Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tim dosen dan mahasiswa Institut Teknologi Bandung menemukan cara mengolah pasir besi menjadi logam. Metode yang dikembangkan di laboratorium Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB itu menjadi terobosan di industri pengolahan besi Indonesia. Mereka menjuluki produk itu “nugget besi”.
Selama ini, para pelaku industri baru bisa memisahkan unsur besi (Fe) dari pasir besi. Konsentratnya berupa pelet, tapi masih tercampur dengan tanah atau pasir. “Belum sampai menjadi logam besi,” ujar dosen dari Kelompok Keahlian Teknik Metalurgi ITB, Zulfiadi Zulhan, Ahad, 17 Maret lalu.
Gagasan Zulfiadi membuat metode pengolahan pasir besi yang lebih efisien muncul setelah ia pulang dari studi dan bekerja di Jerman pada 2014. Saat itu sudah ada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang melarang produk mineral, termasuk bijih atau pasir besi, diekspor dalam bentuk mentah. Pelaku industri wajib mengolahnya dulu di dalam negeri.
Kebijakan itu, menurut Zulfiadi, menghantam perusahaan pasir besi lokal yang tak memiliki teknologi pengolahan. Industri besi baja tak mau mengolah pasir besi menjadi logam besi. Mereka pun enggan memakai pasir besi yang masih mengandung titanium karena pemrosesannya lebih sulit dan titik leburnya tinggi. Walhasil, bijih besi hematit atau primer menjadi pilihan utama. “Enggak ada titanium sehingga mudah dilebur,” katanya.
Metode Pengolahan Baru Pasir Besi
Kandungan elemen dalam pasir besi berbeda-beda di tiap daerah. Didominasi unsur besi, pasir besi juga mengandung titanium yang terhitung sebagai bonus karena harganya tinggi. Unsur lain yang mahal harganya dalam pasir besi adalah vanadium, tapi jumlahnya sangat kecil.
Para peneliti ITB menggunakan pasir besi asal Yogyakarta. Mereka mendapat dana awal riset dari pemerintah sebesar Rp 150 juta. Penelitian yang dibantu para mahasiswa pada 2015 itu diawali dengan mengenali karakteristik pasir besi jika dipanaskan pada suhu tertentu. Salah satu acuan studi ini adalah hasil riset pasir besi dari Jepang pada 1965.
Tim ITB kemudian mengembangkan sejumlah modifikasi sehingga memperoleh metode yang optimal. Zulfiadi mewajibkan mahasiswa S-1 dan S-2 yang tertarik pada riset pasir besi membuat minimal tiga sampel uji. Tujuannya, konsistensi hasil pengolahan bisa terjaga. “Tidak cuma satu sampel yang terkesan kebetulan,” ucapnya.
Produk perdana mereka berupa logam besi sebesar kacang hijau. Butiran-butiran besi itu muncul di sekeliling bola pasir besi seukuran kelereng. Produk itu merupakan hasil pemanasan di tungku bertemperatur kurang dari 1.400 derajat Celsius selama kurang dari tiga jam.
Riset lanjutan pada 2018 menghasilkan nugget besi dengan bentuk berbeda. Dengan penambahan sejumlah bahan kimia, partikel besi bisa menyatu menjadi bola kecil berdiameter hingga 6 milimeter dan berwarna kekuningan seperti emas. “Lima puluh-enam puluh persen yang keluar jadi logam besi bulat itu tanpa titanium,” tutur Zulfiadi.
Riset nugget besi itu telah menghasilkan 14 lulusan S-1 dan S-2. Meski sukses memproduksi logam besi dari pasir besi, Zulfiadi belum puas. Dia ingin mencari metode lain yang lebih cocok diterapkan di industri. “Proses ini yang masih banyak tantangannya,” katanya.
Tim ITB kini melebarkan kerja sama dalam riset pasir besi. Sejumlah lembaga tergabung dalam kemitraan riset, antara lain Badan Kejuruan Mesin Persatuan Insinyur Indonesia, Balai Besar Logam dan Mesin Kementerian Perindustrian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara, serta Universitas Jenderal Achmad Yani, Cimahi, Jawa Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo