Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Setetes Harapan di Lahan Tandus

Dengan sistem irigasi tetes beremiter, areal tandus kini bisa ditanami. Teknologinya bersahaja, tapi bermanfaat langsung bagi kehidupan petani.

22 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEKERINGAN sepertinya identik dengan nasib Nusatenggara. Akibat kekurangan air, banyak lahan telantar di provinsi itu. Namun, sejarah pilu itu mungkin perlahan bisa ditutup bersamaan dengan mengucurnya harapan baru melalui teknik irigasi sistem tetes. Dengan sistem itu, warga Desa Wora Kabupaten Bima di Nusatenggara Barat, misalnya, sejak Agustus 2000 bisa menggarap sawah mereka yang terbengkalai.

Nama sistem irigasi tetes memang unik. Mungkin itu lantaran cara kerjanya berdasarkan aliran air tetes demi tetes. Instalasinya mirip dengan sistem irigasi pipa, yang menggunakan pompa dan menara penampung air. Bedanya, irigasi tetes harus dilengkapi penampung air kecil—bisa terbuat dari botol atau buah labu yang sudah diambil isinya—di beberapa titik di ladang dan emiter (penyaring).

Dengan cara itu, 1,5 liter air bisa mencukupi kebutuhan air bagi empat tanaman selama dua minggu. Jelas, cara ini sangat meringankan warga desa. Biasanya, penduduk harus berjalan sejauh satu kilometer untuk mendapatkan air. Dan yang paling penting, dengan penggunaan air sehemat mungkin, tanaman tak usah tergenang air sekaligus tak perlu sampai kekeringan.

Adalah Hamzah, 40 tahun, seorang penyuluh pertanian di Bima, yang memelopori sistem irigasi tetes. Pria asli Sumbawa itu menjadi penasihat teknis dalam proyek pembangunan jaringan irigasi tetes. Proyek yang berlangsung sejak 1997 di Nusatenggara itu merupakan kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Jerman.

Hamzah sendiri sudah sejak empat tahun lalu mengampanyekan cara menghemat air. Untuk itu, ia memprakarsai penggunaan emiter pada sistem irigasi tetes. Penyaring dimaksud berbentuk seperti telur burung puyuh dan bisa tahan sampai tujuh tahun. Bahan utamanya adalah bentonit, berupa campuran pasir, tanah liat, dan fraksi debu.

Ada dua model sistem irigasi tetes, yakni konvensional dan semi-konvensional. Instalasi untuk sistem konvensional lebih sederhana. Sistem ini hanya butuh penampung air—bisa dari botol, batok kelapa, atau labu—berukuran 1 sampai 1,5 liter yang dihubungkan ke emiter. Satu penampung dan satu emiter bisa digunakan untuk satu tanaman.

Petani tinggal mengisikan air ke penampung. Ia mengisi ulang penampung bila air habis. Biasanya, cara ini dipakai untuk tanaman yang membutuhkan waktu panen lama, seperti mangga atau jambu mete. Memang, model ini bisa membutuhkan banyak penampung dan emiter pada instalasinya.

Pada sistem semi-konvensional, biayanya sedikit lebih mahal. Soalnya, harus ada sarana untuk sumber air dalam jumlah besar, yaitu menara penampung air. Dari bak ini, air dialirkan melalui pipa ke ladang-ladang dengan bantuan pompa. Untuk lahan seluas 4 hektare, hanya dibutuhkan sekitar 40 penyaring. Hal itu bisa dilakukan karena satu emiter tak terbatas untuk satu tanaman. Selain untuk tanaman keras, cara ini juga bisa dipakai untuk tanaman sela, macam tomat atau cabai. Biaya untuk cara ini sekitar Rp 3,6 juta.

Model mana yang dipilih, tentu tergantung besarnya modal. Yang jelas, petani bisa memetik langsung manfaat sistem di atas. Sekadar contoh, sehektare lahan—tak seluruh tanah bisa ditanami, karena masalah kesuburan—bisa ditanami 156 pohon mangga dan 510 cabai. Dengan pola tanam tumpang gilir itu, memang mangga masih lama bisa dipanen. Namun, cabai bisa dipanen setiap tiga bulan, dengan nilai sekitar Rp 1,5 juta. Dibandingkan dengan ongkos sebesar Rp 54 ribu untuk bahan bakar pompa, hasil itu lumayan besar. Apalagi biaya itu tak ditanggung satu petani, melainkan hasil iuran bersama.

Kini proyek pembangunan jaringan irigasi tetes sudah melewati tahap pembagian bibit untuk warga. Segenap petani pun sekarang sibuk mengikuti proses latihan membuat perangkat irigasi. Mereka tampak bersemangat. Tak aneh bila Hamzah merasa optimistis bahwa para petani akan berhasil menerapkan sistem irigasi itu. "Saya berharap mereka kelak bisa mandiri," kata Hamzah.

Agaknya, harapan Hamzah juga menjadi pintu bagi lembaran baru kehidupan sebagian besar masyarakat Nusatenggara yang berpenghasilan rendah. Sebab, dengan teknologi sederhana yang tepat guna itu diharapkan pendapatan petani bertambah. Akibat berikutnya, tentu saja roda perekonomian Nusatenggara bisa semakin terpacu.

Yusi A. Pareanom dan Rommy Fibri (Bima)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus