Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ratusan pesan pendek memenuhi ponselnya sepanjang dua pekan Burma bergolak. Nursyahbani Katjasungkana dan negeri itu memang punya ikatan khusus. Ihwal tersebut bukan semata-mata karena dia Vice President ASEAN Inter-Parliamentary Myanmar Caucus (AIPMC). Nursyahbani juga punya hubungan luas dengan berbagai jaringan lembaga swadaya masyarakat (LSM) prodemokrasi Burma yang berbasis di Bangkok. Para aktivisnya mengirimkan pesan bertubi-tubi kepadanya sepanjang dua minggu terakhir.
Mula-mula dia gembira mendengar ribuan biksu turun ke jalan, melanggar tabu junta militer dan unjuk rasa. Masyarakat sipil, termasuk sejumlah selebriti dan tokoh tersohor Burma, ikut menemani aksi damai para rahib Buddha. Tapi kita tahu, para tentara—kaki tangan pemimpin Burma Jenderal Senior Than Swee—menembaki para pendemo, termasuk barisan biksu. Puluhan orang tewas, ratusan luka-luka. Nursjahbani terhenyak dalam kesedihan ketika menyaksikan tragedi berdarah itu di layar televisi.
Hubungan dia dengan Burma terjalin sejak ahli hukum kriminal ini masih seorang aktivis muda LSM. Aktif menggalang solidaritas menentang tirani junta militer, dia turut menggerakkan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Burma (KASUB). Bersama beberapa teman, dia pernah menyelenggarakan acara A Week for Burma di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Tujuannya membangkitkan kesadaran masyarakat Indonesia terhadap penindasan penguasa Burma atas rakyat sipil.
Setelah menjadi anggota DPR, Nursyahbani bergabung dalam AIPMC dan didapuk menjadi vice president. Lima tahun lalu dia berkunjung ke Burma dan merasakan dari dekat betapa pengapnya atmosfer politik di negara kecil itu. Di sela-sela acara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dia hadiri, Nursyahbani menyatakan ingin bertemu Aung San Suu Kyi. Lawan bicaranya tiba-tiba mendesis, ”Sshhh, jangan sebut nama itu di sini.”
Kamis pekan lalu, sambil berbuka puasa di sebuah restoran di Jakarta Selatan, Nursyahbani menerima Nugroho Dewanto dan Arti Ekawati dari Tempo. Dia menumpahkan kegemasannya terhadap sikap ASEAN yang dia pandang terlalu lunak terhadap penguasa militer di sana.
Berikut ini petikannya:
Apa info terakhir yang Anda dapat dari Burma setelah Utusan Khusus Sekretaris Jenderal PBB Ibrahim Gambari bertemu Aung San Suu Kyi serta Jenderal Senior Than Shwe?
Kami belum tahu persis apa pembicaraan mereka. Para diplomat mengatakan hasil pertemuan itu positif dan Gambari akan melapor dulu ke Sekjen PBB—tapi apa positifnya? Apakah ada persetujuan untuk menjalankan road map to democracy atau membebaskan Suu Kyi? Info yang menarik adalah perpecahan di kalangan militer.
Yang Anda dengar seserius apa?
Memang masih kecil karena cuma mayor yang lari ke Thailand dan minta suaka ke Norwegia, tapi banyak yang bilang, tiga pilar untuk melawan penguasa militer adalah militer pembangkang, para biksu, dan masyarakat sipil. Sulit sekali jika cuma mengandalkan kekuatan masyarakat sipil, karena mereka terlampau lemah. Hubungan dengan luar negeri amat dibatasi. LSM-LSM cuma bisa bergerak di perbatasan.
Menurut Anda, mengapa para biksu berani menjadi motor unjuk rasa kali ini?
Kesulitan ekonomi amat menekan mereka. Para biksu tak punya apa-apa kecuali pakaian yang selembar itu. Makan juga tergantung dari belas kasihan orang. Kalau tidak ada lagi orang yang memberi makan karena sulitnya ekonomi, mereka bisa terancam. Para biksu adalah golongan yang dihormati di Burma. Maka dalam perhitungan, militer tidak akan bertindak brutal. Ternyata mereka tetap brutal.
Negara-negara ASEAN adalah tetangga terdekat Burma, tapi belum terdengar suara keras mereka….
Negara-negara ASEAN tak punya pegangan cukup kuat dari segi ekonomi terhadap Burma, padahal ekonomi selalu dimainkan menjadi alat politik. Akibatnya, ASEAN tak bisa berbuat banyak. Kami pernah bertemu Menteri Perdagangan Mari Pangestu untuk mengetahui seberapa besar hubungan dagang Indonesia-Burma. Kecil sekali, cuma sekitar US$ 830 juta atau Rp 7,5 triliun. Ada pula hambatan psikologis ASEAN values yang masih memuja partikularitas. Belum lagi politik menolak campur tangan atas urusan dalam negeri masing-masing negara anggota.
Saat ini yang punya pengaruh terbesar (untuk menekan Burma) adalah Cina, India, dan Rusia, tapi mereka tidak mau (menekan junta) karena mereka punya banyak investasi di sana.
Bagaimana Anda mengartikan ASEAN values?
Mengandaikan kita sebagai keluarga besar. Kalau di sana dicubit, di sini merasa sakit. Contohnya, pernah ada KTT ASEAN-Amerika di Amerika, tuan rumah tak mengundang Burma sebagai protes terhadap junta. Dalam situasi itu, negara ASEAN lain ikut tak mau datang ke Amerika sebagai tanda solidaritas, meski Singapura bersikap berbeda karena mereka berpikiran dagang: ”Kalau seperti ini terus, kami rugi.”
Apakah pernah berbicara soal ini dengan pihak tertentu di Singapura?
Ketika mendirikan ASEAN Inter-Parliamentary Myanmar Caucus untuk Jakarta Chapter, saya ditelepon oleh seorang staf kedutaan Singapura. Dia mengatakan kemungkinan besar mereka akan mempertimbangkan kembali kebijakan non-interference karena merasa rugi dengan sikap ASEAN yang selalu melindungi junta sehingga kontrak-kontrak dagang dengan Amerika dan Eropa jadi batal. ASEAN values dan kebijakan non-interference tak pernah dicantumkan dalam dokumen apa pun. Dalam perkembangannya, Indonesia bahkan sudah mengakui bahwa hak asasi manusia bersifat universal. Di mana pun terjadi, menjadi urusan kita juga. Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda pun sebelum pecah demo para biksu di Burma mengatakan kepada sejumlah anggota DPR, ”Human right business is our business.”
Menurut Anda, mengapa Indonesia sulit bersikap keras terhadap Burma?
Saya juga pernah bertanya apa sih untungnya membela junta militer di Burma? Ternyata selalu ada untungnya, meski kecil. Misalnya, saat posisi Indonesia terancam atau ketika kita ingin menjadi Ketua Dewan Keamanan PBB atau Komite Hak Asasi Manusia PBB, Burma selalu memberi suara untuk Indonesia. Itu sebabnya Indonesia tak pernah mengambil sikap keras kepada mereka. Biasanya selalu abstain. Terakhir, saat ada usulan agar ada sesi khusus untuk Burma di Dewan Keamanan PBB, Indonesia juga mengambil posisi abstain.
Anda punya ide memperjuangkan hak asasi manusia di Burma?
Mestinya dari Komisi Hak Asasi Manusia PBB dulu dilakukan secara bertahap. Dari segi pemeliharaan isu juga akan terus hidup. Kalau langsung di Dewan Keamanan, ya, mentok. Cina dan Rusia akan memveto.
Apa komentar Anda terhadap usulan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda agar dibuat pemerintahan transisi yang melibatkan sipil dan militer di Burma?
Mungkin dia sumpek karena November ini ASEAN Human Rights Charter dan ASEAN Charter akan disahkan. Burma selama ini terus menolak. Ini menjadi ganjalan. Padahal Indonesia ingin memimpin dalam isu ini sebagai negara demokrasi terbesar di ASEAN.
Ada usul lain yang lebih efektif?
Kami mengusulkan supaya Indonesia mensponsori apa yang pernah dilakukan terhadap Kamboja, meskipun situasinya berbeda. Lewat Pak Ali Alatas dulu Indonesia menyelenggarakan Jakarta Informal Meeting, sehingga pihak-pihak yang bertikai di Kamboja bisa bertemu.
Dulu, sewaktu Presiden SBY pergi ke Burma, kami mengusulkan dan menulis surat lewat Hassan Wirajuda untuk meminta agar SBY membicarakan kemungkinan menjadi mediator antara pihak junta, Liga Nasional untuk Demokrasi (LND), dan suku-suku etnik yang tak masuk LND. Atau, setidaknya, meminta junta untuk membebaskan Suu Kyi.
Apa yang membuat Burma dikungkung junta militer selama puluhan tahun?
Saya sering bertemu para aktivis Burma. Menurut saya, mereka terlalu lembut. Tidak ada tokoh vokal seperti Ramos Horta untuk Timor Leste. Mobilisasinya juga kurang. Akibatnya dukungan internasional terhadap mereka juga lemah. Ada Suu Kyi, tapi dia tidak boleh bergerak bebas. Jika dia bisa bebas, mungkin bisa jadi Hortanya Burma.
Apa yang akan dilakukan ASEAN Inter-Parliamentary Myanmar Caucus?
Kami hanya bikin pernyataan saja. Di Indonesia kami kirim surat ke Hassan Wirajuda untuk mengambil tindakan diplomatik yang lebih tegas terhadap Burma.
Misalnya?
Bila masalah ini dibahas untuk menjadi agenda Dewan Keamanan PBB, maka Indonesia agar lebih aktif mendukung.
Nursyahbani Katjasungkana
Lahir:
- Jakarta, 7 April 1955
Pendidikan:
- Sarjana, Fakultas Hukum, Universitas Airlangga, Surabaya
- Spesialisasi Hukum Kriminal, Universitas Airlangga, Surabaya.
Pekerjaan:
- Direktur LBH Jakarta (1987–1990)
- Direktur Eksekutif Solidaritas Perempuan (1994–1995)
- Direktur LBH Asosiasi Perempuan untuk Keadilan (APIK), Jakarta (1995–2003)
- Anggota Fraksi Utusan Golongan MPR (1999–2004)
- Anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa (2004–sekarang).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo