Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dua dekade telah berlalu sejak gelombang dahsyat tsunami melanda Aceh pada 26 Desember 2004, meninggalkan jejak duka yang mendalam di hati bangsa Indonesia dan dunia. Peristiwa ini tidak hanya menjadi salah satu bencana alam paling mematikan dalam sejarah, tetapi juga simbol kekuatan, ketahanan, dan solidaritas manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aceh, yang saat itu luluh lantak, kini bangkit menjadi wilayah yang lebih tangguh dengan infrastruktur yang diperkuat dan masyarakat yang lebih sadar akan mitigasi bencana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam rangka mengenang 20 tahun tsunami Aceh, peneliti dari Pusat Riset Kebencanaan Geologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Nuraini Rahma Hanifa mengajak kepada seluruh masyarakat untuk lebih waspada terhadap potensi bencana yang bisa datang kapan saja.
Rahma menegaskan, potensi bencana dalam bentuk gempa megathrust di wilayah selatan Jawa bisa saja terjadi dan dapat memicu tsunami dengan skala serupa di Aceh. Hal ini perlu mendapat perhatian serius dari para pemangku kepentingan dan masyarakat luas agar dapat melakukan mitigasi risiko dampak bencana dengan cermat.
Berdasarkan hasil risetnya, Rahma menyebut segmen megathrust di selatan Jawa, termasuk Selat Sunda, menyimpan energi tektonik yang signifikan dan berpotensi melepaskan gempa berkekuatan magnitudo 8,7 hingga 9,1.
“Potensi megathrust ini dapat memicu goncangan gempa yang besar dan tsunami, yang menjalar melalui Selat Sunda hingga ke Jakarta dengan waktu tiba sekitar 2,5 jam,” ungkap Rahma melalui pesan tertulis, Jumat, 27 Desember 2024.
Berdasarkan simulasi yang telah dilakukan BRIN bersama tim peneliti dari berbagai institusi, jika tsunami terjadi, ketinggian gelombang diperkirakan dapat mencapai 20 meter di pesisir selatan Jawa, 3–15 meter di Selat Sunda, dan sekitar 1,8 meter di pesisir utara Jakarta. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa fenomena serupa pernah terjadi dalam sejarah, seperti tsunami Pangandaran 2006 yang dipicu oleh marine landslide di dekat Nusa Kambangan.
“Energi yang terkunci di zona subduksi selatan Jawa terus bertambah seiring waktu. Jika dilepaskan sekaligus, goncangan akan memicu tsunami tinggi yang bisa berdampak luas, tidak hanya di selatan Jawa, tetapi juga di wilayah pesisir lainnya,” kata Rahma.
Untuk itulah, kata Rahma, BRIN menekankan pentingnya mitigasi melalui pendekatan struktural dan non-struktural. Pendekatan struktural meliputi pembangunan tanggul penahan tsunami, pemecah ombak, serta penataan ruang di kawasan pesisir dengan memperhatikan jarak aman 250 meter dari bibir pantai.
"Pembangunan hutan pesisir atau vegetasi alami seperti pandan laut dan mangrove juga menjadi solusi berbasis ekosistem untuk meredam energi gelombang tsunami,” ucap Rahma.
Sementara itu, pendekatan non-struktural melibatkan kesiapsiagaan masyarakat melalui edukasi mitigasi bencana, pelatihan simulasi evakuasi, serta penyediaan jalur dan lokasi evakuasi yang memadai. “Kita harus memastikan bahwa masyarakat memiliki pemahaman tentang potensi bahaya tsunami, sistem peringatan dini yang efektif, serta kemampuan merespons dengan cepat,” ujarnya.
Sedangkan untuk daerah perkotaan seperti Jakarta yang memiliki kepadatan penduduk tinggi dan sedimen tanah yang rentan mengamplifikasi goncangan, upaya mitigasi gempa juga mencakup retrofitting atau penguatan struktur bangunan. “Retrofitting sangat penting, terutama untuk bangunan di kawasan padat penduduk, karena goncangan kuat berpotensi menyebabkan kerusakan masif dan korban jiwa,” katanya.
Sementara untuk kawasan industri seperti Cilegon, potensi gempa juga dikhawatirkan dapat memicu kebakaran akibat kebocoran bahan bakar atau bahan kimia di pabrik-pabrik besar. Hal ini menjadi salah satu secondary hazard yang perlu diantisipasi melalui penerapan standar keamanan yang ketat.
Rahma menambahkan, melalui penelitian paleotsunami, BRIN menemukan bahwa gempa megathrust di selatan Jawa memiliki periode ulang sekitar 400–600 tahun. Dengan kejadian terakhir diperkirakan pada 1699, energi yang tersimpan saat ini telah mencapai titik kritis. “Bencana seperti tsunami Aceh mengajarkan kita bahwa kesiapsiagaan dan mitigasi bencana adalah kunci untuk menyelamatkan nyawa,” kata peneliti BRIN ini.
Sebagai upaya mitigasi kebencanaan, BRIN terus bekerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), BMKG, dan institusi terkait lainnya untuk memperkuat sistem peringatan dini tsunami, khususnya di Selat Sunda dan wilayah selatan Jawa. “Salah satu upaya yang dilakukan adalah pemasangan sensor deteksi perubahan muka air laut di kawasan rawan tsunami,” katanya.
Menurut Rahma, peringatan 20 tahun tsunami Aceh menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran akan potensi bencana serupa di masa depan. Dengan dukungan riset dan teknologi, BRIN berharap mitigasi bencana dapat dilakukan lebih sistematis dan efektif. “Kita tidak bisa memprediksi kapan gempa akan terjadi, tetapi kita dapat mempersiapkan diri. Adaptasi, edukasi, dan kolaborasi adalah kunci untuk mengurangi risiko bencana,” kata. Rahma.