Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Peneliti BRIN Optimalkan Performa Sel Surya Generasi Ketiga, Apa Bedanya dengan Generasi Sebelumnya?

Sel surya dapat mengubah energi cahaya matahari menjadi listrik melalui mekanisme fotovoltaik.

15 Agustus 2024 | 08.45 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Profesor Riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Natalita Maulani Nursam. Dok Humas BRIN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Penggunaan sel surya sebagai pembangkit listrik di dunia saat ini mengalami kenaikan signifikan, yaitu rata-rata 40 persen setiap tahunnya. Oleh karena itu, sel surya disebut sebagai teknologi kunci dalam upaya dekarbonisasi global.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sel surya dapat mengubah energi cahaya matahari menjadi listrik melalui mekanisme fotovoltaik. Indonesia memiliki potensi energi surya yang sangat besar, yaitu sebesar 283 gigawatt, namun pemanfaatannya masih tertinggal dibanding sumber energi lain. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Profesor Riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang baru saja dikukuhkan, Natalita Maulani Nursam, mengungkapkan tumbuh pesatnya perkembangan teknologi mengakibatkan adanya pergeseran paradigma penggunaan panel surya yang tadinya hanya digunakan sebagai skala utilitas menjadi kebutuhan sektor yang lebih beragam, seperti elektronik, transportasi serta infrastruktur IOT, baik di luar maupun di dalam ruangan. 

“Kebutuhan tersebut saat ini belum mampu sepenuhnya dipenuhi oleh sel surya berbasis silikon karena keterbatasan karakteristiknya. Oleh karena itu, spesifikasi sel surya di masa depan harus mampu memenuhi empat aspek utama, yaitu mampu menghasilkan efisiensi yang tinggi, memerlukan biaya rendah dan bersifat versatile untuk dapat diimplementasikan pada sektor yang luas,” kata Natalita dikutip dari keterangan resmi BRIN, Kamis, 15 Agustus 2024.

Oleh karena itu, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Elektronika BRIN ini secara konsisten aktif melakukan penelitian terkait pengembangan material dan perangkat sel surya, khususnya teknologi sel surya generasi ketiga yang berbasis pewarna tersensitasi maupun  berbasis material perovskite. 

Perempuan kelahiran Lamongan itu menjelaskan, berdasarkan perkembangannya, teknologi sel surya dapat dikategorikan menjadi tiga generasi. Generasi pertama didominasi oleh sel surya berbasis material silikon kristal. Tantangan yang dihadapi pada generasi ini salah satunya terdapat pada aspek biaya material yang tinggi juga bersifat rigid dan hanya mampu menyerap cahaya dengan intensitas tinggi, sehingga sulit digunakan pada lingkungan dengan kondisi cahaya redup atau yang membutuhkan fleksibilitas.

Sel surya berikutnya yakni generasi dua yang salah satu target utamanya adalah penggunaan material absorber setipis mungkin untuk mengurangi biaya. Namun, kata Natalita, beberapa material sel surya pada generasi ini memiliki kelemahan dari sisi material yang bersifat beracun sehingga menimbulkan kekhawatiran dari aspek kesehatan dan lingkungan.

Karakteristik sel surya generasi ketiga ditandai dengan penggunaan material organik maupun inorganik atau gabungan keduanya yang disebut hybrid. Dye-sensitized solar cell (DSSC) dan perovskite solar cell (PSC) adalah sel surya yang termasuk dalam kategori hybrid. Sel surya ini prosesnya lebih sederhana dibandingkan fabrikasi sel surya silicon, serta dapat dilakukan dengan biaya material jauh lebih murah.

Dari sisi material, Natalita menyebutkan terdapat tiga komponen utama yang dengan optimasi dapat meningkatkan performa DSSC. Komponen tersebut terdiri dari fotoanoda yang berfungsi untuk menyerap cahaya dan membangkitkan muatan; elektroda lawan yang berperan sebagai katalis; dan elektrolit yang berfungsi untuk meregenerasi electron. 

Beberapa riset yang dilakukannya untuk mengoptimalkan performa DSCC di antaranya berupa modifikasi morfologi fotoanoda dengan kombinasi TiO2 mesipori dan nanorod yang mampu mempercepat laju electron transfer. Kemudian pada counter electrode (CE) telah dilakukan rekayasa material berbasiskan modifikasinya yang mampu menghasilkan konduktivitas tinggi. Kemudian pada elektrolit telah dilakukan inovasi berupa penambahan polimer dan penggunaan high viscosity solvent sehingga diperoleh DSCC yang lebih stabil. 

“Selain itu rekayasa optik melalui penambahan lapisan anti-refleksi berbahan colloidal silica juga telah dibuat dan dipatenkan. Penambahan silika ini juga terbukti dapat mempertahankan performa sel surya pada kondisi basah dikarenakan oleh sifat super hidrofilik materialnya,” kata doktor bidang kimia lulusan Melbourne University tersebut. 

Sementara itu, dari sisi perangkat rata-rata 60 hingga 80 persen biaya pabrikasi DSCC konvensional berstruktur sandwich dialokasikan untuk biaya substrat kaca konduktif.  Pada riset ini telah dibuat suatu inovasi DSCC dengan konfigurasi monolitik yang hanya memerlukan satu buah substrat sehingga biaya materialnya jauh lebih rendah.  Selain itu fabrikasi DSCC ini juga lebih mudah untuk diadaptasikan pada proses manufaktur di industri. 

Lebih lanjut, ibu dua orang anak yang telah menghasilkan sembilan paten tersebut menekankan, riset yang berfokus pada fabrikasi modul DSCC adalah suatu langkah logis untuk menjembatani riset skala lab dan industri. Fabrikasi solar window atau jendela penghasil listrik menggunakan teknologi DSCC telah berhasil dibuat. Di mana modul ini difabrikasi secara fully printed menggunakan teknologi yang ramah industri.

Selanjutnya pengembangan material berbasis karbon juga telah dilakukan untuk aplikasi back contact pada sel surya berbasis perovskite. Selain harganya yang lebih murah dibanding logam mulia, PSC dengan elektroda karbon juga terbukti lebih stabil salah satunya karena terhindar dari korosi akibat akumulasi ion. 

“Proses deposisi karbon juga relatif sederhana sehingga sesuai untuk up-scalling. Kombinasi penggunaan elektroda karbon dan whole transport material berupa graphine oxide telah mampu menghasilkan sel surya berbasis perovskite dengan performa baik dan berdasarkan studi numerik diprediksi mampu mencapai efisiensi lebih dari 16 persen,” kata Natalita. 

Meskipun demikian, Natalita mengakui implementasi sel surya generasi ketiga pada level aplikasi dan komersialisasi masih menyisakan banyak tantangan. Salah satu permasalahan utama yang dihadapi adalah kestabilan. “Di mana enkapsulasi merupakan salah satu faktor kunci yang masih memerlukan optimasi. Riset PSC dan DSCC ke depan juga diarahkan pada pemanfaatan bahan alam lokal seperti penggunaan TiO2  hasil ekstraksi mineral dari limbah buangan proses tambang timah,” katanya.

Natalita menekankan, peningkatan performa sel surya generasi ketiga telah berhasil dilakukannya melalui optimasi material maupun device. Kedua, pemilihan material yang murah, stabil dan melimpah menjadi fokus utama.  Dan ketiga teknik fabrikasi yang digunakan telah memprioritaskan potensi adaptasinya untuk proses manufaktur skala industri 

“Perkembangan teknologi sel surya generasi ketiga berlangsung lebih cepat dan dinamis dibanding generasi pendahulunya, sehingga masih diperlukan riset yang masif untuk mengimbangi perkembangannya secara global,” katanya.

Terakhir ia menyampaikan perlu adanya dukungan menyeluruh dari BRIN, akademisi dan industri termasuk perlunya kebijakan untuk mendorong munculnya pelaku industri baru yang inovatif dan kreatif. Dukungan dan sinergitas antara berbagai pihak mutlak diperlukan untuk mendorong pemanfaatan hasil riset sel surya ini agar dapat berkontribusi menuju pencapaian target net zero emission. 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus