Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Ironi dalam Enam Warna

Kekuatan Vatikiotis tidak hanya pada penguasaan gaya bahasanya, yang lentur sekaligus menohok, tapi juga pengetahuan intimnya atas bumi tempat cerita berpijak.

26 November 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Singapore Ground Zero and other stories Pengarang: Michael Vatikiotis Penerbit: Talisman Publishing, Singapore, 2007 Tebal: 142 halaman

Michael Vatikiotis telah membuktikan keterampilannya menarik lalu mengantongi perhatian publik pembaca. Sebagai wartawan senior, Vatikiotis, selain meliput apa yang biasa diliput media massa, berupaya menyorot aspek-aspek yang tidak sering disorot. Karya fiksinya yang ketiga ini, Singapore Ground Zero and other stories, menunjukkan dia sering menyelusup ke pojok-pojok yang jarang mendapat perhatian umum.

Semua cerita di dalamnya memang bertema terorisme dan kekerasan, tapi Vatikiotis berhasil melangkahi stereotipe yang mau tak mau sudah terserap oleh publik tiap hari, tiap jam. Fiksinya menyusup ke dunia para pelakunya dan merekam kisah-kisah yang tidak biasa muncul di media massa ataupun dalam tulisan para pakar spesialis teror.

Singapore Ground Zero-lah yang merupakan cerita paling panjang, 29 halaman, dan di ”luar kotak” cerita utamanya. Inilah cerita klasik tentang orang yang terpinggirkan, terimpit amarahnya, dan ingin membalas dendam. Namun Vatikiotis berhasil merajut ceritanya sehingga dapat diterima akal sehat pembaca, dengan segala observasi tajam pada hal-hal kecil yang sarat dengan ledekan pedasnya.

Dalam mengisahkan tokoh korban permainan politik pun, ceritanya tidak mengambang, malah penuh dengan serat-serat kemanusiaan yang menonjol. Dalam cerita Catching Communists (”Menjaring Antek-antek Komunis”), Vatikiotis membuktikan familiaritasnya dengan Indonesia. Kisah ini meluncur dengan segala kebingungannya, kepahitan dalam pasrah, kemarahan, dan akhirnya keterlepasan mental, dari mulut seorang pegawai negeri sipil yang dalam skema besar sejarah hanya sebuah pion dalam percaturan politik. Catching Communists cenderung membuat kita berpikir dua kali sebelum mengambil kesimpulan atau menelan mentah-mentah analisis-analisis politik yang terlalu fokus.

Malaysia dan kawasan selatan Thai juga menjadi bingkai lukisan Vatikiotis, tentunya karena penulis ini intim dengan politik dan sejarah tempat-tempat itu. The Pluralist, yang protagonisnya seorang tokoh politik Malaysia, seorang muslim yang ingin membangun sebuah masyarakat yang inklusif, sering mengingatkan kita pada seorang tokoh sungguhan, dengan bauran dua-tiga tokoh lain, mungkin untuk menyamarkannya. Sayangnya, Daud Suleiman, si tokoh, malah menjadi lebih terkenal dan disukai di mancanegara, dan ditangkap di negaranya sendiri. Akhir ceritanya cukup bisa diterima, walau bisa juga diperdebatkan.

Cerita dari Thai selatan mencerminkan pengalaman penulis tidak hanya sebagai wartawan veteran, tapi juga dalam jabatannya sekarang sebagai direktur regional dari Humanitarian Dialogue, badan yang kantor pusatnya di Jenewa. Dalam obrolan beberapa waktu lalu di Singapura, Vatikiotis mengaku dia sendirilah yang mendatangi titik-titik rawan sengketa, dalam upaya menyeret kedua pihak yang bermusuhan ke meja perundingan.

A Rebel to Remember (”Pemberontakan Tak Terlupakan”) membuka dan menerangi lorong-lorong di belakang layar dalam kisah guram kelompok-kelompok yang bagi pembaca dan pemirsa media cetak ataupun elektronik tampil sebagai pelaku terorisme, yang malah menurut beberapa pakar teror merupakan bagian dari Al-Qaidah yang global. Dalam A Rebel to Remember, terangkat gambar yang sangat lokal, dan torehan-torehan warna yang menciptakan lukisan yang lengkap, kendati sangat berdarah, dan amat tragis. Sedangkan dunia luar hanya melihat lukisan kelabu dengan cipratan darah, imaji mengerikan yang sudah dikemas rapi.

Kekuatan Vatikiotis tidak hanya pada penguasaan gaya bahasanya, yang lentur sekaligus menohok, tapi juga pengetahuan intimnya atas bumi tempat cerita berpijak.

Semua ceritanya membuat kita ingin mengetahui lebih jauh walau apa yang kita baca mengupas nilai-nilai kemasyarakatan kita sendiri yang tidak konsisten dan sering teledor; kurang tekad untuk menyelidiki segala yang tampak pada permukaan.

Buku yang patut dibaca.

Dewi Anggraeni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus