Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Peniru Lihai dari Tanah Tropis

Peneliti mengungkap ancaman dari bakteri mematikan yang sukar diidentifikasi. Tahan terhadap sebagian besar antibiotik.

8 Februari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SERATUS peneliti dan teknisi berkumpul di sebuah ruangan laboratorium di Mahidol Oxford Tropical Medicine Research Unit (MORU), Bangkok, Thailand. Sekujur tubuh mereka tertutup pakaian pelindung dari infeksi dan wabah. Ruangan tempat mereka bekerja juga tertutup rapat—dengan pintu ganda yang dapat dimasuki udara tapi tak akan meloloskannya lagi keluar.

Di dalam ruangan tersebut, Direk Limmathurotsakul, Kepala Departemen Mikrobiologi MORU, dan kawan-kawannya tengah meneliti bakteri Burkholderia pseudomallei. "Ia tersebar di tanah, air, dan udara wilayah tropis Asia Tenggara hingga Australia Utara," katanya dalam jurnal Nature Microbiology, pertengahan Januari lalu.

Direk berupaya menyadarkan masyarakat global tentang ancaman penyakit mematikan dari bakteri ini. Melioidosis, nama penyakit tersebut, ditengarai sudah menjangkiti 79 negara, yang 34 di antaranya tak sadar akan keberadaan bakteri tersebut, termasuk Indonesia.

Pada 2015, Direk mencatat ada 165 ribu orang yang mengidap penyakit ini di seluruh dunia—lebih dari setengahnya berakhir dengan kematian. "Ia membunuh banyak orang dan tak terdeteksi," ujarnya.

Ahli mikrobiologi klinik dari Rumah Sakit Mahosot di Bangkok, David Dance, mengatakan bakteri ini tumbuh subur pada iklim tropis yang hangat dan lembap. Habitat utamanya adalah tanah, terutama yang sudah diolah manusia, dan tanah liat yang banyak terdapat di negara tropis. Namun, di Australia, mereka menemukan bakteri itu justru datang dari daerah gurun. Ada pula yang melaporkan jumlah populasi bakteri besar dari daerah berkadar garam tinggi dan berkerikil banyak.

"Saya rasa masih banyak yang harus kita pelajari," katanya melalui surat elektronik kepada Tempo. Habitat alami tanah ini membuat bakteri itu sangat berisiko bagi manusia.

Bakteri melioidosis menginfeksi manusia dengan cara inokulasi—atau pemindahan medium—yang biasanya terjadi melalui luka di kulit. Bila luka itu bersentuhan dengan tanah yang mengandung banyak bakteri tersebut, bakteri ini secara otomatis akan pindah ke manusia. Selain itu, infeksi bisa terjadi karena menghirup udara yang tercemar bakteri tersebut atau minum air yang mengandung bakteri itu. Tapi kontak fisik langsung dengan penderita bukan merupakan cara penularannya.

Setelah bakteri bersarang di tubuh, orang akan mulai merasakan keanehan dalam beberapa minggu. Namun, menurut Dance, ada kasus bakteri yang tak langsung menyerang dan bersembunyi lebih dulu dalam waktu lama. Catatan waktu laten terlamanya adalah 62 tahun.

"Kami sama sekali tidak tahu di mana bakteri ini bersembunyi selama itu, apa yang membuatnya tenang, dan apa yang membuatnya menyerang," ucapnya. Masa laten ini pun tak dapat digunakan untuk membasmi bakteri, karena sulit untuk mendeteksinya.

Rata-rata penderita meninggal karena tak mendapat pengobatan yang tepat. Secara genetik, bakteri melioidosis tahan terhadap mayoritas antibiotik yang ada. Sebagai mikroorganisme alami tanah, mereka memang hidup di lingkungan yang kompetitif—bersama fungi dan organisme lain yang merupakan penghasil antibiotik.

Hanya ada dua obat yang efektif mengatasi penyakit ini, yakni ceftazidime dan carbapenem, yang mampu menekan bahaya kematian 10-40 persen. Namun, bila diberi pengobatan yang salah, infeksi akan semakin parah. Hal inilah yang membuat tingkat kematian pasien melonjak sampai 70 persen—lebih tinggi daripada kematian oleh flu burung.

Namun sulit untuk mendiagnosis secara tepat serangan bakteri ini lantaran kemampuannya meniru gejala penyakit lain, seperti tuberkulosis, tumor tulang, dan tumor sendi, sehingga dapat didiagnosis keliru. Itu sebabnya ia disebut peniru yang hebat. Menurut Dance, bakteri yang berbentuk menyerupai gagang pancing ini bisa menyerang semua lapisan jaringan hingga organ tubuh. "Kecepatan dan dampak infeksinya juga bergantung pada respons bagian yang diserang," katanya.

Satu-satunya cara untuk mengidentifikasinya dengan tepat adalah melalui pemeriksaan kultur dengan memakai spesimen darah, nanah, atau cairan kerongkongan. Ada pula pilihan polimerase berantai (PCR) atau pemeriksaan serologi. Semuanya hanya dapat dilakukan di laboratorium mikrobiologi yang memiliki peralatan memadai.

Sayangnya, bakteri ini justru banyak menjangkiti daerah kumuh yang jauh dari fasilitas tersebut. Ahli patologi klinik dari Universitas Hasanuddin, Makassar, Patricia Monica Tauran, mengatakan habitat alami bakteri ini adalah tanah dan banyak menjangkiti daerah persawahan. "Memang kebanyakan petani yang mengidap melioidosis. Tapi ada juga pasien yang merupakan operator ekskavator yang sering kontak dengan tanah," ujarnya pekan lalu.

Melioidosis bukanlah kisah baru di Indonesia. Patricia dan rekan-rekannya dari Universitas Hasanuddin pernah menyusun laporan mengenai penyakit ini dan mencatat ada 64 kasus selama 1929-2014. "Sejak 2013 sampai sekarang, ada lima kasus di Rumah Sakit Dr Wahidin Sudirohusodo, Makassar, tapi empat pasien meninggal dan satu lagi rawat jalan," katanya.

Laporan tersebut menyatakan gejala yang dialami pasien memang beragam. Ada yang memang mengidap pneumonia, demam tinggi, sakit kepala, hingga pembengkakan bagian tubuh. Ada pula yang terinfeksi melalui luka dan mulai ditumbuhi tonjolan-tonjolan yang mengeluarkan nanah. Daerah yang menjadi sumber dari laporan itu bermacam-macam, dari Sumatera hingga Sulawesi.

Patricia menduga sebenarnya masih ada banyak kasus yang belum terdeteksi lantaran keterbatasan alat diagnostik. Pemeriksaan kultur, misalnya, belum menjadi prosedur wajib bagi pasien gawat darurat dan biayanya pun mahal. Ada juga potensi kesalahan identifikasi penyakit ini sebagai penyakit lain. "Kami harap para pembuat kebijakan dan staf laboratorium bekerja keras untuk mendalami melioidosis, sehingga bisa menciptakan panduan efektif dan mengurangi risiko kematian," ujarnya.

Selain itu, menurut Patricia, bakteri melioidosis menyebar di area yang padat aktivitas manusia sehingga sulit untuk benar-benar mengisolasinya. Untuk mengurangi risiko, masyarakat dapat mengambil tindakan sederhana, seperti menggunakan sarung tangan dan sepatu bot untuk mencegah kontak langsung dengan tanah dan air, tak berkeliaran saat hujan badai, serta hanya minum air yang sudah disterilkan.

Ursula Florene

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus