Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Ricuh Duit di Blok Kanguru

Tabrani Rab melaporkan Bupati Siak dan sejumlah pengurus PT Bumi Siak Pusako ke polisi karena dinilai mengkorupsi duit minyak. Ia menyatakan punya data.

6 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMA Tabrani Rab di Riau cukup populer. Bukan saja lantaran ia pernah mendirikan Gerakan Riau Merdeka, tapi juga karena ia dikenal figur yang gemar berbicara tentang kasus-kasus korupsi di Riau. Kini salah satu yang menjadi sorot­an Tabrani adalah kasus dugaan korupsi di seputar pengelolaan Blok Coastal Plain Pekanbaru (CPP).

Ada lima pejabat yang dianggap terlibat korupsi: Bupati Siak Arwin A.S., mantan Direktur Perusahaan Daerah Sarana Pembangunan Siak (SPS) Syafei Yusuf, Direktur SPS Jusmadi Yusuf, mantan Sekretaris Daerah Siak Said Hasyim, dan Direktur PT Bumi Siak Pusako (BSP) Azali Djohan. Mereka dituduh melakukan korupsi sekitar Rp 750 miliar. Bulan lalu, mereka sudah dilaporkan Tabrani, yang juga bekas komisaris BSP, ke Kepolisian Daerah Riau.

Kasus ”duit minyak” ini bermula pada Oktober 2001, pada saat didirikannya PT Bumi Pusako (BSP) sebagai perusahaan pengelola Blok CPP, blok milik PT Caltex Pacific Indonesia yang dikembalikan ke pemerintah Indonesia. Dalam akta pendirian BSP, disebutkan bahwa saham Bumi Pusako Rp 1,25 miliar dimiliki pemerintah Kabupaten Siak dan SPS.

Pada Agustus 2002, seca­ra resmi pemerintah pusat pun mengalihkan blok CPP ke Kabupaten Siak, tempat sebagian besar minyak itu diproduksi. Lantaran tak sanggup mengoperasikan sendirian, pemerintah Siak menggandeng PT Pertamina. Keduanya sepakat mengelola blok yang arealnya ”berbentuk” kanguru dengan luas 9.135 kilometer persegi itu lewat badan operasi bersama (BOB).

Pada April 2002 Bupati Siak Arwin A.S. dan Direktur Utama SPS Syafei Yusuf mengubah akta pendirian perusahaan. Mereka sepakat menambah modal menjadi Rp 300 miliar. Menurut perjanjian baru itu, Siak dan SPS masing-masing menyetor Rp 105 miliar. Sisanya, Rp 90 miliar, akan dicarikan dari investor lain.

Masalah muncul ketika Gubernur Riau saat itu, Saleh Djasit, menyatakan bahwa semua dana bagi hasil minyak Blok CPP, sesuai dengan Undang-Undang Perimbangan Daerah, harus masuk kas provinsi. Tujuh bupati dan satu wali kota di sekitar Blok CPP itu pun—termasuk Siak—meminta Tabrani menjadi ”jembatan” antara mereka dan gubernur. Tabrani pun diangkat sebagai komisaris BSP. Delapan kepala daerah itu juga sepakat membentuk konsorsium untuk mengelola secara bersama-sama Blok CPP.

Namun beberapa bulan sebelumnya ternyata Siak dan SPS sudah menyetor Rp 210 miliar itu ke BSP, melalui direkturnya, Azaly Djohan. Hanya, belakangan terjadi konflik antara Azaly dan Arwin, yang juga Komisaris Utama BSP, yang ujung-ujungnya membuat Azaly terlempar dari kursi direktur. Azaly sendiri dilaporkan Tabrani ke polisi karena dituduh mengkorupsi duit yang seharusnya disetor ke pemerintah daerah Siak. Pengadilan sudah memvonis Azaly bersalah dan kini kasus tersebut sudah sampai ke tingkat Mahkamah Agung.

Tabrani menghitung selama lima tahun beroperasi, dari 2001-2005, duit yang dihasilkan blok kanguru itu mencapai Rp 1,3 triliun. Uang hasil minyak itu disimpan di Bank Mandiri Cabang Pekanbaru. Sumber Tempo menyebut, sampai akhir 2006 lalu uang minyak itu mencapai US$ 100 juta atawa sekitar Rp 900 miliar. ”Sekitar Rp 700 miliar tidak jelas ke mana,” kata Tabrani.

Yang membuat tak habis pikir Tabrani, Pemda Siak memilih Bank Mandiri yang cuma memberikan bunga tiga persen setahun, bukannya beberapa bank lainnya yang menawarkan bunga hingga 7,5 persen. Dengan selisih bunga sekitar 4,5 persen, katanya, uang yang ”hilang” selama lima tahun sekitar Rp 200 miliar. Demikian juga soal bunganya. ”Tak tahu ke kantong siapa masuknya,” katanya. Karena itu, menurut Tabrani, meski uang Pemda Siak masih utuh di Mandiri, dalam kasus ini telah terjadi korupsi karena dalam duit itu ada hak tujuh daerah lainnya. ”Mereka tidak bisa memakai uang itu untuk membangun daerah atau mendapatkan bunga yang lebih tinggi,” katanya.

Syafei Yusuf menolak dituduh melakukan korupsi. Kepada tim pemeriksa Polda Riau, ia menegaskan, seluruh duit senilai sekitar Rp 957 miliar hasil minyak itu tetap tersimpan di Bank Mandiri. Adapun Arwin, kendati sudah dilaporkan ke polisi, memilih menutup mulut atas ulah Tabrani yang melaporkan dirinya ke polisi. Permintaan Tempo untuk wawancara berkali-kali ditolak. ”Sedang sibuk menyambut kedatangan Presiden SBY bulan Agustus ini,” ujar seorang ajudannya.

Kasus Tabrani ”menembak” bupati dan pejabat BSP kini menjadi pembicaraan hangat para pejabat Riau. Sejumlah tokoh masyarakat menyesalkan sikap Tabrani yang menggeber kasus ini ke berbagai media. ”Adat kita sebagai orang Melayu tidak mesti berteriak-teriak di media massa,” kata Wakil Ketua DPRD Kabupaten Siak, Endang Sukarelawan. Adapun Tabrani tetap berkomentar keras. ”Saya akan maju terus, saya mau mereka dipenjarakan,” katanya. Ia berkukuh uang minyak itu seharusnya Rp 1,3 triliun. ”Saya punya perhitungannya, saya siap membeberkan.”

I G.G. Maha Adi, Jupernalis Samosir, Fitri Mayani (Pekanbaru)


Tak Lepas Dirundung Masalah

TAK hanya menghasilkan duit, ladang minyak Coastal Plain Pekanbaru, setelah “dioperasikan” Bumi Siak Pusako, ternyata “menghasilkan” sejumlah masalah.

2001

6 Agustus 2001 Kontrak bagi hasil PT Caltex Pacific Indonesia di Blok Coastal Plain Pekanbaru (CPP), Riau, berakhir. Pemerintah Provinsi Riau berniat mengelola blok itu. Cadangan minyak diperkirakan 100 juta barel.

10 Oktober 2001 PT Bumi Siak Pusako (BSP) berdiri dengan modal awal Rp 1,25 miliar, yang berasal dari Pemerintah Kabupaten Siak dan Perusahaan Daerah Sarana Pembangunan Siak.

28 Desember 2001 Pertamina dan BSP membuat kesepakatan, antara lain menyebutkan paling lambat dalam waktu dua tahun akan dibentuk perusahaan patungan yang mengelola CPP.

2002

1 April 2002 Bupati Siak Arwin A.S. dan Direktur Utama PD Sarana Pembangunan Siak Syafei Yusuf mengubah akta pendirian PT BSP.

6 Agustus 2002 Dilakukan penandatanganan kontrak production sharing (PSC) untuk mengelola Blok CPP antara BP Migas, Badan Operasi Bersama (BOB) Pertamina Hulu, dan PT BSP.

9 Agustus 2002 BOB di Blok Coastal Plain Pekanbaru mulai beroperasi.

2003

Februari 2003 BP Migas menyatakan Blok CPP mengalami penurunan produksi dari 50 ribu barel menjadi tinggal 30 barel per hari.

19 Juli 2006 Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro menyatakan Blok CPP mengalami penurunan produksi 87 persen—paling besar di Indonesia. Dari 50 ribu barel menjadi 26 ribu barel per hari.

2007

Februari 2007 Bupati Siak Arwin A.S. mengancam akan membawa Pertamina ke pengadilan arbitrase karena menunda pembentukan perusahaan patungan yang akan mengelola CPP.

12 Juli 2007 Mantan Komisaris BSP, Profesor Tabrani Rab, melaporkan Bupati Siak Arwin A.S. dan manajemen BSP atas dugaan korupsi Rp 1,3 triliun selama kurun 2001-2005.

Coastal Plain Pekanbaru

Daerah Operasi: Blok Coastal Plain Pekanbaru, Riau Luas: 9.135 km2 Jenis kontrak: Badan Operasi Bersama Masa kontrak: 20 tahun (terhitung sejak 9 Agustus 2002) Pengelola: PT Bumi Siak Pusako dan Pertamina EP Produksi: 24 ribu barel per hari (2007) Pemegang saham: PT Bumi Siak Pusako (minimal 55%, maksimal 70%) dan Pertamina EP (sisanya), sesuai dengan kesepakatan 28 Desember 2001 Modal awal bersama: Masing-masing US$ 1,7 juta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus