SEORANG perwira polisi, Letkol Ciptadi, perwira pada Oditurat
Jenderal Mabak, rupanya dapat juga mengeluh soal perlakuan hukum
di sini. Sebab, begitu ceritanya, lawannya yang bernama Sarjit
Sing Bath, seorang warganegara Singapura yang diadukannya ke
kantor Kejaksaan Agung sebagai penipu, ternyata telah dibebaskan
dari tahanan tanpa syarat. Padahal, seperti kisah drs. Ciptadi
ini, tuduhan penipuan sebenarnya cukup dianggapnya terbuktl:
Bath telah menggaet uang perwira kepolisian ini sebanyak kurang
lebih RI 30 juta.
"Kejaksaan telah begitu mudahnya membebaskan tersangka tanpa
kelihatan sedikitpun berusaha menemukan bukti yang telah kami
berikan petunjuknya. Bahkan paspornya pun tidak disita,"
katanya. Tentu saja perwira ini jadi kesal hati. Ia merasa telah
diperlakukan tidak adil. Itulah sebabnya Ciptadi kelihatan terus
mendongkol dan mengancam: kalau persoalannya tak juga dibereskan
oleh para penegak hukum di sini, mending ia berhenti saja dari
dinas kepolisian.
Ceritanya dimulai sejak bulan Mei 1976. SS Bath, pemuda
keturunan India berumur 26 tahun ini, bersama rekannya Mike
Jeganatha, membicarakan soal impor batu bara untuk keperluan
Perusahaan Gas Negara (PGN) dengan Ciptadi. Bath mengaku sebagai
Executive Director dari sebuah perusahaan bernama APEC di
Singapura. Sedang Ciptadi berbicara sebagai sponsor keuangan dan
penasehat PT Jasa Rimba Utama (PT Jarut).
Sepert Dihipnotis
Janji SS Bath cukup muluk. "Saya dijanjikan akan memperoleh
keuntungan 23 dolar setiap ton batubara," kata Ciptadi.
Sedangkan batubara yang akan didatangkan dari Amerika jumlahnya
cukup menggiurkan: 15 ribu metrikton. Moda]nya? Garnpang - Bath
telah menjanjikan hutang sebanyak 1,8 juta dolar dari sponsor
keuangannya di New York. Asal pihak PT Jarut menyediakan modal
permulaan, yang disebutnya perfor mance-bond, 5% dari jumlah
modal: sekitar Rp 37 juta.
Ciptadi setuju syarat itu. Apalagi jalan bisnis batubara ini
tampak licin: PGN sudah teken kontrak untuk menerima batubara,
kemudian mengolahnyamenjadi gas dan hasil sampingannya (cokes)
akan dipasarkan kembali ke pabrik-pabrik gula oleh PT Jarut.
Bahkan dalam bisnis ini PGN sudah sampai menyingkirkan pensuplai
batubara sebelumnya, PT Mashur, untuk memberi peluang kepada PT
Jarut mendatangkan batubaranya.
Perjanjian antara Bath dan PT Jarut pun diteken bulan Juni 1976,
di Hotel Indonesia. Segala syarat keuangan segera dipenuhi oleh
Ciptadi. "Sampai saya harus pinjam dari teman-teman dan kredit
dari bank segala," ucapnya. Mulamula Bath menerima uang dalam
bentuk deposito Bank Bumi Daya sebesar Rp 8 juta. Deposito itu,
kemudian, dapat dicairkan oleh Bath di bank BBD Kebonsirih.
Bahkan bulan berikutnya Bath makin merogoh kantong PT larut: ia
berhasil menguangkan cek pada BNI cabang Singapura sebanyak Rp
22 juta. Pihak Ciptadi kelihatannya memang begitu gampang
mempercayai Bath? "Saya seperti dihipnotis saja," tutur Ciptadi.
Apalagi, ketika minta agar cek bisa diuangkan, Bath ada
menunjukkan bukti bahwa ia telah membuka L/C dari APC Singapura
kepada pensuplai batubara Hansen Neuerburg di Hamburg (Jerman
Barat), sebanyak 1.110 ribu dolar.
Walaupun berikutnya Ciptadi telah pula memenuhi syarat keuangan
lainnya, yaitu menyerahkan bank-garansi senilai Rp 7 juta dari
cabang Singapura, impor batubara yang direncanakan tak kunjung
dapat dilaksanakan. Sementara PGN sudah kalang-kabut kehabisan
batubara .
L/C Palsu
Orang PT Jarut mulai mencium bau hangus martabak SS Bath. Kertas
L/C yang pernah diiming-irningkan SS Bath mulai diselidiki.
Diam-diam Direktur PT Jarut, Bambang Suharto, memfotokopi kertas
L/C itu. Itu tak begitu sulit dilakukan. Sebab, dengan alasan
untuk memperpanjang masa kontraknya dengan PGN, Bambang Suharto
dapat membujuk Bath untuk meminjamkan sebentar kertas 'berharga'
itu. Lalu berbagai pihak dihubungi untuk mencek kebenaran L/C.
Ternyata, begitu hasil penyelidikan, baik perwakilan pensuplai
batubara di Indonesia, Klockner Indonesia, maupun pihak bank
FNCB sendiri menyatakan: L/C semacam yang dibawa SS Bath itu tak
pernah diterbitkan.
Begitu mengetahui hasil penyelidikannya, Pr Jarut membuat
hubungannya dengan Bath jadi perkara. Itulah sebabnya Bath tak
dapat begitu saja dapat meninggalkan Indonesia. Setelah melalui
beberapa proses hukum, "yang wajar saja," kata Ciptadi, Bath
masuk tahanan kejaksaan.
Bath tidak tinggal diam dan apalagi menyerah begitu saja. Lewat
kedutaanbesar Singapura di Jakarta ia minta bantuan hukum
pengacara Yap Thiam Hien. Protes Bath terhadap kerja para
penegak hukum di sini (disebutnya: "telah menyandera") didukung
oleh pengacaranya. Sampai-sampai Ciptadi, sebagai polisi, harus
berurusan sebentar dengan teguran atasannya atas tuduhan Yap:
telah mencampuri urusan perusahaan swasta.
Proses hukum berjalan. Kejaksaan Agung telah menahannya lebih
dari 3 bulan. Cuma, seperti yang diherankan Ciptadi, "tampaknya
pihak kejaksaan tidak banyak berbuat untuk perkara ini." Tak ada
barang-barang bukti, seperti yang disarankan oleh pihak pengadu,
yang dipegang oleh jaksa. Ciptadi khawatir, "janganjangan barang
bukti yang diperlukan sudah tak ada lagi di sini -- termasuk L/C
yang saya katakan palsu itu."
SS Bath dapat bebas dari tahanan atas jaminan seorang instruktur
karate kejaksaan. Bagaimana karateka ini dapat menjadi penjamin
bagi kebebasan Bath? Entahlah. Ciptadi sendiri tak habis
mengerti -- sementara pihak Kejaksaan Agung yang dihubungi TEMPO
belum bersedia memberi keterangan.
Keluar dari tahanan bukan berarti Bath dapat lenggang-kangkung
kembali ke negaranya. Kepada TEMPO ia mengeluh: Mula-mula ia
masih terhambat di kantor imigrasi. Ia tak diizinkan
meninggalkan Indonesia. Tapi Bath dan pengacaranya bukan
maingigihnya. Akhir Mei lalu ia mengirim surat kepada Jaksa
Agung - yang tembusannya dikirimkan juga kepada Menteri
Kehakiman, Menteri PAN, Menlu Singapura sampai Parlemen di sana
-- yang isinya agak mengancam: "Kalau tidak diizinkan
meninggalkan Indonesia untuk kembali ke tanah air sebelum
tanggal 31 Mei, maka bertekad untuk menjalani puasa sampai izin
diberikan atau sampai mati ...."
SS Bath, katanya, memang betul-betul puasa sampai datang surat
dari kejaksaan 2 hari kemudian. Agaknya kejaksaan tak begitu
pusing dengan keributan antara Ciptadi dengan Bath itu. Tepat 1
Juni lalu Kepala Direktorat Reserse Kejaksaan Agung mencabut
surat permintaan penghambatan warganegara asing ini yang pernah
ditujukan kepada kantor imigrasi. Alasannya: "Pemeriksaan atas
dirinya (SS Bath) telah selesai."
Tapi Bath, hingga berita ini turun, ternyata masih juga
terhambat kakinya di Jakarta. Lepas dari pemeriksaan kejaksaan,
rupanya ia jatuh ke tangan kepolisian. Ia, untungnya, tak
ditahan lagi. Ia menginap di sebuah hotel. Agaknya perwira
polisi, yang punya urusan dengannya, tak akan melepaskan orang
ini begitu saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini