Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Serbuan Bintang Berduri di Bunaken

Bintang laut mengancam terumbu karang di Bunaken dan Wakatobi. Sampah meningkatkan populasi hewan ini.

26 November 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMBIL menyelam, bawa tongkat. Ini bukan peribahasa baru, tapi nasihat untuk para penyelam yang ingin menikmati Taman Nasional Laut Bunaken, Sulawesi Utara. Cara seperti itulah yang dilakukan Christiane Muller, instruktur selam asal Belanda. Sebuah tongkat semeter berujung runcing ada di tangannya ketika nyemplung ke laut. Ketika keluar dari air, hasil ”perburuan”-nya segera dikubur di pantai: puluhan bintang laut atau Acanthaster planci, yang belakangan ini menyerbu Bunaken.

Ditemani sejumlah mahasiswa Universitas Sam Ratulangi dan Politeknik Negeri Manado, Muller belum lama ini mendapati sekitar 3.000 bintang laut yang oleh warga Bunaken diberi nama pumparade itu. ”Tapi tiga minggu kemudian muncul lagi dalam jumlah banyak,” katanya kepada Tempo, Rabu dua pekan lalu.

Serbuan hewan ini amat merisaukan Muller, pemilik perusahaan jasa menyelam Froggies Divers. Sebab, hewan berukuran 25-80 sentimeter ini memakan terumbu karang yang menjadi kebanggaan Bunaken. Hancurnya terumbu karang juga akan melenyapkan ikan dan biota laut lainnya, karena di karang itulah mereka menaruh telur-telurnya.

Tak hanya Muller yang risau atas meledaknya bintang laut ini, Jusak Pahlano Daud, dosen Coastal Marine Ecotourism Politeknik Negeri Manado pun cemas. ”Studi menyebutkan, bila dalam satu hektare koral terdapat 30 pumparade dewasa, wilayah itu terancam,” kata kandidat doktor dari Biologi Kelautan Amakusa Universitas Kyushu, Jepang ini.

Akibat serbuan itu, Kepala Laboratorium Biologi Kelautan Universitas Sam Ratulangi, Dr Medy Ompi, menuturkan bahwa terumbu karang di Lekuan, Bunaken, yang kini dipenuhi pumparade, mulai memutih. ”Hewan ini sukses berkembang biak di Bunaken,” katanya. Setiap individu pumparade dewasa dapat menghasilkan 4,5 juta telur.

Ternyata teror hewan berduri tajam ini tak hanya di Bunaken, tapi merambah ke Taman Nasional Laut Wakatobi di Sulawesi Tenggara, perairan Derawan di Kalimantan Timur, perairan Maumere di Nusa Tenggara Timur, dan Taman Nasional Laut Raja Ampat di Papua.

Dari 14 lokasi yang disurvei Balai Taman Nasional Wakatobi, The Nature Conservancy (TNC), dan World Wildlife Fund for Nature (WWF), pekan lalu, setidaknya ada empat lokasi yang diserbu bintang laut. ”Dalam satu jam, kami mengangkat 1.750 ekor dan langsung dikubur di darat,” kata Purwanto Irawan, peneliti dari TNC.

Adapun lima wilayah di Kabupaten Wakatobi kondisinya kritis. Ketika menyelam, Purwanto menyaksikan jejeran karang sudah berubah warna jadi putih akibat isapan bintang laut.

Hewan yang masuk spesies Asteriodea filum echinodermata ini memiliki lima lengan atau jari. Ketika beranjak dewasa, lengannya bertambah. Dalam enam bulan tangannya menjadi tujuh, bahkan ada yang sampai 23. Pumparade dewasa berdiameter 25-40 sentimeter. Ada pula yang mencapai 80 sentimeter.

Hewan ini memiliki duri tajam dan beracun yang menutupi struktur badan bagian luar. Karena itu, untuk mengangkat hewan yang memiliki beberapa macam warna ini, para penyelam menggunakan tongkat agar tidak tertusuk duri yang panjang.

Pumparade tidak dapat berenang. Dia bergerak perlahan. Butuh 10 menit untuk mencapai jarak 10 sentimeter. Di bagian bawah tubuhnya terdapat mulut dan ratusan pipa pengisap. Dengan kaki-kaki kecil yang menempel pada lengannya, pumparade menuju terumbu karang. Cairan beracun biasanya langsung disemprotkan ketika menjumpai karang hidup. ”Cairan itu berisi bahan kimia yang disebut saponin,” kata Jusak.

Hewan ini langsung memakan jaringan hidup koral. Menurut Jusak, dalam setahun pumparade mampu memakan terumbu karang hidup 5 hingga 13 meter persegi. Bandingkan dengan pertumbuhan rata-rata karang yang hanya 1 sampai 2 sentimeter per tahun.

Sejatinya pumparade termasuk salah satu organisme yang berasosiasi dengan koral. Akan tetapi, jika populasinya melimpah, dapat memusnahkan terumbu koral dalam areal yang luas. ”Fenomena ini disebut outbreak,” kata Jusak. Ledakan populasi atau outbreak yang pertama terjadi pada 1950-an di Kepulauan Ryukyu, Jepang. Pada 1963 dilaporkan terjadi di Great Barrier Reef, Australia. Lalu pada 1970 di Kepulauan Hawaii.

Apakah ledakan populasi itu sudah terjadi di Indonesia? ”Perlu penelitian yang menyeluruh,” kata Jusak. Yang pasti, kata Christiane Muller, perairan Pulau Nain, Pulau Mantehage, Siladen, dan Manado Tua sudah dijejali hewan ini.

Jusak menjelaskan, di bagian selatan Bunaken telah terjadi serangan lokal. Ia khawatir, jika tidak segera ditangani, serangan itu bakal meluas.

Celakanya lagi, pumparade di Bunaken terkenal rakus. Biasanya hewan ini cuma memangsa koral dari keluarga Acroporaridae yang bentuk pertumbuhannya bercabang. Nyatanya, dari penelitian yang dilakukan Jusak, hewan berduri ini memakan semua jenis koral dari berbagai bentuk pertumbuhan.

Medy Ompi dan Jusak khawatir, jika populasi pumparade kelewat batas, pada akhirnya bakal menimbulkan kerugian di sektor pariwisata, perikanan, dan rentannya wilayah pesisir dari erosi. Perlu dicatat bahwa para penyelam selama ini mengagumi keindahan topografi bawah laut Bunaken karena lereng karangnya memiliki kedalaman sampai 300 meter.

Nah, serbuan bintang laut bakal meruntuhkan lereng tersebut. Menurut Jusak, beberapa lokasi karang di Cela-Cela dan Bunaken bagian utara telah memperlihatkan gejala ini. Kerugian lain yang bakal diderita adalah hilangnya sumber obat-obatan penting yang disediakan terumbu karang.

Para ahli kini masih menelusuri penyebab melonjaknya populasi bintang laut di Bunaken dan Wakatobi. Menurut Purwanto, ada dua faktor penyebab, yakni siklus hidup dan berkurangnya predator pumparade. ”Mungkin suhu laut naik, sehingga mereka cepat berkembang,” katanya. Di sisi lain, jumlah ikan napoleon, triton, dan udang—yang biasanya menyantap telur dan tubuh pumparade—semakin berkurang karena diburu manusia.

Di pasar internasional, harga ikan napoleon, yang disebut juga ikan maming, memang tinggi. Purwanto menyebut US$ 100 (Rp 900 ribu) per kilogramnya. Adapun udang dan kerang triton—biasa disebut trompet—menjadi konsumsi warga. Beberapa kepiting kecil yang selalu mempertahankan koral dari serangan pumparade juga semakin tipis populasinya.

Faktor lain yang diduga memicu lonjakan populasi bintang laut, kata Jusak, adalah eutrofikasi atau pencemaran air yang disebabkan oleh munculnya nutrien berlebih ke dalam ekosistem air. Bentuknya berupa sampah dan sedimentasi dari daratan. Nutrien ini yang merangsang pertumbuhan bintang laut.

Dia menunjuk pada banyaknya cottage dan resort yang berjejer di sepanjang pantai. Bahkan septic tank dan tempat limbah kotor, kata Jusak, berada dekat garis sempadan pantai. Karena itulah, ia meminta pemerintah daerah segera mengatur pengolahan limbah resort plus larangan membuang sampah ke laut.

Untuk membunuh hewan tersebut, salah satu caranya bisa dengan menyuntikkan cairan kimia seperti sodium bisulfat dan asam hidroklorik. Cuma, sudah biayanya mahal, laut pun akan tercemar. Jadi, kalau mau murah, mudah, dan aman, ya ikutilah jejak Christiane Muller dan ratusan mahasiswa di Manado. Sambil menyelam, berburu bintang laut, seraya membersihkan lingkungan.

Untung Widyanto, Verrianto Madjowa (Manado)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus