DI luar dugaan, bingkisan anak-anak LPKJ berupa kabaret Yellow
Submarine meledak. Penampilan yang menjadi salah satu acara
dalam rangka perpisahan senirnan dengan Bang Ali -- berlangsung
di Teater Besar TIM 5 Juli ini-membikin banyak orang
terkekeh-kekeh. Bang Ali pun kelihatan girang, lalu berdiri
bersama Nani, isterinya, tatkala anak-anak muda itu turun dari
panggung dengan langkah tegap dan menyerahkan sebuah panji.
Diskotik
Sardono telah mengorganisir ide-ide anak-anak muda itu menjadi
sebuah gebrakan yang tidak saja komunikatif, tetapi juga
selesai. Ia merupakan tontonan dengan dekor tubuh kapal yang
dikerjakan oleh orang bernama Sjaiful. Tatacahaya dimainkan,
sehingga berondongan warna membuat panggung yang sederhana itu
jadi bergula. Lalu terdengar aba-aba. Lagu Yellow Submarine yang
mengenangkan orang pada Beatles, dimuntahkan bersama munculnya
serombongan pelaut LPKJ, dipimpin oleh penari Sentot.
Mereka menghentak-hentakkan kaki dengan seru, sambil memikul
senjata bambu. Mereka berbaris dalam dua saff -- siap senjata
--lalu saling menembak. Semua kemudian berjatuhan. Sentot
sebagai komandan jadi kebingungan, lalu ambil pistol dan
menembak kepalanya sendiri. Cepat disusul dengan peragaan sebuah
kapal. Panggung pun, yang memang terus-terusan berubah secara
tidak kentara, tiba-tiba menjadi dasar lautan ketika seorang
penyelam tampak mondar-mandir seperti asyik berenang (penyelam
ini mengenakan tabung gas asam -- dan sarung). Tak kurang dari
seorang pelayan restoran mondar-mandir membawa minuman. Lalu
beberapa penari menari-nari dengan lucu. Gado-gado ini
dilanjutkan dengan adegan yang menggambarkan penggusuran.
Semuanya campur-baur dan kocak.
Mendekati akhir, tampak seorang ibu sedang memandikan dua
anaknya yang kemudian dibetot oleh para penggusur. Sepasang
mayat yang dibuntal kain kafan menari-nari. Ini ide Franki
Raden. Buntalan mayat itu kemudian saling memeluk -- dan
berdansa. Beberapa buntalan muncul lagi dan berkumpul diiringi
oleh lagu. Tak lama kemudian seorang dirigen muncul, lalu
memimpin mereka menyanyikan sebuah lagu. Inilah konsert kuburan
(lagunya adalah tangis). Sementara lampu berkejap-kejap
sebagaimana galibnya dijumpai dalam diskotik. Adegan ini lucu,
tapi juga mengerikan dan membetot hati karena tak lama kemudian
muncul pula para petugas menggusur mereka.
Di akhir adegan-adegan yang diedit dengan bagus itu, muncul
kembali si penyelam sarungan itu - membacakan sajak. Entah itu
sajak atau seberondongan kata-kata ngawur, tetapi telah
dibacakan oleh seorang Betawi asli bernama Budi Setiawan.
Bercerita perkara tukang becak yang muncul dari pedalaman,
perkara gedung-gedung jangkung yang ngacung ke langit, juga
perkara nasib rakyat kecil sehari-hari. Barangkali ini sedikit
menyindir, tetapi semuanya dilakulkan dengan sopan. Akhir sajak
bendera diturunkan dan diarak dengan penuh semangat, diserahkan
kepada bang Ali. Lalu inggallah seorang wanita, penonton,
menangis tersedu-sedu. Dia tidak bisa menguasai dirinya. Dia
menghambur mencium pipi Bang Ali dan Ibu Nani. Ini tentu bukan
bagian dari pertunjukan.
Teater Sutradara
Tontonan yang diberikan LPKJ ini benar-benar segar. Dari sana
kita melihat betapa kayanya kemungkinan teater kalau benar-benar
digali, meski tiaak usah repot-repot memakai kata-kata. Kita
melihat cara pendekatan yang sangat pribumi meskipun secara
teknis memanfaatkan teknologi. Setting barangkali termasuk yang
kurang matang. Juga beberapa adegan masih menantang untuk
diteruskan. Termasuk ketiadaan guna untuk menampilkan beberapa
anak-anak, kecuali pada adegan mereka dimandikan ibu.
Tetapi sambil menyemprotkan film dokumenter tentang Jakarta
serentak ke layar panggung di belakang mereka -- sebagaimana
juga dilakukan Sardono dalam pertunjukan Pesta Rakyat Teges
Kanginan - sebuah teater total bangkit. Apalagi jarak ke
penonton kemudian disibakkan: bendera-bendera tidak hanya menari
di panggung tetapi juga menyentuh hidung penonton.
Yellow Submanne memberi gambaran bahwa ide tidak selamanya
datang dari sutradara. Artinya bahwa kehidupan teater di masa
datang bisa menciutkan fungsi sutradara hanya sebagai seorang
penata --penyusun adegan, pemberi arah dan tukang sambung. Ini
barangkali boleh difikirkan oleh mereka yang khawatir teater
modern Indonesia menjadi 'teater sutradara' yang mempersetankan
arti seorang aktor. Pengertian aktor sendiri pada masanya harus
diartikan bukan hanya sebagai orang yang sanggup menghidupkan
jiwa peran. Tapi juga yang sanggup menelurkan ide-ide yang
menunjang sebuah pertunjukan yang diedit sutradara.
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini