Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KLIMAKS perburuan itu datang pada siang bolong. Saat itu suhu di padang es Pulau Ellesmere, Kanada, di bawah angka- nol derajat Celsius, seperti biasa-. -Dingin angin Kutub Utara membuat engsel tulang hampir copot, meski saat itu musim panas. Meski begitu, pakar biologi dari Universitas Chicago, Neil H. Shubin, bersama timnya tak berhenti menggali di bagian selatan pulau yang berjarak 600 kilometer dari Kutub Utara itu.
Tiba-tiba terdengar suara kaget. ”Apa itu?” seorang anggota tim berseru- sambil menunjuk sebuah fosil yang menempel- di dinding tebing. Bentuk fosil- yang aneh: seperti moncong ikan, tapi berkepala datar. Dalam hitungan menit, fosil itu pun menjadi magnet yang menyedot perhatian tim pemburu fosil. Ada sejumput kegembiraan yang hinggap di kepala para peneliti itu. Mereka telah memulai perburuan sejak 1999. Dan Juli 2004, mereka baru mendapatkan hasil- yang benar-benar istimewa. Ada sedikit dag-dig-dug di dada Shubin. ”Jika beruntung, seluruh sisa kerangka ikan itu pasti masih utuh di dalam batuan tebing,” ujar profesor itu.
Tak lama berselang, tim berhasil me-nemukan dua fosil serupa di dekat lokasi penemuan pertama. Karena musim panas—yang hanya berlangsung beberapa- pekan—hampir berakhir, Shubin me-mutuskan memboyong fosil bersama bong-kahan batunya ke laboratoriumnya- di Universitas Chicago. Di sana fosil misterius itu dibersihkan, dipotret, direka ulang, dan dibuatkan replikanya.
Berpuluh pertanyaan yang ada di be-nak Shubin kini mulai terjawab. Fosil aneh itu adalah fosil ikan purba. Ikan berkepala datar sebenarnya bukan hal aneh, lele pun berkepala datar. Tapi ikan ini jelas bukan lele. Panjangnya diperkirakan 1,2 hingga 2,75 meter. Tulang-tulangnya nyaris utuh. Hanya sirip belakang dan ekornya yang hilang.
Agar tak ragu, Shubin mengajak dua pakar biologi lain untuk meneliti fosil ini, yang sebelumnya tak pernah ditemukan sepanjang sejarah. Mereka adalah Edward B. Daeschler dari Academy of Natural Science, Philadelphia, dan Farish A. Jenkins Jr dari Universitas Harvard. Perlu berkutat berbulan-bulan sebelum trio peneliti ini mengumumkan kesimpulan yang menggemparkan jagat teori evolusi: fosil ikan itu ternyata hewan peralihan dari ikan purba menuju hewan berkaki empat purba (tetrapoda) yang hidup di darat. Inilah mata rantai yang dicari-cari ilmuwan peneliti evolusi makhluk air menjadi makhluk darat.
Sebuah musim panas yang menggigil akhirnya terbayar dengan temuan spek-takuler itu. Ikan ini diberi nama Tiktaalik roseae. Kata Tiktaalik diambil dari bahasa Inuktitut yang berarti ikan besar yang hidup di air dangkal. Inuktitut adalah bahasa yang dipakai suku Inuit (Eskimo Timur) yang mendiami Pulau Ellesmere.
Sedangkan nama generiknya adalah fishapod, yang merupakan kependekan dari fish-tetrapod (ikan berkaki empat). Dalam taksonomi, hewan ini dimasukkan dalam kelompok kerajaan Animalia, filum Chordata, subfilum Vertebrata, kelas Sarcopterygii, subkelas Tetrapodomorpha, dan genus Tiktaalik.
Tiktaalik diperkirakan hidup sekitar- 375 juta tahun yang lalu pada periode Devonian. Periode ini membentang dari 416 hingga 359 juta tahun yang lalu. Selama periode itu, ikan pertama berevolusi sehingga mempunyai kaki dan mulai berjalan di darat dalam bentuk hewan amfibi. Pada periode itu pula artropoda pertama seperti serangga dan laba-laba mulai menguasai daratan. Tumbuhan berbiji juga mulai menyebar ke seluruh dunia membentuk hutan-hutan besar. Di laut, ikan hiu dan moluska pertama hadir.
Hasil penelitian ketiga pakar ini dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Nature edisi 6 April 2006 dengan judul ”A Devonian Tetrapod-Like Fish and the Evolution of the Tetrapod Body Plan”. Tim Shubin yakin, Tiktaalik adalah jembatan yang menghubungkan antara Panderichthys, ikan yang hidup 385 juta tahun silam, dan Acanthostega, hewan bertungkai yang hidup 365 juta tahun lampau.
Tiktaalik secara umum memiliki ciri-ciri seekor ikan. Tapi ia juga mempu-nyai beberapa bagian tubuh yang ha-nya dimiliki makhluk darat. Misalnya, sirip- depan Tiktaalik mirip tangan yang memiliki struktur tulang kaki buaya-. Ia juga mempunyai bahu, siku, dan pergelangan tangan. Keunikan lainnya, ikan ini mempunyai gigi taring seperti- laiknya hewan predator. Ia pun memiliki tengkorak kepala yang mendatar di bagian atasnya sehingga mirip tengko-rak buaya, serta leher yang dapat bergerak secara independen dari badannya. Kemampuan seperti ini tidak ada pada ikan biasa.
Dari posisi kedua matanya yang nangkring di kepala, hewan ini diduga banyak- menghabiskan masa hidupnya dengan melihat ke atas. Peneliti memperkirakan, sirip depan yang seperti tangan itu digunakan untuk menopang tubuh Tiktaalik agar dapat melongok ke permukaan air. Jennifer Clack, ahli kepurbakalaan dari Universitas Cambridge, yakin Tiktaalik tidak mempunyai rangkaian tulang yang pada ikan biasa dipakai untuk menutupi insang dan membantu pernapasan. ”Hilangnya tulang antara kepala dan bahu itu menandakan Tiktaalik memiliki leher dan dapat menaikkan kepalanya untuk menghirup udara,” ujarnya.
Bagaimana evolusi ikan menjadi makhluk darat itu terjadi? Richard Dawkins, pakar biologi evolusi dari Universitas Oxford, menuturkan bahwa- fosil Tiktaalik menunjukkan proses evolusi itu dimulai bertahap. Mula-mula ikan pindah dari air dalam ke air dang-kal. Lalu, selanjutnya ia berubah menjadi semacam reptil. Bahkan Shubin yakin inilah cikal-bakal pohon kehidupan yang berujung pada manusia. Atau, de-ngan kata lain, sepupu kita adalah ikan.
Di mata Profesor Boedhihartono, ahli kepurbakalaan dari Universitas Indonesia, penemuan Tiktaalik sama penting-nya dengan penemuan burung Ar-chae-o-pteryx pada 1861. Burung yang hidup pada akhir periode Jurasik 160 juta tahun lalu ini sangat terkenal karena merupakan hewan transisi dari reptil ke burung. Namun, Boedhi tidak sepakat jika disebutkan Tiktaalik ber-ada dalam cabang pohon kehidupan yang menuju kepada manusia. ”Terlalu jauh jaraknya ke manusia,” ujar doktor bidang human ecology dari Universitas Paris VII ini kepada Tempo.
Ia menjelaskan, manusia modern diperkirakan mulai ada di bumi sekitar 100 ribu tahun yang lalu pada periode Pleistosen, era Kenozoik. Sebelum sampai ke era Kenozoik, terdapat era Paleozoik dan Mesozoik yang diwarnai- de-ngan kepunahan massal makhluk- hidup. Di dalam paleontologi, dikenal istilah cabang (clade) dan tingkat (grade). Clade dipakai untuk menerangkan bahwa satu jenis makhluk hidup mempunyai hubung-an evolusi dengan jenis makhluk hidup lainnya. ”Misalnya, Homo sapiens- berasal dari Homo erectus yang menyim-pang,” kata Boedhi-hartono.
Sedangkan grade dipakai untuk men-jelaskan posisi satu makhluk hidup terhadap makhluk hidup lainnya tanpa menjelaskan hubungan evolusi di antara keduanya. ”Homo erectus dan Homo sapiens bisa disebut grade yang ber-beda dan tidak berhubungan,” tutur lelaki yang juga meraih gelar doktoral bidang paleoantropologi dari Universitas California, Berkeley, ini. Untuk Tiktaalik, Boedhi lebih sepakat meletakkan ikan tersebut pada grade dan bukan pada clade. Ia berdalih, untuk mengetahui letaknya pada pohon kehidupan, masih dibutuhkan penelitian lebih dalam. Masih butuh perjalanan panjang untuk membuktikan bahwa ikan adalah nenek moyang manusia.
Efri Ritonga (AP, BBC, Guardian, Seed, Time)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo