Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Antena parabola itu terpacak di halaman rumah La Selle. Seketika suasana riang menjalar ke seluruh tempat kediaman keluarga itu. La Selle bergegas menyalakan sebuah televisi layar datar. Dan, ini dia! ”Saya bisa menonton pertandingan Manchester United,” ujarnya kepada Tempo dengan mata berbinar. Warga Desa Tolongano, Kecamatan Banawa Selatan, Kabupaten Donggala, itu adalah penggemar berat Liga Inggris.
Maka, ketika 200 pohon kakao miliknya mulai panen, dia bertekad membeli televisi layar datar + antena parabola. Sepuluh hari sekali petani berusia 47 tahun itu memanen 40 kilogram kakao. Pembeli antre di depan rumahnya. Paling sedikit, Rp 9 juta sebulan mengalir deras ke dalam kantongnya.
La Selle dan 300 petani kakao lain di desa itu menerapkan teknik sambung samping pada tanaman kakao mereka dalam setahun terakhir. Teknik mirip stek ini adalah inovasi baru dalam pertanian kakao. Hasilnya, petani di desa terpencil itu— 62 kilometer dari Palu, ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah—bisa memanen kakao tiga kali lipat dari biasanya.
Dua pekan lalu mereka bahkan mengadakan panen raya dengan mengundang pejabat Departemen Pertanian dan Asian Development Bank. Kedua lembaga ini bekerja sama dalam proyek tersebut, yang mereka sebut Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi. ”Teknik ini punya banyak keunggulan,” kata Agus Susilo Hadi, manajer proyek.
Selain volume panen yang berlipat, kata Agus, teknik sambung samping membuat buah kakao bisa tumbuh di batang-batang (entres). Alhasil, tanaman yang bijinya diolah menjadi cokelat ini gampang dipetik. ”Anak kecil pun bisa memetik,” ucapnya.
Mutu kakao yang dihasilkan juga jauh lebih baik ketimbang kakao dari pembibitan biasa. Kulit buahnya licin dan tidak berurat, sehingga semut tak bisa bersarang di sana. Buah kakao biasa kulitnya kasar, penuh urat dan menjadi sarang semut. Padahal, semut adalah musuh utama tanaman ini karena membikin buah cepat membusuk.
Menurut Agus, keberhasilan teknik sambung samping sudah dinikmati oleh sekitar 70 persen petani kakao di Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Bali, dan Nusa Tenggara Timur. Petani di Desa Tolongano yang menerapkan teknik ini baru 20 persen, termasuk 300 kepala keluarga di atas.
Pelopor pemakai teknologi sambung samping di desa itu adalah Mandong Kana, warga Tolongano yang juga dianggap sebagai salah satu pelatih. Dua tahun lalu Mandong mengikuti sekolah lapangan yang diadakan Acdivoca, lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam pemberdayaan ekonomi petani miskin yang berpusat di Amerika Serikat. Hanya dia dan dua warga lain yang mau mengikuti pelatihan tentang teknik sambung samping. ”Lainnya menolak dengan aneka macam alasan,” ujar Mandong.
Dari kursus singkat itu, pria berusia 38 tahun ini sadar bahwa metode tanam yang telah diterapkan ratusan petani di kampungnya selama puluhan tahun itu ”keliru”. Ia pun bertekad menjadikan 1.000 pohon kakao miliknya sebagai kelinci percobaan.
Mula-mula Mandong menebar pupuk di sekitar pohon. Seminggu kemudian ia nekat menggergaji semua batang pohon kakao yang berusia 10 tahun. ”Orang-orang mengatakan saya gila,” kata Mandong kepada Tempo dua pekan lalu. Ketika itu para petani cengkeh di Sulawesi Utara dan Trenggalek, Jawa Timur, juga menebangi pohon cengkeh karena harga jatuh.
Sejumlah tetangganya mencibir karena harga kakao saat itu lumayan tinggi, dari Rp 9.000 sampai Rp 12 ribu per kilogram. ”Saya sudah siap dengan segala risiko. Ini seperti main judi,” ucapnya.
Di batang yang masih tersisa, Mandong menyayat bagian kanan atau kiri pohon kakao. Di atas sayatan itu ia lalu melekatkan batang (entres) kakao. Panjang entres yang dilekatkan ke pohon kakao sepanjang 10 sentimeter. ”Harus melekat betul, tidak boleh ada ruang tersisa,” katanya.
Setelah itu, entres disarungi plastik putih dan diikat dengan tali plastik agar terhindar dari hujan atau panas terik matahari. Sekitar satu bulan, tunas tumbuh dan sarung dibuka. Dia membiarkan tunas tumbuh wajar.
Ternyata tak sembarang kakao memiliki entres yang baik. Mandong terpaksa membeli dengan harga Rp 2.500 per batang. Dia teringat ada seorang pengusaha yang meminjamkan uang Rp 10 juta untuk modal awal. Dari uang pinjaman itu, Mandong memborong entres di pasar Donggala yang jaraknya 270 kilometer dari Tolongano.
Setahun kemudian, cabang-cabang pohon (entres) kakao milik Mandong berbuah. Warnanya cokelat tua kehitaman dan jumlahnya 20 buah tiap cabang. Tempo yang mengunjungi kebun milik Mandong sempat memetik buah kakao itu. Tak perlu naik tangga atau bangku, karena tinggi cabang cuma 1,5 meter dari permukaan tanah.
Sejak uji coba pertama kali, Mandong sudah beberapa kali panen. Sekali petik tiap seribu pohon menghasilkan 100 kilogram kakao. Sedangkan harga kakao satu kilogram saat ini Rp 15 ribu. Itu artinya, sekali petik Mandong mengantongi uang sebanyak Rp 1,5 juta.
Ayah empat anak itu melunasi pinjamannya hanya dalam tempo kurang dari setahun. Akhir tahun ini dia memperkirakan bakal meraup keuntungan sampai Rp 60 juta. ”Insya Allah, saya dan istri naik haji tahun depan,” katanya.
Warga Tolongano yang semula mencemooh berubah jadi memuji. La Selle dan kawan-kawan buru-buru mengikuti jejak Mandong. ”Awalnya memang harus banyak keluar uang dan tenaga,” kata La Selle
Sejak enam bulan lalu, Mandong diminta menjadi instruktur teknik sambung samping dalam Proyek Peningkatan Pendapatan Petani melalui Inovasi. ”Pak Mandong sudah berhasil terlebih dulu sehingga kami minta jadi pelatih,” kata Dahli, pemimpin proyek di Kabupaten Donggala.
Proyek yang berada di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian ini bertujuan meningkatkan kesejahteraan petani di lahan kering atau tadah hujan. Mereka melakukan inovasi pertanian mulai dari tahap produksi sampai pemasaran hasil. Asian Development Bank menyediakan dana sebagian besar proyek ini, termasuk untuk penerapan teknologi tepat guna.
Hasilnya seperti yang tersaji di rumah La Selle. Petani kakao itu bisa menikmati aksi gocek Wayne Rooney, Ronaldo, dan kawan-kawannya. Bagi dia, inilah istirahat paling asyik setelah seharian penuh mengurusi kakao.
Maria Hasugian, Darlis Muhammad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo