Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ini sebuah bendera, bang

Drama kabaret yellow submarine lpkj tampil 5 juli di tim sebagai acara perpisahan dengan bang ali. sardono menyusun adegan dengan bagus dan tepat, ide pokok menggambarkan penggusuran.

16 Juli 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI luar dugaan, bingkisan anak-anak LPKJ berupa kabaret Yellow Submarine meledak. Penampilan yang menjadi salah satu acara dalam rangka perpisahan senirnan dengan Bang Ali -- berlangsung di Teater Besar TIM 5 Juli ini-membikin banyak orang terkekeh-kekeh. Bang Ali pun kelihatan girang, lalu berdiri bersama Nani, isterinya, tatkala anak-anak muda itu turun dari panggung dengan langkah tegap dan menyerahkan sebuah panji. Diskotik Sardono telah mengorganisir ide-ide anak-anak muda itu menjadi sebuah gebrakan yang tidak saja komunikatif, tetapi juga selesai. Ia merupakan tontonan dengan dekor tubuh kapal yang dikerjakan oleh orang bernama Sjaiful. Tatacahaya dimainkan, sehingga berondongan warna membuat panggung yang sederhana itu jadi bergula. Lalu terdengar aba-aba. Lagu Yellow Submarine yang mengenangkan orang pada Beatles, dimuntahkan bersama munculnya serombongan pelaut LPKJ, dipimpin oleh penari Sentot. Mereka menghentak-hentakkan kaki dengan seru, sambil memikul senjata bambu. Mereka berbaris dalam dua saff -- siap senjata --lalu saling menembak. Semua kemudian berjatuhan. Sentot sebagai komandan jadi kebingungan, lalu ambil pistol dan menembak kepalanya sendiri. Cepat disusul dengan peragaan sebuah kapal. Panggung pun, yang memang terus-terusan berubah secara tidak kentara, tiba-tiba menjadi dasar lautan ketika seorang penyelam tampak mondar-mandir seperti asyik berenang (penyelam ini mengenakan tabung gas asam -- dan sarung). Tak kurang dari seorang pelayan restoran mondar-mandir membawa minuman. Lalu beberapa penari menari-nari dengan lucu. Gado-gado ini dilanjutkan dengan adegan yang menggambarkan penggusuran. Semuanya campur-baur dan kocak. Mendekati akhir, tampak seorang ibu sedang memandikan dua anaknya yang kemudian dibetot oleh para penggusur. Sepasang mayat yang dibuntal kain kafan menari-nari. Ini ide Franki Raden. Buntalan mayat itu kemudian saling memeluk -- dan berdansa. Beberapa buntalan muncul lagi dan berkumpul diiringi oleh lagu. Tak lama kemudian seorang dirigen muncul, lalu memimpin mereka menyanyikan sebuah lagu. Inilah konsert kuburan (lagunya adalah tangis). Sementara lampu berkejap-kejap sebagaimana galibnya dijumpai dalam diskotik. Adegan ini lucu, tapi juga mengerikan dan membetot hati karena tak lama kemudian muncul pula para petugas menggusur mereka. Di akhir adegan-adegan yang diedit dengan bagus itu, muncul kembali si penyelam sarungan itu - membacakan sajak. Entah itu sajak atau seberondongan kata-kata ngawur, tetapi telah dibacakan oleh seorang Betawi asli bernama Budi Setiawan. Bercerita perkara tukang becak yang muncul dari pedalaman, perkara gedung-gedung jangkung yang ngacung ke langit, juga perkara nasib rakyat kecil sehari-hari. Barangkali ini sedikit menyindir, tetapi semuanya dilakulkan dengan sopan. Akhir sajak bendera diturunkan dan diarak dengan penuh semangat, diserahkan kepada bang Ali. Lalu inggallah seorang wanita, penonton, menangis tersedu-sedu. Dia tidak bisa menguasai dirinya. Dia menghambur mencium pipi Bang Ali dan Ibu Nani. Ini tentu bukan bagian dari pertunjukan. Teater Sutradara Tontonan yang diberikan LPKJ ini benar-benar segar. Dari sana kita melihat betapa kayanya kemungkinan teater kalau benar-benar digali, meski tiaak usah repot-repot memakai kata-kata. Kita melihat cara pendekatan yang sangat pribumi meskipun secara teknis memanfaatkan teknologi. Setting barangkali termasuk yang kurang matang. Juga beberapa adegan masih menantang untuk diteruskan. Termasuk ketiadaan guna untuk menampilkan beberapa anak-anak, kecuali pada adegan mereka dimandikan ibu. Tetapi sambil menyemprotkan film dokumenter tentang Jakarta serentak ke layar panggung di belakang mereka -- sebagaimana juga dilakukan Sardono dalam pertunjukan Pesta Rakyat Teges Kanginan - sebuah teater total bangkit. Apalagi jarak ke penonton kemudian disibakkan: bendera-bendera tidak hanya menari di panggung tetapi juga menyentuh hidung penonton. Yellow Submanne memberi gambaran bahwa ide tidak selamanya datang dari sutradara. Artinya bahwa kehidupan teater di masa datang bisa menciutkan fungsi sutradara hanya sebagai seorang penata --penyusun adegan, pemberi arah dan tukang sambung. Ini barangkali boleh difikirkan oleh mereka yang khawatir teater modern Indonesia menjadi 'teater sutradara' yang mempersetankan arti seorang aktor. Pengertian aktor sendiri pada masanya harus diartikan bukan hanya sebagai orang yang sanggup menghidupkan jiwa peran. Tapi juga yang sanggup menelurkan ide-ide yang menunjang sebuah pertunjukan yang diedit sutradara. Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus