Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Beberapa bahan herbal dari Indonesia akan dan sedang dalam pengujian sebagai obat untuk melawan pandemi virus corona Covid-19, termasuk dengan suplemennya. Spesialis farmakologi klinis dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Purwantyastuti Ascobat memberikan saran dalam tata laksana uji klinik herbal dan suplemen kesehatan dengan subjek penderita Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam focus group discussion bertajuk ‘Peran Herbal, Suplemen Kesehatan dan Probiotik Sebagai Upaya Menghadapi Pandemi Covid-19’ yang digelar oleh Badan Obat dan Makanan (BPOP), Purwantyastuti menerangkan, uji klinik yang didahulukan adalah riwayat penggunaan untuk penyakit infeksi atau daya tahan tubuh dan memelihara kesehatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Utamakan yang tradisional Indonesia karena interaksi faktor genetik dan nutrisi ada riwayat empirisnya,” kata wanita yang biasa disapa Tuti itu dalam diskusi yang dilakukan melalui konferensi video, Kamis, 14 Mei 2020.
Seperti diketahui, tanaman herbal Indonesia yang diperkenalkan sebagai kandidat antivirus corona, yakni jamur Cordyceps, sedang disiapkan untuk diberikan kepada pasien Covid-19 di Wisma Atlet sebagai sebuah uji klinis. Jamur itu disebut memiliki khasiat meningkatkan sistem kekebalan tubuh, bahkan diklaim memiliki struktur yang bisa menghambat replikasi virus.
Penelitian mengenai tanaman herbal atau jamu Indonesia untuk pasien Covid-19 secara umum dikabarkan tinggal menunggu perizinan uji klinis, di antaranya ada empon-empon yang disebut bisa membantu ketika terjadi badai sitokin pada peradangan paru-paru berat.
Selain itu, Tuti melanjutkan, untuk keamanannya harus dilakukan uji toksisitas akut dan subkronik/pemakaian berulang. Sedangkan untuk uji pada hewan, staf pengajar FKUI itu mengatakan, tidak perlu dilakukan jika produk sudah digunakan oleh manusia untuk tujuan searah.
“Untuk uji pada pasien Covid-19 harus dilakukan sesuai dengan panduan, harus diawasi keamanannya terhadap kondisi pasien serta risiko interaksi obat terutama pada jantung,” tutur Tuti. “Jika bahan ujinya herbal atau suplemen, maka tujuan uji bukan sebagai obat kausal, tapi sebagai komplemen.”
Bahan lainnya dari tim di Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian yang mengumumkan potensi dari minyak Eucalyptus sebagai antivirus, pengujiannya juga disebut sudah pada sel manusia di laboratorium. Juga ada hasil studi UI dan IPB University yang memunculkan buah jambu biji merah, daun kelor, dan kulit jeruk sebagai pemilik senyawa antivirus terbanyak.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrian Syam menerangkan, dirinya melihat dari segi praktisi klinis dan akademisi, memang sampai saat ini belum ada bahan herbal yang dianggap sebagai antivirus.
“Sebagai pencegahan, itu juga belum didasari data yang cukup kuat, kalau melihat kepentingan herbal ini saya rasa ada beberapa yang sudah masuk dalam psikofarmaka, jadi ya kita harus ada uji klinis,” ujar dia yang juga hadir dalam diskusi.
Ari yang juga dokter spesialis penyakit dalam memprediksi bahwa sampai akhir Mei kasus Covid-19 bisa meningkat hingga 25.000-an, jika pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tidak diketatkan. “Sehingga ini masih ada peluang kita bisa bikin uji klinik yang pencegahan, terutama bagi petugas yang berhadapan langsung dengan pasien,” kata Ari.
Ari juga memperingatkan bahwa yang perlu diketahui adalah Covid-19 bisa menyerang otak, ginjal, liver, jantung, paru, dan mata. Artinya, kata dia, ketika menawarkan bahan herbal harus diketahui juga bagaimana efeknya, memiliki pengaruh atau tidak. “Itu yang penting,” ujarnya menambahkan.
Sedangkan untuk antivirus, menurut Ari, masih membutuhkan waktu lama jika ingin mengeksplorasi bahan herbal. “Karena untuk mengekstrak produknya saja butuh waktu lama. Ini sebenarnya kesempatannya luar biasa,” kata pria berusia 53 tahu itu.