Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kelas itu telah berlangsung hampir dua tahun, diikuti oleh sejumlah petani berwajah legam. Tapi ada suasana lain yang meliputi ruangan itu selama satu pekan bulan lalu. Sejumlah warga asing turut menjadi peserta kelas. Sama seperti para petani, mereka menyimak pelajaran dengan tekun sambil sesekali mencatat. ”Sekolah” itu dilangsungkan di Desa Cipedang, Indramayu, Jawa Barat.
Tamu jauh itu berasal dari Filipina, Laos, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) menunjuk Cipedang—di Kecamatan Bongas—sebagai pusat pelatihan Sekolah Lapang Iklim (SLI). Inilah kelas yang menyuluh siswa agar memanfaatkan prakiraan cuaca dalam bidang pertanian.
Petani di Cipedang bisa dibilang selangkah lebih maju karena mampu mengatur masa tanam berbekal prakiraan cuaca yang dikeluarkan BMG. Dulu, tiga tahun lalu, satu hektare sawah di daerah yang termasuk sentra beras ini hanya menghasilkan empat hingga lima ton gabah. ”Tahun lalu meningkat menjadi delapan ton,” kata Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan BMG, Mezak Arnold Ratag, kepada Tempo pekan lalu.
Keberhasilan mendongkrak produksi gabah tidak mungkin terjadi jika BMG masih melansir hasil prakiraan cuaca konvensional dengan model dinamik yang biasa digunakan di negara maju. Menurut Mezak, model ini, yang harus didukung ketersediaan komputer super, memang sukses di negara maju karena mereka berada di belahan utara bumi. Makin jauh dari khatulistiwa atau garis lintang nol derajat, ketepatan ramalan bisa mencapai 90 persen.
Di Indonesia, kata Mezak, ketepatan model itu paling banter 50 persen. Sebab, kawasan khatulistiwa memiliki atmosfer paling dinamis sehingga sulit diprediksi. Belum lagi Indonesia merupakan kombinasi darat dan laut dengan posisi pulau yang tak menentu. ”Ini mempengaruhi perhitungan,” kata Mezak. Walhasil, BMG pun tak berani merekomendasikan hasil ramalannya kepada petani. Apalagi untuk jangka waktu setahun ke depan.
Asisten III Sekretaris Kabupaten Indramayu, Kusnomo Tamtani, mengatakan bahwa prakiraan yang kurang akurat membuat petani bingung menentukan masa tanam. Akhirya, petani menggunakan pola hitungan masa tanam yang sudah dipakai turun-temurun. ”Tapi itu pun tak memecahkan masalah,” kata Kusnomo, yang tahun lalu masih menjabat Kepala Dinas Pertanian. Penyebabnya, pergeseran musim dan kondisi sungai sudah berubah.
Musim hujan yang semakin pendek membuat sungai dan waduk mengering. Tak ada air tersisa untuk sawah. Pada musim hujan, limpahan air bah yang datang. Lingkungan hutan di daerah hulu yang rusak menyusutkan mata air, yang menjadi sumber air pada musim kemarau, dan mengurangi kemampuan menyerap hujan, sehingga air langsung mengalir ke hilir. Kalau sudah begini, petani pun memilih ”cuti” ke sawah atau menjadi kuli musiman.
Kondisi ini membuat BMG mencari terobosan untuk menghasilkan prediksi yang lebih akurat. Menurut Mezak, selain model dinamik, ada pula model statistik dalam membuat prakiraan cuaca. Model statistik ini tak banyak digunakan karena tingkat ketepatannya lebih rendah dibanding dinamik. Tapi, dengan penambahan beberapa elemen analisis, model statistik ini mampu menghasilkan prediksi yang hampir presisi.
Mezak menjelaskan, elemen tersebut adalah kombinasi analisis anfis atau jaringan saraf tiruan (artificial neural network) dan transformasi wavelet, yang berfungsi mengurai data curah hujan selama sepuluh tahun terakhir untuk menghasilkan prediksi. Dikembangkan sejak dua dekade lalu, anfis adalah sistem komputasi yang bekerja seperti sistem saraf biologis saat berhubungan dengan ”dunia luar”—dalam hal ini informasi curah hujan.
Jaringan saraf tiruan terdiri dari sekumpulan elemen pengolah (neuron) atau simpul atau sel yang saling terhubung. Setiap sel mengolah data dan memisahkan elemen-elemen yang ada di dalam data itu. ”Ibarat menganalisis musik, suara dipetakan berdasarkan sumbernya (alat-alat musik) dan dianalisis,” kata Mezak, yang pernah menjabat Kepala Bidang Pemodelan Iklim Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.
Analisis juga dilakukan dengan elemen wavelet. Ini adalah metode yang digunakan dalam ilmu astronomi. Wavelet digunakan untuk mengamati sinyal dari pergerakan benda langit. Menurut Mezak, yang menjadi sinyal untuk dihitung adalah data curah hujan yang sudah diurai menjadi kurva dalam grafik. ”Jadi, teknologi prediksi ini diperkaya dengan ilmu astronomi,” kata dosen astrofisika Institut Teknologi Bandung ini.
Selanjutnya, sistem ini dibuat menjadi program perangkat lunak komputer—yang diberi nama HyBMG—sehingga yang perlu dilakukan hanya memasukkan data curah hujan. Hasilnya, dalam beberapa menit, akan keluar prediksi selama satu tahun dengan tabel-tabel per sepuluh hari (dasarian). Tabel yang menunjukkan tingkat curah hujan dijadikan acuan para petani untuk menentukan waktu memulai masa tanam dan jenis tumbuhan.
Ketepatan prediksi teknologi ini mendapat pengakuan dari Asian Disaster Preparedness Centre (ADPC), Bangkok, dan International Research Institute for Climate Prediction, New York. Kedua lembaga itu menyarankan agar negara-negara penghasil padi yang berada di dekat garis khatulistiwa ikut menggunakan temuan BMG ini. ”Selain memiliki ketepatan tinggi, teknologi ini lebih murah,” demikian pernyataan yang dikeluarkan ADPC.
Menurut Mezak, di Indonesia sudah 40 kota dan kabupaten yang memakai teknologi ini. Kendala utama untuk memuluskan sistem ini adalah ketersediaan data sepuluh tahun terakhir. Maklum, data pos pemantauan hujan tersebar di beberapa instansi dan dinas (misalnya pengairan, pertanian, dan pekerjaan umum) di daerah. Jika diperoleh, belum tentu datanya lengkap dan lokasinya sesuai dengan yang tertulis di laporan.
Tak kalah pentingnya adalah bagaimana membuat petani memahami data prediksi sehingga bisa memanfaatkannya. Di Cipedang, hal itu dilakukan dengan membuka Sekolah Lapang Iklim bagi petani. Pemberi materi adalah para penyuluh yang telah dibekali oleh BMG. Sekolah yang didanai National Oceanic and Atmospheric Administration Amerika Serikat itu merupakan kelanjutan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu.
Kusnomo Tamtani mengatakan, SLI menarik minat petani karena mereka menyadari bahwa penyuluhan itu adalah untuk kepentingan mereka sendiri. Apalagi Indramayu adalah daerah yang sensitif terhadap peristiwa iklim ekstrem yang sulit diprediksi. Padahal kawasan ini merupakan salah satu lumbung pada nasional. Dan penyuluhan prakiraan cuaca yang sukses membikin perwakilan negara tetangga turut menimba ilmu di Cipedang.
Adek Media
Bagaimana Cuaca Diramal
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo