Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KABAR gembira itu menjadi perbincangan hangat sejumlah karyawan PT Merpati Nusantara Airlines. Tiga pekan lalu, dari Amerika Serikat meluncur sebuah berita: dana sebesar US$ 1 juta (sekitar Rp 9 miliar) milik Merpati yang macet di Negeri Abang Sam akan segera ”pulang kadang”. Dalam kondisi perusahaan yang sedang tertatih-tatih, warta ini memang bak oase di padang tandus. Ini membuat para karyawan, juga direksi, maskapai penerbangan nasional itu menarik napas lega.
Selama ini dana miliaran itu memang tersangkut di Amerika. Inilah buntut proyek sewa pesawat antara Merpati dan Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG), perusahaan rental pesawat di AS, yang kemudian berujung di pengadilan. Merpati menggugat TALG agar mengembalikan dana US$ 1 juta sebagai security deposit yang sudah disetor ke perusahaan rental ini. Merpati meradang lantaran sampai batas waktu yang disepakati, akhir tahun lalu, TALG ingkar janji. Dua pesawat Boeing, seri 737-500 dan 737-400, yang dipesan Merpati tak kunjung datang.
Di Pengadilan Distrik Columbia, Amerika Serikat, awal bulan lalu, Merpati menang dalam perkara ini. Pertengahan bulan lalu, muncullah berita itu. Uang jaminan tersebut pada Agustus ini akan masuk kembali ke kas Merpati. ”Uang itu segera dipakai untuk operasional,” kata Sekretaris Perusahaan Merpati, Irvan Harijanto. Merpati, kata Irvan, sangat membutuhkan dana itu. Untuk tahun ini, maskapai ini menargetkan menyewa enam pesawat. ”Dengan uang itu, paling tidak, bisa menyewa dua pesawat,” ujar Irvan.
Kendati urusan di pengadilan rampung, bukan berarti semua sudah selesai. Di dalam negeri, justru perkara sewa-menyewa pesawat itu kini ”mampir” di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi itu tengah mengusut kasus ini. ”Kami sedang menelaah, adakah kerugian negara dalam kasus ini atau tidak,” kata juru bicara KPK, Johan Budi S.P.
Kendati belum ada pejabat Merpati yang diperiksa, KPK sampai kini terus mengumpulkan bahan dan keterangan berkaitan dengan kasus ini. Menurut Johan, komisinya menelisik perkara sewa-menyewa pesawat tersebut lantaran adanya pengaduan masyarakat. Salah satunya datang dari karyawan Merpati yang tergabung dalam Solidaritas Pegawai Merpati (SPM).
Kepada Tempo, Ketua SPM, I Wayan Suarna, menyatakan, pihaknya mempermasalahkan prosedur yang ditempuh manajemen Merpati dalam proyek itu. Menurut staf bagian keuangan ini, uang jaminan sebesar US$ 1 juta, atau US$ 500 ribu untuk tiap pesawat, yang dikeluarkan perusahaan untuk menyewa dua buah pesawat itu terlampau besar. ”Apalagi, kondisi perusahaan sedang tidak bagus,” kata I Wayan Suarna.
Menurut Suarna, biasanya untuk menyewa satu pesawat cukup dana US$ 50 ribu sebagai jaminan. ”Dengan US$ 50 ribu sampai US$ 100 ribu, seharusnya sudah bisa nge-lock (mengikat),” kata pegawai yang sudah 26 tahun bekerja di Merpati ini. Setyo Wisno Broto, anggota SPM juga, menegaskan selama ini Merpati tak pernah mengeluarkan dana sebesar itu hanya untuk uang jaminan.
Setyo memberi contoh pesawat jenis Fokker yang disewa Merpati beberapa bulan silam. ”Uang jaminannya hanya US$ 87.500,” ujar karyawan bagian keuangan ini. Uang jaminan sebesar US$ 500 ribu untuk sebuah pesawat jenis Boeing 737, menurut dia, tergolong besar. ”Ongkos sewa pesawat jenis Boeing 737-200 sekitar US$ 152 ribu setiap bulan,” katanya. Jumlah itu, disebutkannya, sudah termasuk biaya perawatan. ”Kalau Boeing 737-400 sekitar US$ 135 ribu sampai US$ 160 ribuan per bulan.”
Prosedur penyewaan dua pesawat Boeing juga bermasalah. Penyewaan itu tanpa melalui proses perbandingan harga terlebih dulu. Sejumlah karyawan sudah melaporkan ”penyimpangan” ini ke Serikat Karyawan Merpati, wadah resmi untuk karyawan perusahaan itu. ”Tapi, tidak direspons.” Mereka lalu membentuk SPM. SPM lantas melaporkan kasus ini ke Gerakan Rakyat Sadar Hukum Indonesia (Grashi) yang kemudian ikut melaporkan kasus ini ke KPK. ”Setelah kami kaji data yang ada, memang ada indikasi korupsi dalam kasus ini,” ujar Ketua Grashi, Gelora Tarigan.
Alasannya, menurut Gelora, duit jaminan US$ 1 juta tersebut ternyata tak dikirim ke rekening TALG, perusahaan yang menyewakan pesawat (lessor). Dana itu dikirim ke rekening Hume and Associates, firma hukum TALG. Pengiriman uang juga dilakukan tanpa perjanjian antara lessor dan perusahaan penyewa (lessee). ”Ini melanggar prosedur pengadaan barang dan jasa,” ujar Gelora. ”Jadi, ada penyalahgunaan wewenang yang dilakukan direksi Merpati dan merugikan keuangan negara.”
Namun, Direktur Utama PT Merpati, Hotasi Nababan, membantah. Menurut dia, Merpati telah melakukan semua prosedur yang ditentukan. ”Tidak ada penyimpangan, tidak ada korupsi, penyelewengan, atau kelalaian,” katanya. Menurut Hotasi, semua ini murni risiko bisnis. Hotasi menyakan siap bertanggung jawab atas kasus tersebut. ”Tidak hanya KPK; menghadapi siapa pun, kejaksaan, kepolisian, kami siap,” ujarnya.
Menurut Hotasi, sebelum mengirim uang jaminan, pihaknya sudah meneken perjanjian dengan TALG. ”Kami masih mending, ada perjanjian, kadang-kadang airline baru maunya main cepat saja,” katanya. Uangnya dikirim ke rekening firma hukum, bukan ke rekening TALG, memang. Menurut Hotasi, sebelumnya, saat akan menyewa pesawat, Merpati selalu mengirim uang jaminan langsung ke rekening perusahaan yang menyewakan pesawat. Tapi, karena belum berpengalaman bekerja sama dengan TALG, ”Kami menilai justru lebih aman uang dikirim ke firma hukum,” katanya.
Terbukti langkah Hotasi benar. ”Ketika Merpati menggugat TALG dan firma hukumnya, prosesnya lebih mudah.”
Sejak dua tahun lalu, Hotasi sudah mengumumkan rencana penyewaan pesawat itu lewat surat, internet, dan situs web Merpati. Tapi, karena dibanding perusahaan rental, jumlah maskapai penerbangan lebih banyak, maka tidak mungkin Merpati ”mengundang” perusahaan-perusahaan rental tersebut. ”Apa mungkin, ratusan airline berebut pesawat, sementara kita membuka tender?” ujarnya. ”Jadi, untuk melakukan mekanisme tender yang formal tidak mungkin.”
Namun, ada yang membantah argumentasi ini. Menurut anggota badan pekerja Indonesian Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo, dengan tidak membuka tender, Merpati melanggar aturan. ”Sebagai badan usaha milik negara, seharusnya mengikuti prosedur pengadaan barang di BUMN,” kata Adnan. Apalagi ini menyangkut dana cukup besar.
Dimas Adityo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo