi kalau tidak melakukan apa-apa. Mereka tidak akan balik.
Apakah ada persoalan gaji?
Menurut saya, sekarang salary sudah layak. Minimal kalau dibanding Malaysia kita sudah comparable, lah. Toh, di luar negeri mereka pasti kontrak. Kalau di sini kan bisa permanen. Jadi keunggulan komparatifnya sudah ada.
Bagaimana BRIN mendorong pengembangan riset sektor swasta?
BRIN harus menjadi enabler supaya swasta mampu masuk ke R&D (riset dan pengembangan) karena ini problem dasar. Riset swasta masih rendah kontribusinya karena R&D memang high risk dan high cost. Investasi tinggi, hasil enggak jelas.
Bagaimana pemerintah menjembatani penghiliran hasil riset dan inovasi ke sektor industri?
Konsep hilirisasi karena pola pikir kita masih linier. Pokoknya saya riset, entah dapat wangsit dari mana, kalau sudah jadi saya tawarkan ke industri. Hilirisasi sekarang seperti itu. Padahal best practices di dunia proses itu terjadi alami karena ada interaksi antara industri dan orang-orang yang melakukan riset. Industri kan membawa problem, sementara para periset yang punya calon solusinya.
Lalu mengapa selama ini keduanya tidak bisa berjalan seperti itu?
Karena lembaga risetnya punya pemerintah. "Ini milikku, ini otoritasku. Kalau you mau pakai sehari Rp 2 juta, masuk PNBP (penerimaan negara bukan pajak)". Padahal enggak boleh begitu. Justru biarkan industri masuk, habis itu berbagi paten. Nanti royalti dibagi sesuai dengan proporsi paten.
Contohnya seperti apa?
Misalnya ventilator Gerlink LIPI High Flow Nasal Cannula. Hasil kerja sama antara peneliti LIPI Bandung dan PT Gerlink Utama Mandiri. Hasil penjualannya sepanjang Desember 2020 sampai Maret 2021 sebesar Rp 22 miliar. Itu sudah dapat Rp 1 miliar royalti di 40 persennya saja. Kami mendapat 60 persennya sekitar Rp 1,6 miliar. Itu terjadi alami. Semua harus sama-sama untung.
Bagaimana mengkomunikasikan konsep ini kepada para peneliti yang masih punya pemikiran lama?
Enggak usah dikomunikasikan. Lakukan saja. Itu kan sistem. Ini yang saya lakukan di LIPI. Kalau pakai sosialisasi, yo ra rampung (tak kunjung selesai). Nanti uangnya habis buat sosialisasi ke hotel.
Publik menyoroti keberadaan dewan pengarah di BRIN. Sesuai dengan Pasal 7 ayat 2 Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2021, ketua dewan pengarah secara ex officio berasal dari unsur dewan pengarah badan yang menyelenggarakan pembinaan ideologi Pancasila. Tanggapan Anda?
Ya enggak apa-apa, malah bagus. Apakah kalian lupa dulu Menristek (Menteri Riset dan Teknologi) kita ketua partai politik? Padahal Menristek adalah eksekutornya. Pak Habibie ketua parpol, Pak Suharna (Surapranata) dan Pak Hatta Rajasa juga. Sekarang ketuanya (BRIN) dari kalangan profesional. Saya melihat dari sisi positifnya. Itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019. Filosofinya, kalau dibaca betul, riset itu menjadi salah satu pilar utama ekonomi kita ke depan. Karena itu, perlu didukung. Tidak cukup didukung teknokrat saja, aspek teknokratisnya saja. Saya ditunjuk, lalu bikin riset dan inovasi, lalu terserah berjuang dewe (sendiri). Kan, enggak begitu.
Jadi BRIN membutuhkan dukungan politik?
Persis. Dulu, pada waktu Pak Habibie, dukungan politisnya luar biasa. Kan, bagus.
Sejauh mana peran Dewan Pengarah BRIN?
Mengarahkan saja.
Apakah termasuk mengarahkan riset apa saja yang bisa digarap BRIN?
Enggak, lah. Aspek teknisnya masih di kami semua. Memang (dewan pengarah) ada waktu juga? Tapi kan kami jadi enak. Apa yang kami putuskan di sini bisa langsung didukung oleh Menteri Keuangan, Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), ada dukungan politik. Harus dilihat di sisi itu. Karena kita ingin riset menjadi pilar ekonomi. Kita tidak pernah melihat ada negara yang bisa maju tanpa ilmu pengetahuan dan teknologi dan risetnya maju.
Bagaimana dengan kekhawatiran bahwa Dewan Pengarah akan menyeleksi riset mana yang bisa dan tidak bisa dilakukan?
Menristek bolak-balik ketua parpol tidak ada yang ribut. Ketua parpol aktif, lho, ya. Itu realitas.
Benarkah Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Megawati Soekarnoputri yang didapuk sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN?
Keputusan presidennya belum ada. Saya belum pernah tahu, belum terima. Setahu saya memang belum ada penunjukan apa pun.
Apakah idealnya Ketua Dewan Pengarah itu ilmuwan?
Tidak penting apakah harus ilmuwan. Yang penting seberapa jauh dia bisa mendukung. Saya maunya yang praktis-praktis saja, bisa mendukung dari sisi kebijakan makro, karena itu suatu ranah yang mungkin saya mengalami kesulitan.
Apakah ada kemungkinan BRIN terbentur ganjalan yang membutuhkan dukungan politik Dewan Pengarah?
Pasti, dong, karena riset itu kan lintas kementerian dan lembaga. Kementerian lain sangat kooperatif selama ini. Tapi harus ada sesuatu yang lebih di atas, ya, apakah presiden. Dukungan politis pasti perlu. Di negara mana pun sama. Umumnya science council itu ketuanya kepala negara. Di Jepang kan perdana menteri yang mengepalai.
Anda disebut dekat dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Apakah kedekatan itu yang membuat Anda terpilih sebagai Kepala BRIN?
Sejujurnya saya enggak tahu. Saya dekat dengan siapa saja. Saya lebih dekat dengan Pak Habibie, lho, dari dulu. Saya dibilang cucu intelektual.
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, Laksana Tri Handoko , memberikan keterangan usai dilantik di Istana Negara, Jakarta, 28 April 2021. BPMI Setpres/Rusman
Berbekal pengalaman mentransformasi LIPI, apakah Anda optimistis bisa melakukan perubahan yang sama di BRIN?
Sebagai Kepala LIPI saat membahas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019, saya berusaha menyampaikan problem dunia riset kita. Sebab, itu problem yang saya temukan sejak pulang (dari Jepang) setelah jadi diaspora. Itulah keprihatinan saya dan saya terapkan di LIPI, yaitu memecahkan problem itu. LIPI adalah miniatur problem riset di Indonesia. Setelah saya jadikan satu, kami punya kapasitas yang besar untuk melakukan investasi, pemeliharaan, operasional, dan seterusnya. Ide ini yang selalu saya sampaikan saat proses drafting untuk undang-undang tersebut.
Benarkah salah satu kendala dalam dunia riset selama ini adalah soal anggaran?
Buat saya tidak. Selama saya Kepala LIPI tidak pernah sekali pun menyampaikan LIPI kekurangan duit.
Lalu apa persoalannya?
Salah manajemen. Makanya manajemen riset dan proses bisnis harus diperbaiki. Itu nomor satu. Buktinya, kami bisa membangun segala macam di LIPI tiga tahun terakhir. Dengan infrastruktur yang ada, kami percepat rekrutmen sumber daya manusianya. Kami bikin terbuka sehingga orang kampus bisa bergabung. Mereka malah bisa mendapat anggaran eksternal, dan itu menjadi KPI (indikator kinerja utama) kalau di LIPI. Setiap grup riset harus punya anggaran eksternal. Kalau dia tidak punya anggaran eksternal, tahun depan kami tutup. Karena itu artinya dia tidak berguna. Buat apa dia bikin grup kalau tidak bisa mendapatkan anggaran eksternal.
Dari mana para peneliti memperoleh anggaran eksternal itu?
Bisa kerja sama dengan industri. Kalau yang murni sains dasar bisa mencari hibah riset dari luar negeri. Itu yang tidak pernah terjadi di Indonesia dan di LIPI saya tunjukkan sudah bisa dilakukan. Jadi riset itu sumber devisa, bukan cost center.
Kapan Anda dipanggil oleh Presiden untuk ditawari posisi ini?
Saya dipanggil Selasa siang (27 April 2021), sehari sebelum dilantik.
Presiden menyampaikan alasan mengapa menunjuk Anda?
Saya juga enggak nanya. Beliau tidak bilang. Kami lebih banyak diskusi. Saya disuruh apa sih sebenarnya? Targetnya apa? He-he-he…. Saya tanya itu dulu. Kan, kita harus mengukur diri juga, dong. Saya harus berpikir dalam waktu cepat, kan. Beliau berpesan, pertama, konsolidasi. Kedua, refocusing ke digital, green economy, blue economy yang basisnya sumber daya alam dan keanekaragaman lokal. Kita sudah punya local competitiveness-nya. Jadi tidak mulai dari nol, minimal untuk jangka pendek dan menengah.
Program apa yang paling mendapat perhatian Presiden?
Green economy. Basis negara ini kan juga itu.
LAKSANA TRI HANDOKO | Tempat dan tanggal lahir: Malang, Jawa Timur, 7 Mei 1968 | Pendidikan: S-1 Fisika di Kumamoto University, Jepang (1993); S-2 Fisika Partikel Elementer Teoritik di Hiroshima University, Jepang (1995); S-3 Fisika Partikel Elementer Teoritik di Hiroshima University, Jepang (1998) | Karier: Kepala Group Fisika Teori dan Komputasi di Pusat Penelitian Fisika Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (2002-2012), Kepala Pusat Penelitian Informatika LIPI (2012-2014), Deputi Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI (2014-2018), Kepala LIPI (2018-April 2021), Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (sejak 28 April 2021) | Penghargaan: Habibie Award for Basic Science (2004), Achmad Bakrie Award for Science (2008), Satyalancana Wira Karya untuk Sains (2009), Anugerah Kekayaan Intelektual Luar Biasa Bidang Ilmu Pengetahuan (2009), Penemuan Baru yang Bermanfaat bagi Negara (2010), ICTP Simons Regular Associate (2014-2019)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo