JUMAT, 27 Mei 1977, banyak orang Indonesia hadir di kaki
pegunungan Pirenia, batas Spanyol dan Peranci. Persisnya di
Centre Universitaire de Perpignan. Tampak hadir juga Dubes
Indonesia, Mohammad Noer, di antara squmlah insinyur muda dari
ITB yang belajar di Perancis.
Hari itu, seorang di antara insinyur muda itu, Aryadi Suwono,
meraih gelar Doctor d'Etat di bidang Enerji Matahari dengan
tesisnya yang berjudul "studi tentang interaksi dalam
perpindahan massa dan panas." Dengan demikian, insinyur
kelahiran Cilacap yang baru 28 tahun itu, jadi orang Indonesia
pertama yang memperoleh gelar doktor dalam bidang enerji
matahari. Bahkan juga "Dr Enerji Matahari" pertama dari
universitas di Perancis Selatan itu.
Mengapa perhatiannya begitu besar pada tenaga matahari? Jalan
fikirannya -- seperti dituturkannya pada pembantu TEMPO di
Paris, Noorca Marendra - kurang lebih begini. Teknologi nuklir
telah membuat jera banyak negara. Juga bahan bakar fosil -
minyak, gas dan batubara - harganya kian hari kian melangit. Dan
kalau mau diolah terus, tahun 2080 diperkirakan bahan bakar alam
itu terkuras habis.
Popok Bayi dan Paha
Kalau begitu, mengapa kita tidak mencoba memanfaatkan enerji
matahari? Daripada sumber tenaga gratis itu hanya dipakai untuk
menjemur popok bayi atau menjemur paha di pantai Riviera?
Matahari berkekuatan tidak tanggung-tanggung: sejak bumi ini
ada, sang surya menyirami bumi dengan enerji sebanyak 180 juta
Mega Watt sehari. Dan kwalitasnya 20 x lebih besar dibanding
enerji yang dihasilkan bahan bakar alam seperti batubara, minyak
bumi, dan uranium.
Tapi apakah pemanfaatan enerji matahari tak terlalu mahal dan
rumit untuk Indonesia? Dr. Aryadi Suwono di kantornya di
Universitas Perpignan menjawab: "Tak sulit." Indonesia sudah
selayaknya memanfaatkan penemuan teknologi baru itu. Dan bukan
terlalu banyak menggantungkan diri pada kelima PLTN (pusat
listrik tenaga nuklir) yang mau dibangun BATAN di pulau Jawa.
Kata Aryadi: "Untuk apa kita membuat sentral nuklir kalau banyak
negara maju justru mulai membatasi diri karena banyaknya risiko
dan protes? Lagi pula harga uraniumnya 'kan mahal. Tapi taruhlah
kita mampu beli, apakah kita bisa mendistribusikan listrik yang
dihasilkannya ke seluruh Indonesia?"
PLTN yang paling kecil 1000 Mega Watt, perlu sentralisasi. "Nah,
di Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau, mana bisa produksi
listrik disentralisir?" tanya Aryadi. Juga untuk membangun
jaringan penyebarannya pun sangat mahal. Kesimpulan Dr Aryadi
Suwono: PLTN tak ada perlunya bagi Indonesia.
Pembangunan Desa
Fikiran ini didukung oleh Dr Filino Harahap dari Development
Technology Centre ITB, yang terbang ke Paris bulan lalu bersama
Rektor ITB Prof. Iskandar Alisyahbana. Kedua pentolan ITB itu
datang guna membicarakan kelanjutan kerjasama ITB dengan
pemerintah Perancis. Antara lain dalam pemindahan teknologi
enerji matahari itu ke Indonesia.
Bagi Aryadi, enerji matahari itu bermanfaat guna mendongkrak
pembangunan desa. Terutama di daerah di mana tak ada sungai yang
bisa dibendung airnya untuk menghasilkan listrik.
Pompa irigasi bertenaga sinar surya, menurut Aryadi Suwono
"investasi pertamanya memang mahal." Tapi dalam jangka panjang
lebih hemat ketiml:ang . pompa air bermotor disel. Sebab pompa
air bertenaga matahari itu dapat tahan 10 tahun, tanpa biaya
perawatan apa-apa sejak dipasang. Sedangkan harga penggunaan
pompa disel jatuhnya jauh lebih mahal karena harga minyak bumi
yang selalu naik. "Tapi kita harus menguji dulu kemampuan pompa
itu," tukas Filino Harahap, yang ditemui TEMPO di kamarnya di
Hotel Sheraton, Paris. "Sebab kalau toh tak tahan lama dan
tinggi biaya perawatannya, percuma saja."
Itu sebabnya Filino dan Iskandar pada Kamis siang, 23 Juni
berkunjung ke kantor Sofretes (la Societe Francaise d'Etudes
Therrniques et d'Energie Solaire -- Perhimpunan Perancis untuk
Penyelidikan Panas dan Tenaga Matahari). Di sana mereka
menyaksikan demonstrasi penggunaan prototip pompa bertenaga
matahari buatan Renault. Dengan harapan agar pemerintah Perancis
mau memberikan bantuan pompa irigasi bertenaga matahari itu pada
Indonesia. Setidak-tidaknya untuk diselidiki oleh ITB.
Agak Enggan
Namun dalam pertemuan dengan pihak Universitas Perpignan dan
pemerintah Perancis di Kemlu Perancis sehari sebelumnya, tak
dicapai persetujuan resmi.
"Terus terang Perancis nampaknya agak enggan memberikan bantuan
itu kepada kita, karena kita negara penghasil minyak bumi," ujar
Filino. Tapi dengan ataupun tanpa bantuan Perancis, ITB akan
jalan terus, tekad dia.
Sebelum pulang ke Indonesia, Aryadi harus lebih mendalami
perbedaan aplikasi teknologi mutakhir itu antara Indonesia dan
Perancis. Sebab Indonesia yang hampir tiap hari diguyur sinar
matahari ternyata tak lebih gampang menyedot enerjinya. Atmosfir
negeri tropis lebih lembab ketimbang atmosfir di negeri bermusim
empat. Jadi, sinar matahari yang bisa langsung menerobos
atmosfir juga lebih sedikit dibanding dengan di Eropa.
"Makanya kita tak bisa memakai sistim Perancis seluruhnya di
negara kita," ujar Aryadi. Dia lebih cenderung pada penggunaan
sistim umum. Dengan itu seluruh sinar matahari yang datang
ditangkap dan diperas enerjinya. Selain lebih murah, sistim itu
lebih gampang, sederhana, dan praktis. Katanya lagi: "Pokoknya
ditaruh di atap rumah pun jadi."
Untungnya, kedudukan matahari di atas angkasa Indonesia jauh
lebih baik dibanding sudut pancar matahari di atas Eropa yang
tiap tahun berubah. Mulanya alat penerima panas matahari di
Indonesia hampir tak berubah kedudukannya dari barat ke timur,
tanpa perlu digoyang kiri-kanan. Pokoknya, dengan penampang kaca
penerima panas yang mengangkang terus pun kita dapat merogoh
enerji matahari sepanjang siang hari.
Para Pandai Besi
Rakyat yang tak tinggi pendidikannya pun sanggup membuat alat
semacam itu. Dengan petunjuk para peneliti ITB di Cidadap dan
Sukabumi, Jawa Barat, para pandai besi sanggup membuatnya.
Konstruksinya sederhana sekali: sebuah penampang penerima panas
berukuran 5 x 5 atau 7 x 7 meter terbuat dari logam pengantar
panas (konduktor) seperti tembaga atau seng. Penampang konduktor
itu dicat hitam rata agar lebih cepat menerima panas dan lebih
lama menampung panas itu. Penampang itu diberi bingkai yang
dilingkari pipa air di kelilingnya.
Bingkai itu kemudian ditutup kaca seperti bingkai potret.
Maksudnya untuk meratakan suhu, dan agar instalasi itu tak
terganggu tiupan angin. Kalau penampang kaca sudah panas, maka
air dingin dalam pipa-pipa akan mengalir dari tabung air dingin
ke tabung lain sampai menghasilkan uap panas. Uap air itu
kemudian dialirkan ke kisi-kisi turbin yang memutar generator
listrik. Tentu saja, kalau listrik yang jadi tujuan. Sebab
seperti kata Filino Harahap, bukan enerji listrik saja yang
dapat dihasilkan dari enerji matahari. Dan "bukan listrik saja
yang diperlukan rakyat di desa-desa, tapi juga enerji matahari
untuk menjemur padi misalnya," tambahnya pula.
Lalu kapan kira-kira teknologi baru itu dapat dipasarkan ke
masyarakat umum di sini?" Mungkin 5 tahun lagi, setelah saya
kembali tahun depan," begitu harapan Aryadi.
Ia kini terpaksa masih harus ngendon di Perpignan setahun lagi
bersama isterinya, seorang wanita Jerman, dan anak lelakinya
yang baru berumur 11 bulan. Bersama beberapa sarjana ITB lainnya
dia bertugas meneliti beberapa peralatan tenaga matahari di
Perpignan, Toulouse dan Marseilles - yang mungkin akan diberikan
pemerintah Perancis pada ITB.
AC Surya
Aryadi juga mengusulkan agar lebih banyak sarjana ITB dari
jurusan lain dapat ditampung di Universitas Perpignan, guna
mempelajari pemanfaatan tenaga matahari. Misalnya sarjasla
arsitektur, guna belajar merencanakan konstruksi bangunan yang
langsung memanfaatkan tenaga matahari sebagai sumber listrik dan
penyesuaian suhu udara (air conditioning) dalam rumah, seperti
yang telah berhasil dibuat di beberapa kota di Perancis Selatan.
Kalau pemanfaatan tenaga matahari bisa populer di Indonesia
Aryadi berharap agar petani di kota keiahirannya bisa panen dua
kali setahun. Kabupaten Cilacap yang hingga kini masih menanti
perwujudan rencana irigasi sungai Serayu (kabarnya bantuan
Australia?), cuma bisa panen sekali setahun. Daerah itu kering.
Kalau pompa air bertenaga matahari itu dapat dipasang juga di
sana, Aryadi Suwono berharap, kedua orangtuanya di Cilacap dapat
juga mengecap manfaat studi anaknya untuk menjinakkan matahari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini