Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Penjinak matahari dari cilacap

Aryadi suwono, 28, meraih gelar doktor energi mata hari. energi asal fosil akan habis tahun 2080, energi matahari kurang dimanfaatkan,tenaga nuklir mahal. pengairan bertenaga matahari lebih efektif.

16 Juli 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JUMAT, 27 Mei 1977, banyak orang Indonesia hadir di kaki pegunungan Pirenia, batas Spanyol dan Peranci. Persisnya di Centre Universitaire de Perpignan. Tampak hadir juga Dubes Indonesia, Mohammad Noer, di antara squmlah insinyur muda dari ITB yang belajar di Perancis. Hari itu, seorang di antara insinyur muda itu, Aryadi Suwono, meraih gelar Doctor d'Etat di bidang Enerji Matahari dengan tesisnya yang berjudul "studi tentang interaksi dalam perpindahan massa dan panas." Dengan demikian, insinyur kelahiran Cilacap yang baru 28 tahun itu, jadi orang Indonesia pertama yang memperoleh gelar doktor dalam bidang enerji matahari. Bahkan juga "Dr Enerji Matahari" pertama dari universitas di Perancis Selatan itu. Mengapa perhatiannya begitu besar pada tenaga matahari? Jalan fikirannya -- seperti dituturkannya pada pembantu TEMPO di Paris, Noorca Marendra - kurang lebih begini. Teknologi nuklir telah membuat jera banyak negara. Juga bahan bakar fosil - minyak, gas dan batubara - harganya kian hari kian melangit. Dan kalau mau diolah terus, tahun 2080 diperkirakan bahan bakar alam itu terkuras habis. Popok Bayi dan Paha Kalau begitu, mengapa kita tidak mencoba memanfaatkan enerji matahari? Daripada sumber tenaga gratis itu hanya dipakai untuk menjemur popok bayi atau menjemur paha di pantai Riviera? Matahari berkekuatan tidak tanggung-tanggung: sejak bumi ini ada, sang surya menyirami bumi dengan enerji sebanyak 180 juta Mega Watt sehari. Dan kwalitasnya 20 x lebih besar dibanding enerji yang dihasilkan bahan bakar alam seperti batubara, minyak bumi, dan uranium. Tapi apakah pemanfaatan enerji matahari tak terlalu mahal dan rumit untuk Indonesia? Dr. Aryadi Suwono di kantornya di Universitas Perpignan menjawab: "Tak sulit." Indonesia sudah selayaknya memanfaatkan penemuan teknologi baru itu. Dan bukan terlalu banyak menggantungkan diri pada kelima PLTN (pusat listrik tenaga nuklir) yang mau dibangun BATAN di pulau Jawa. Kata Aryadi: "Untuk apa kita membuat sentral nuklir kalau banyak negara maju justru mulai membatasi diri karena banyaknya risiko dan protes? Lagi pula harga uraniumnya 'kan mahal. Tapi taruhlah kita mampu beli, apakah kita bisa mendistribusikan listrik yang dihasilkannya ke seluruh Indonesia?" PLTN yang paling kecil 1000 Mega Watt, perlu sentralisasi. "Nah, di Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau, mana bisa produksi listrik disentralisir?" tanya Aryadi. Juga untuk membangun jaringan penyebarannya pun sangat mahal. Kesimpulan Dr Aryadi Suwono: PLTN tak ada perlunya bagi Indonesia. Pembangunan Desa Fikiran ini didukung oleh Dr Filino Harahap dari Development Technology Centre ITB, yang terbang ke Paris bulan lalu bersama Rektor ITB Prof. Iskandar Alisyahbana. Kedua pentolan ITB itu datang guna membicarakan kelanjutan kerjasama ITB dengan pemerintah Perancis. Antara lain dalam pemindahan teknologi enerji matahari itu ke Indonesia. Bagi Aryadi, enerji matahari itu bermanfaat guna mendongkrak pembangunan desa. Terutama di daerah di mana tak ada sungai yang bisa dibendung airnya untuk menghasilkan listrik. Pompa irigasi bertenaga sinar surya, menurut Aryadi Suwono "investasi pertamanya memang mahal." Tapi dalam jangka panjang lebih hemat ketiml:ang . pompa air bermotor disel. Sebab pompa air bertenaga matahari itu dapat tahan 10 tahun, tanpa biaya perawatan apa-apa sejak dipasang. Sedangkan harga penggunaan pompa disel jatuhnya jauh lebih mahal karena harga minyak bumi yang selalu naik. "Tapi kita harus menguji dulu kemampuan pompa itu," tukas Filino Harahap, yang ditemui TEMPO di kamarnya di Hotel Sheraton, Paris. "Sebab kalau toh tak tahan lama dan tinggi biaya perawatannya, percuma saja." Itu sebabnya Filino dan Iskandar pada Kamis siang, 23 Juni berkunjung ke kantor Sofretes (la Societe Francaise d'Etudes Therrniques et d'Energie Solaire -- Perhimpunan Perancis untuk Penyelidikan Panas dan Tenaga Matahari). Di sana mereka menyaksikan demonstrasi penggunaan prototip pompa bertenaga matahari buatan Renault. Dengan harapan agar pemerintah Perancis mau memberikan bantuan pompa irigasi bertenaga matahari itu pada Indonesia. Setidak-tidaknya untuk diselidiki oleh ITB. Agak Enggan Namun dalam pertemuan dengan pihak Universitas Perpignan dan pemerintah Perancis di Kemlu Perancis sehari sebelumnya, tak dicapai persetujuan resmi. "Terus terang Perancis nampaknya agak enggan memberikan bantuan itu kepada kita, karena kita negara penghasil minyak bumi," ujar Filino. Tapi dengan ataupun tanpa bantuan Perancis, ITB akan jalan terus, tekad dia. Sebelum pulang ke Indonesia, Aryadi harus lebih mendalami perbedaan aplikasi teknologi mutakhir itu antara Indonesia dan Perancis. Sebab Indonesia yang hampir tiap hari diguyur sinar matahari ternyata tak lebih gampang menyedot enerjinya. Atmosfir negeri tropis lebih lembab ketimbang atmosfir di negeri bermusim empat. Jadi, sinar matahari yang bisa langsung menerobos atmosfir juga lebih sedikit dibanding dengan di Eropa. "Makanya kita tak bisa memakai sistim Perancis seluruhnya di negara kita," ujar Aryadi. Dia lebih cenderung pada penggunaan sistim umum. Dengan itu seluruh sinar matahari yang datang ditangkap dan diperas enerjinya. Selain lebih murah, sistim itu lebih gampang, sederhana, dan praktis. Katanya lagi: "Pokoknya ditaruh di atap rumah pun jadi." Untungnya, kedudukan matahari di atas angkasa Indonesia jauh lebih baik dibanding sudut pancar matahari di atas Eropa yang tiap tahun berubah. Mulanya alat penerima panas matahari di Indonesia hampir tak berubah kedudukannya dari barat ke timur, tanpa perlu digoyang kiri-kanan. Pokoknya, dengan penampang kaca penerima panas yang mengangkang terus pun kita dapat merogoh enerji matahari sepanjang siang hari. Para Pandai Besi Rakyat yang tak tinggi pendidikannya pun sanggup membuat alat semacam itu. Dengan petunjuk para peneliti ITB di Cidadap dan Sukabumi, Jawa Barat, para pandai besi sanggup membuatnya. Konstruksinya sederhana sekali: sebuah penampang penerima panas berukuran 5 x 5 atau 7 x 7 meter terbuat dari logam pengantar panas (konduktor) seperti tembaga atau seng. Penampang konduktor itu dicat hitam rata agar lebih cepat menerima panas dan lebih lama menampung panas itu. Penampang itu diberi bingkai yang dilingkari pipa air di kelilingnya. Bingkai itu kemudian ditutup kaca seperti bingkai potret. Maksudnya untuk meratakan suhu, dan agar instalasi itu tak terganggu tiupan angin. Kalau penampang kaca sudah panas, maka air dingin dalam pipa-pipa akan mengalir dari tabung air dingin ke tabung lain sampai menghasilkan uap panas. Uap air itu kemudian dialirkan ke kisi-kisi turbin yang memutar generator listrik. Tentu saja, kalau listrik yang jadi tujuan. Sebab seperti kata Filino Harahap, bukan enerji listrik saja yang dapat dihasilkan dari enerji matahari. Dan "bukan listrik saja yang diperlukan rakyat di desa-desa, tapi juga enerji matahari untuk menjemur padi misalnya," tambahnya pula. Lalu kapan kira-kira teknologi baru itu dapat dipasarkan ke masyarakat umum di sini?" Mungkin 5 tahun lagi, setelah saya kembali tahun depan," begitu harapan Aryadi. Ia kini terpaksa masih harus ngendon di Perpignan setahun lagi bersama isterinya, seorang wanita Jerman, dan anak lelakinya yang baru berumur 11 bulan. Bersama beberapa sarjana ITB lainnya dia bertugas meneliti beberapa peralatan tenaga matahari di Perpignan, Toulouse dan Marseilles - yang mungkin akan diberikan pemerintah Perancis pada ITB. AC Surya Aryadi juga mengusulkan agar lebih banyak sarjana ITB dari jurusan lain dapat ditampung di Universitas Perpignan, guna mempelajari pemanfaatan tenaga matahari. Misalnya sarjasla arsitektur, guna belajar merencanakan konstruksi bangunan yang langsung memanfaatkan tenaga matahari sebagai sumber listrik dan penyesuaian suhu udara (air conditioning) dalam rumah, seperti yang telah berhasil dibuat di beberapa kota di Perancis Selatan. Kalau pemanfaatan tenaga matahari bisa populer di Indonesia Aryadi berharap agar petani di kota keiahirannya bisa panen dua kali setahun. Kabupaten Cilacap yang hingga kini masih menanti perwujudan rencana irigasi sungai Serayu (kabarnya bantuan Australia?), cuma bisa panen sekali setahun. Daerah itu kering. Kalau pompa air bertenaga matahari itu dapat dipasang juga di sana, Aryadi Suwono berharap, kedua orangtuanya di Cilacap dapat juga mengecap manfaat studi anaknya untuk menjinakkan matahari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus