Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nah, kalau gedung bertingkat hangus terbakar, itu berarti konstruksi betonnya rusak total, rusak di bagian kolom atau tiang, sementara dindingnya keropos, minimal retak-retak. Untuk meremajakan bangunan itu, diperlukan biaya besar yang mustahil diperoleh berhubung krisis yang membelit ekonomi Indonesia sampai detik ini tak kunjung teratasi. Apalagi bila harus mendirikan bangunan baru, setelah lebih dulu merobohkan bangunan lama. Agar dapat meruntuhkan bangunan lama saja, diperlukan biaya 30 persen dari total biaya perbaikan.
Tapi sekarang biaya bisa ditekan, setidaknya untuk ongkos memperbaiki konstruksi beton. Kini ada alternatif yang lebih murah dan cepat, tanpa harus merobohkan betonnya. Alternatif itu cukup dilakukan dengan hanya mengoleskan atau menyemprotkan semacam pasta perekat dinding pada beton yang rusak ataupun retak. Dalam waktu yang tak begitu lama, bangunan rusak bisa mulus kembali.
Itulah teknologi beton polimer, yang ditemukan Prof. Juanda Suraatmadja dari Laboratorium Struktur dan Bahan Institut Teknologi Bandung. Penemuan itu dibiayai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) serta Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pada mulanya, Prof. Juanda berupaya mencari ramuan substitusi semen. Hal itu dilakukannnya karena semen biasa dianggap kurang kuat untuk menyatukan beton lama dengan yang baru. Karena daya rekat semen rendah, tak mustahil timbul retak-retak lagi setelah bangunan lama dipadukan dengan bangunan baru.
Lantas, Juanda membuat semacam formulasi organik, dengan bahan baku karbon dan hidrogen. Bahan itu kemudian dipadu dengan bahan dari limbah industri, seperti terak nikel, baja, tailing tembaga, dan abu terbang. Material yang tak perlu diimpor itu--semuanya tersedia di dalam negeri--lalu diolah menjadi pasta alias perekat.
Dr. Dicky Manaf, staf peneliti ITB, mengatakan, setelah pasta tersebut diuji di laboratorium, ternyata perekat pembangun beton polimer buatan Juanda cukup efektif untuk menyatukan beton lama dan baru pada bangunan yang akan ditinggikan. Perekat itu pun bisa digunakan untuk menambal gedung yang keropos akibat dilalap api atau retak diguncang gempa bumi.
Tentu, bila tingkat kerusakan gedung terhitung parah, perekat beton polimer bukan pilihan tepat. Sebab, biaya penggunaannya membengkak, mungkin setara dengan biaya meruntuhkan gedung lama lalu membangun yang baru. Kalau sudah begitu, menurut Dicky Manaf, ya, lupakan betor polimer, dirikan gedung baru, habis perkara.
Dibandingkan dengan semen biasa, kelebihan beton polimer terletak pada daya tahannya yang lebih tinggi terhadap serangan si jago merah. Sifat termoplastiknya memungkinkan bangunan itu tak langsung meleleh ketika terbakar. Bangunan akan membara dulu sekitar tiga jam. Jadi, beton ini berbeda dengan beton dari semen biasa, yang meleleh bila termakan api. Kekuatan beton semen terhadap serangan api hanya sampai suhu 800 derajat Celsius. Sedangkan beton polimer bisa bertahan sampai suhu 1.400 derajat Celsius.
Ketahanan fisiknya juga lebih liat dan kuat ketimbang beton semen. "Kelebihan itulah yang membuat beton polimer direkomendasikan untuk merehabilitasi gedung pasca-kebakaran dan kerusuhan," tutur Dr. Pariatmono, peneliti dari BPPT.
Sebetulnya, di bidang konstruksi, beton polimer bukan barang baru. Material itu sudah dikembangkan sejak 1970 dan diaplikasikan dua dasawarsa kemudian oleh Jepang. Selama ini, teknologi beton polimer telah digunakan di Amerika Serikat, Eropa Utara, dan juga Afrika Selatan.
Di Indonesia, teknologi itu diformulasikan dan dikembangkan oleh Prof. Juanda pada 1994. Kini perekat temuan Juanda digunakan untuk merehabilitasi Mal Permata Cimone, Tangerang, yang rusak dilalap api sewaktu kerusuhan Mei silam. Sebelumnya, bangunan PT Semen Padang yang rusak karena kejatuhan alat berat konstruksi juga ditambal dengan pasta polimer.
Ma’ruf Samudra dan Raju Febrian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo