Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Peradaban Sebelum Mataram Kuno di Liyangan

Situs Liyangan diyakini sebagai permukiman tertua di Jawa. Memiliki tata ruang paling kompleks.

2 Mei 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTENGAHAN bulan lalu, hujan tak henti-henti mengguyur Dusun Liyangan, Desa Purbosari, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Ini membuat tim peneliti Situs Liyangan pimpinan Sugeng Riyanto, 50 tahun, terpaksa beberapa kali menghentikan kegiatan ekskavasi tahap kedua. Padahal Sugeng dan timnya sedang giat menggali setelah menemukan tiga baris dinding bata penahan tanah landai atau talut di atas area percandian.

Talut baris pertama itu terdiri atas satu struktur bata. Adapun baris kedua dan ketiga memiliki struktur ganda. "Di antara talut ganda diduga pernah terdapat saluran irigasi kuno," kata Sugeng, arkeolog yang memiliki keahlian di bidang arkeologi permukiman, ketika ditemui di lokasi penggalian, tiga pekan lalu. Dalam kegiatan ekskavasi kali ini, Sugeng dibantu 9 orang dari Balai Arkeologi Yogyakarta; ahli geologi, arsitektur, dan arkeobotani; serta 12 warga setempat. Ekskavasi berlangsung pada 1-24 April lalu.

Keyakinan Sugeng bukan tanpa alasan. Di antara talut ganda itu ditemukan cekungan mirip jalan air selebar 30 sentimeter yang mengarah ke Sungai Liyangan di sisi barat talut. Sejak melakukan ekskavasi enam tahun lalu, baru kali ini Sugeng dan timnya menemukan talut dengan beberapa lapis di satu teras. Kesimpulan sementara, talut ini adalah pembatas antara area pertanian dan percandian. Struktur talut yang belum ditemukan ujungnya ini baru tergali sepanjang 10 meter.

Sugeng menduga sebagian talut lain masih tertutup material abu vulkanis Gunung Sindoro, yang meletus pada abad ke-10 sekaligus menandai masa akhir permukiman Liyangan. Selain menemukan talut, mereka menemukan beberapa pecahan keramik, tembikar, tulang-belulang hewan, dan pecahan arang bekas. "Akan kami kaji temuan tersebut dengan konteks keruangan dan peradaban Liyangan kuno," ujar Sugeng. Ia berharap tabir misteri peradaban yang hilang di lereng Gunung Sindoro ini segera terkuak.

Adanya saluran irigasi kuno ini sudah diprediksi. Pada November tahun lalu, awal rangkaian penggalian tahap kedua, tim berhasil menyingkap teras keempat Situs Liyangan beserta bangunan petirtaan dengan sepuluh jaladwara atau pancuran air. "Sejak itu, kami sudah mencurigai ada saluran irigasi kuno di teras keempat ini," ucap Sugeng.

Temuan terbaru ini sekaligus menguatkan asumsi awal bahwa Situs Liyangan merupakan situs yang kompleks di zaman pra-Hindu. Dengan luas situs 8-10 hektare, tim ekskavasi sudah menyisir 3,5 hektare.

Situs Liyangan pertama kali ditemukan pada 2008 secara tak sengaja oleh warga setempat. Sejak itu, penggalian terus dilakukan hingga tim arkeolog menemukan bangunan seperti candi dan sisa-sisa rumah masa lalu. Terletak pada ketinggian 1.200 meter di lereng Sindoro, Liyangan merupakan situs berharga dari masa sebelum Kerajaan Mataram Kuno. Liyangan diyakini sebagai sebuah "kawasan metropolitan" pada zamannya dan diduga sudah berdiri sejak abad keenam dan bertahan hingga abad kesepuluh.

Sejak penggalian pertama, tim ekskavasi berhasil mengungkap beberapa temuan. Di teras pertama ditemukan satu candi, empat candi pendamping, pendapa besar berdinding kayu, dan rumah panggung kayu. Satu bangunan pemujaan kecil dan satu altar batu di teras kedua. Satu buah candi lain di teras ketiga. Sedangkan di teras keempat ditemukan bangunan petirtaan. "Ada jalan batu penghubung empat teras tersebut," ujar Sugeng. "Talut berlapis merupakan temuan yang paling baru."

Tak hanya menemukan bangunan dan struktur, tim juga menemukan artefak yang mengindikasikan Situs Liyangan merupakan kawasan permukiman kuno. Di antaranya 110 guci dan keramik dari Cina abad kesembilan dengan pola hiasan khas Dinasti Tang, fragmen tulang hewan kerbau (Bovidae), serta serbuk sari tanaman padi di lahan yang diduga area pertanian kuno.

Semua peradaban itu sudah ada sebelum Kerajaan Mataram Kuno berdiri pada 732 Masehi. Dugaan ini didapat dengan cara menghitung umur enam sampel kayu dan bambu rumah yang ditemukan. "Situs Liyangan eksis selama empat abad, tapi hilang karena letusan Gunung Sindoro sekitar tahun 1000 Masehi," kata Isa Nurnususanto, peneliti paleogeologi dari Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi Yogyakarta Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Letusan itu membentuk dua bukit dan sungai di sekitar Liyangan. Material vulkanis yang mengalir di sungai menerjang sebagian besar bangunan dan area pertanian. Isa, yang turut meneliti Liyangan, memperkirakan bukan letusan Sindoro yang menghentikan peradaban di kawasan tersebut, melainkan faktor lain yang masih menjadi misteri. "Sebab, kami belum menemukan korban jiwa akibat letusan gunung, seperti yang terjadi pada Gunung Tambora di Sumbawa," ujarnya.

Sedangkan Sugeng menduga para penghuni mengungsi dari lereng gunung dan membangun permukiman baru di kawasan lain. Liyangan sepertinya pernah ditinggali kelompok masyarakat yang juga pindah karena letusan Sindoro. Ini terlihat dari temuan bentuk dan struktur batu yang berbeda di beberapa titik penggalian. Luas situs 8-10 hektare ini memiliki pola keruangan cukup kompleks. Hal itu terlihat dari bentuk bangunan dan lokasi temuan benda arkeologisnya.

Selain meneruskan penggalian, Sugeng dan tim mendalami area pertanian, tata ruang kawasan, dan arsitektur bangunan. "Arsitektur dan tata ruang menjadi salah satu poin penting dalam merangkai budaya dan peradaban," kata Gregorius Sri Wuryanto, peneliti tata ruang dan arsitektur dari Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta, yang juga anggota tim ekskavasi.

Gregorius mencontohkan pola berundak di lahan berlereng yang ditemukan. Teknik pembangunan semacam itu merupakan bentuk kearifan lokal masyarakat pra-Hindu yang didasari pengalaman terhadap alam. "Artinya, posisi lahan di lereng disikapi secara teknis dan artistik dengan membuat terasering serta diperkuat dengan talut," ujar Gregorius.

Sugeng dan tim percaya bahwa Situs Liyangan bukan hunian masyarakat kuno biasa. Keberadaan candi, permukiman, dan area pertanian di satu wilayah yang sama menandakan kawasan ini pernah dihuni kelompok masyarakat yang merawat area pemujaan. Selain itu, kultur permukiman kuno biasanya tak berada di lereng gunung seperti halnya kawasan Liyangan.

Dari dua tahapan ekskavasi yang sudah berjalan, gambaran awal tentang kawasan yang diyakini sudah ada sejak zaman pra-Hindu ini mulai terbayang. "Barangkali inilah satu-satunya permukiman yang paling tua, paling arkais, yang pernah ada di Nusantara," ucap Sugeng.

Amri Mahbub, Betriq Kindy Arrazy (Temanggung)


Ngadirejo dalam Pemujaan

SITUS Liyangan bukan satu-satunya situs pemujaan. Di Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, ada enam lokasi pemujaan, lima di antaranya bercorak Hindu. Sugeng Riyanto, kepala tim ekskavasi, belum bisa menyimpulkan afiliasi kepercayaan Situs Liyangan, yang dianggap terlengkap dan tertua di Jawa.

1. Petilasan Gunung Pertapan

  • Petilasan batu
  • Agama: Tidak diketahui
  • Lokasi: Dusun Gunung Pertapan, Desa Bagusan

    2. Candi Jamus

  • Empat arca yoni, Lembu Nandi, dan figur perempuan tidur
  • Agama: Hindu
  • Lokasi: Dusun Jamus, Desa Tegalrejo

    3. Candi Larangan

  • Arca Ganesha dan Lembu Nandi, dua altar batu. Sempat ada dua buah arca lingga, tapi hilang.
  • Agama: Hindu
  • Lokasi: Dusun Nglarangan, Desa Katakan

    4. Candi Perot

  • Reruntuhan candi terimpit pohon beringin serta memuat arca Durga dan Ganesha.
  • Agama: Hindu
  • Lokasi: Desa Pringapus

    5. Candi Pringapus

  • Tinggi 9 meter di atas area 29,68 meter persegi. Di ruang tengah terdapat arca Lembu Nandi. Di dinding candi terdapat relief hapsara dan hapsari, makhluk setengah dewa setengah manusia.
  • Agama: Hindu
  • Lokasi: Desa Pringapus

    6. Candi Traji

  • Candi dengan ruang tengah. Di dalamnya pernah ditemukan arca lingga dan altar batu.
  • Agama: Hindu
  • Lokasi: Dusun Traji, Desa Traji

    Sumber: Candi Space and Landscape, Véronique Myriam Yvonne Degroot

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus