Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Film fiksi ilmiah Armageddon dan Deep Impact, yang dirilis 17 tahun lalu, menunjukkan betapa sulit menghadang asteroid yang hendak menabrak bumi. Kenyataannya, hingga kini, manusia belum memiliki pertahanan aktif untuk melawan asteroid. Satu-satunya tameng bumi adalah lapisan atmosfer. Tapi lapisan itu tak akan sanggup menahan asteroid berukuran besar seperti yang pernah meledak di Tunguska, Siberia, Rusia, pada 1908.
Dengan estimasi kekuatan setara dengan 3-10 megaton bom hidrogen, efek ledakan asteroid berdiameter 50 meter di Tunguska itu membunuh binatang dan membuat 80 ribu pohon di area seluas 2.000 kilometer persegi rata dengan tanah. Ledakan asteroid serupa bisa lebih fatal jika terjadi di wilayah padat penduduk seperti London, Inggris. Efek ledakannya menghancurkan seluruh kota. Penduduk di Kota Oxford, sekitar 96 kilometer dari London, bisa terbakar karena panas yang timbul dari ledakan. Dampak ledakan bisa terasa hingga Skotlandia.
Kewaspadaan terhadap ancaman asteroid itu menjadi topik utama perayaan Hari Asteroid, 30 Juni lalu. Waktu perayaan itu diambil bersamaan dengan tanggal peristiwa ledakan di Tunguska. Ilmuwan, astronaut, dan selebritas menandatangani Deklarasi 100x, mendesak agar usaha pencarian asteroid yang membahayakan bumi ditingkatkan seratus kali lipat. Astronom Martin Rees; gitaris grup?rock legendaris Queen, Brian May; musikus Peter Gabriel; hingga Eileen Collins, komandan perempuan pertama wahana antariksa NASA, membubuhkan nama mereka dalam deklarasi itu.
Menurut May, seperti ditulis?The Guardian, 30 Juni 2015, sangat penting terus mengingatkan publik dan pemerintah bahwa bumi benar-benar berada dalam ancaman hantaman asteroid. Hal ini, kata dia, kerap dianggap enteng, termasuk ketika menyaksikan film-film seperti yang dibintangi Bruce Willis saat mereka menyelamatkan bumi dari asteroid. "Sesungguhnya asteroid adalah ancaman serius," ujar May, yang juga doktor di bidang astrofisika.
Wilayah bumi yang sebagian besar ditutup air membuat asteroid yang lolos dari atmosfer ada kemungkinan jatuh ke laut. Namun efek benturan sama fatalnya. Tumbukan asteroid berdiameter 300 meter di Samudra Atlantik memicu tsunami yang bisa menyapu kota-kota di pantai timur Amerika Serikat dan pesisir Eropa.
Para peneliti, seperti ditulis?The Telegraph, 30 Juni 2015, memperingatkan ada peluang Inggris dihantam asteroid dalam periode 85 tahun mendatang. "Masalah terbesar dari hantaman asteroid adalah tsunami, dan Inggris memiliki risiko besar itu," kata Clemens Rumpf, peneliti dan kandidat doktor dari Universitas Southampton.
Para ilmuwan memperkirakan ada 1 juta asteroid di tata surya yang suatu saat dapat menghantam bumi. Tapi cuma 10 ribu asteroid yang dikenali dan terus dilacak. Rees mengatakan perkembangan teknologi memungkinkan pelacakan jalur asteroid berukuran di atas 50 meter yang berpotensi beririsan dengan bumi. Peluangnya menghantam bumi terjadi sekali dalam seabad.
"Seseorang bisa melacak orbit asteroid dan kemungkinannya bertabrakan dengan bumi. Dalam 20-30 tahun mendatang, mungkin sudah ada teknologi untuk mengalihkan jalur obyek itu," ujar Rees.
Asteroid raksasa membawa bencana yang lebih dahsyat. Diperkirakan, sekali dalam 10 ribu tahun, asteroid berdiameter lebih dari 1 kilometer bisa menghantam bumi dan memicu bencana global. Bumi pernah porak-poranda ketika asteroid berdiameter 10 kilometer menghantam wilayah Yucatán, Meksiko, 68 juta tahun silam. Dampaknya adalah kehancuran permukaan bumi, memicu perubahan iklim global, dan membuat dinosaurus punah.
Tabrakan asteroid raksasa juga bisa mengubah muka planet, seperti yang terjadi di Mars. Para peneliti menemukan permukaan Mars ternyata peang. Lapisan kerak planet di belahan utara Mars lebih tipis 26 kilometer dibanding belahan selatan. Seperti ditulis?Scientific American, Februari lalu, para peneliti melakukan percobaan simulasi benturan asteroid. Simulasi menunjukkan anomali permukaan Mars itu dihasilkan oleh hantaman asteroid berdiameter 4.000 kilometer-lebih besar sedikit daripada ukuran bulan-yang terjadi sekitar 4,5 miliar tahun lampau.
Menurut Rees, manusia sudah tahu perkiraan jumlah asteroid yang mengancam, tapi tak tahu pasti kapan asteroid menghantam bumi. Manusia harus mengetahui orbit semua obyek jagat raya itu agar bisa melakukan tindakan pencegahan. "Jika kita tahu ada satu asteroid yang bakal menghantam bumi dalam waktu 50 tahun, hal itu membuat kita berfokus membangun teknologinya," tutur Rees.
Pemantauan asteroid di ruang angkasa tergolong minim. Menurut Abdul Rahman, peneliti dari Pusat Sains Antariksa di Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (Lapan), pemantauan berskala internasional mendata tak lebih dari satu persen dari sekitar sejuta asteroid yang bergerak di tata surya. Padahal, kata Abdul, pelacakan asteroid amat berguna. "Misalnya, mengantisipasi bencana akibat hantaman asteroid yang masuk ke atmosfer bumi," ujarnya kepada Tempo, 1 Juli 2015.
Dari sekitar 12 ribu asteroid yang berada dekat dengan lintasan bumi, kata Abdul, sebanyak 1.594 di antaranya berdiameter di atas 150 meter. Jika asteroid sebesar itu lolos dari atmosfer, "Dapat menjadi bencana besar bagi bumi," ucapnya.
Pemantauan global dilakukan sejak 1994 setelah asteroid raksasa sebesar rumah menghantam Jupiter. Planet terbesar di tata surya itu mengalami kerusakan parah. Kemudian Space Guard Program dibentuk atas prakarsa Amerika Serikat dan Jepang.
NASA juga melacak obyek-obyek luar angkasa yang berpotensi bergerak mendekati bumi dalam Near-Earth Object (NEO) Program. Yang dipantau dalam program ini adalah komet dan asteroid yang bergerak dan dipengaruhi tarikan gravitasi planet-planet terdekat sehingga berpotensi memasuki orbit bumi.
Hingga 29 Juni 2015, sudah ada 12.863 NEO yang ditemukan. Dalam tiga bulan mendatang, menurut data NEO Program, ada 80 asteroid melayang mendekati bumi. Diameter asteroid-asteroid itu beragam, dari 4 meter hingga 2,3 kilometer. Satu asteroid dicatat NASA sebagai 2015 HM10, yang bakal melintas paling dekat dengan bumi meski tak membahayakan. Pada 7 Juli, asteroid bergaris tengah 110 meter itu mencapai posisi terdekatnya dengan bumi pada jarak 422.400 kilometer (jarak bumi ke bulan sekitar 384 ribu kilometer).
Upaya pelacakan kian penting karena probabilitas siklus jatuhnya asteroid di bumi terjadi setiap 200 ribu tahun. Meski siklusnya terbilang panjang, tak satu pun astronom yang tahu kapan sebuah asteroid akan jatuh ke bumi. "Baru akan ketahuan jika teleskop di bumi dapat menangkap citra asteroid dengan jelas," ujar Abdul.
Namun teleskop yang dimiliki manusia saat ini belum cukup untuk mengamati perjalanan seluruh asteroid. "Warga planet bumi belum secanggih itu," ujar Abdul. Indonesia memiliki teleskop optik untuk mengamati asteroid yang dioperasikan oleh Observatorium Bosscha dan Lapan. Indonesia bakal membangun teleskop radar di observatorium nasional yang akan didirikan di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Menurut Hakim L. Malasan, pakar astronomi dari Institut Teknologi Bandung, keberadaan asteroid harus terus diamati. "Asteroid yang jatuh di Rusia pada 2013 tak teramati sama sekali," ucapnya. Untungnya, diameternya tak lebih dari 50 meter dan jatuh di danau di wilayah terpencil di Chelyabinsk. "Bayangkan jika ukurannya lebih dari itu dan menimpa kota metropolitan."
Hantaman asteroid kecil berukuran 50-100 meter, kata Hakim, mampu menciptakan kawah sedalam 1 kilometer. Asteroid raksasa berdiameter 2-10 kilometer membawa efek paling ekstrem. "Dampaknya penghancuran massal seperti era Jurassic Akhir," ujarnya. Besarnya daya hancur asteroid dipengaruhi oleh unsur logam yang dikandungnya. "Logam ini yang membuatnya tak hancur saat memasuki atmosfer."
Ilmuwan terus mencari cara efektif untuk melindungi bumi dari asteroid. Menabrakkan pesawat luar angkasa berukuran besar adalah salah satu strategi untuk membelokkan jalur asteroid. Trik lain adalah dengan konsep?gravity tractor, di mana pesawat antariksa terbang berdampingan dengan asteroid untuk mempengaruhi gaya gravitasi yang bisa membelokkan jalurnya melewati bumi. Dua skenario itu tetap punya sisi buruk. Jika gagal, asteroid yang dipengaruhi agar tak menabrak satu kota bisa menghantam kota yang lain.
Opsi paling populer di mata publik untuk menghentikan asteroid, seperti yang ditunjukkan film-film Hollywood, adalah meledakkan hulu nuklir. Namun para ilmuwan sama sekali tak merekomendasikannya. Menurut Brian May, meledakkan asteroid bukanlah opsi terbaik karena bakal ada banyak fragmen yang bergerak acak dan berbahaya. "Mengubah arah laju asteroid terlihat sebagai opsi yang memungkinkan."
Gabriel Wahyu Titiyoga, Amri Mahbub
Nenek Moyang Para Planet
MESKI bukan planet, riwayat asteroid cukup unik. Sekumpulan bebatuan yang bercampur logam dalam berbagai ukuran ini mengorbit pada Sabuk Asteroid, ruang antara Mars dan Jupiter. Asteroid juga kerap disebut planet minor.
"Mereka adalah sisa sejarah pembentukan tata surya kita pada 4,6 miliar tahun lalu," kata Hakim L. Malasan, pakar astronomi dari Institut Teknologi Bandung.
Jauh sebelum tata surya ada, Hakim bercerita, hanya ada proto-planet atau bakal planet-planet yang kini mengorbit matahari. Benda antariksa itu terus-menerus bertabrakan sehingga ada yang menyatu. Proses selama jutaan tahun itu lantas mulai melumerkan benda antariksa dan membentuk awan piringan hitam. Pada titik inilah planet mulai terbentuk.
"Sedangkan benda antariksa yang tak berhasil menjadi planet akhirnya menyisakan asteroid yang mengelilingi Sabuk," tutur Hakim.
Para ilmuwan NASA memperkirakan Sabuk Asteroid menyimpan 1,1-1,9 juta asteroid yang rata-rata berdiameter 1-50 kilometer. Juga jutaan lainnya yang berukuran lebih kecil. Sesekali asteroid itu terisap gravitasi Jupiter dan menabrak permukaan planet raksasa tersebut. Tabrakan terakhir terkuak pada 2009, yang menyisakan lubang hitam di kutub selatan Jupiter. Tim Teleskop Hubble memperkirakan lebarnya mencapai 8.000 kilometer.
"Luasnya separuh dari lebar Samudra Pasifik," tulis Heidi Hammel, astronom dari Space Science Institute di Boulder, Amerika Serikat, dalam situs kampusnya. Kolega Hammel, Amy Simon-Miller, peneliti NASA, amat yakin bahwa penyebab kawah itu adalah asteroid seukuran lapangan sepak bola. "Dari gambar yang ditangkap Hubble terlihat detail bekas tabrakan," ujarnya.
Tabrakan asteroid-Jupiter memang kerap terjadi sewaktu planet ini baru awal terbentuk. Dengan mempelajari kawah-kawah di Jupiter, para ilmuwan mengelompokkan asteroid menurut ukuran dan komposisi fisik. Hingga sekarang, tercatat ada 35 keluarga asteroid sejak pertama kali ditemukan oleh Giuseppe Piazzi, astronom asal Italia, pada 1801. Kebanyakan asteroid itu memiliki komposisi fisik yang bervariasi.
Keluarga Ceres, misalnya, berinti batuan yang tertutup mantel es serta kelompok Vesta mengandung inti besi-nikel yang bermantel olivin dan berkerak basal. Sedangkan keluarga Hygiea memiliki komposisi batuan primitif seperti kondrit karbon, menjadikannya asteroid besar berdiameter sekitar 500 kilometer. Sedangkan serpihan asteroid kecil yang seragam, kata Simon-Miller, biasanya sering terlepas dari Sabuk.
Begitu terlepas, kata dia, hanya ada tiga kemungkinan: masuk ke medan gravitasi planet, mengorbit asteroid yang lebih besar, atau melayang di ruang angkasa luas. Perbedaan nasib ini juga yang membuat unsur kimiawi asteroid unik.
Para ilmuwan pernah menemukan jejak asam amino dan senyawa organik lain dalam sisa-sisa asteroid yang pernah menghantam bumi. NASA pada Agustus 2011, misalnya, melaporkan asteroid yang ditemukan di bumi menunjukkan jejak komponen DNA dan RNA, seperti adenin, guanin, dan molekul organik lain yang terkait. Para peneliti berasumsi komponen ini pernah tumbuh di ruang angkasa.
Dua dekade ini, isu asteroid kembali santer karena kekhawatiran akan hantamannya ke bumi berikutnya. Puncaknya adalah Hari Asteroid Dunia pertama, yang digelar pada akhir Juni lalu di California Academy of Sciences.
Amri Mahbub (nasa, Space Science Institute)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo