Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KESUNGGUHAN pemerintah dalam memberantas pembobolan bahan bakar minyak (BBM) kini menjadi taruhan mahal. Betapa tidak, bila harga BBM telah dinaikkan, sementara subsidi negara masih berlanjut, tapi berbagai modus manipulasi emas hitam itu tak kunjung surut. Bahkan salah satu bentuk manipulasinya, yakni penyelundupan lewat laut ke luar negeri, sepertinya semakin sulit dibongkar.
Contohnya, kasus penyelundupan 1,4 juta liter solar ke kapal Kansa berbendera Singapura. Sampai sekarang, perkara yang diusut Kepolisian Daerah Jawa Barat itu baru menyentuh tersangka Hendrik Jonathan Pake, yang setingkat pemain lapangan. Tapi siapa saja "mafioso" alias kakap di belakang Hendrik, juga jaringan komplotan penyelundup itu, masih tersaput kabut gelap.
Kapal tanker Kansa dipergoki polisi di perairan Pulorida, Merak, Jawa Barat, pada malam tanggal 23 Agustus 2000. Ketika itu, Kansa sedang menyedot BBM jenis solar secara ilegal dari kapal tongkang Arimbi, yang ditarik oleh kapal tunda (tugboat) Lohjinawi II. Sebanyak 1,2 juta liter dari 1,4 juta liter solar muatan Arimbi sudah ditransfer ke Kansa.
Begitu digerebek petugas, ternyata Kansa, yang dinakhodai Suseno Yulianto, tak punya dokumen perjalanan yang sah. Itu sebabnya menurut Kepala Direktorat Reserse Kepolisian Daerah Jawa Barat, Senior Superintenden Sarjono, polisi mensinyalir Kansa akan menyelundupkan solar tadi ke luar negeri. Diduga, Kansa mau membawa solar ke Laut Arafura, untuk dijual ke kapal asing.
Tentu saja solar itu nantinya dilego Kansa sesuai dengan harga pasar internasional, yang jauh lebih tinggi dari harga solar di Indonesiawaktu itu Rp 550 per liter. Sarjono memperkirakan, solar itu hendak dijual ke kapal asing Australia dengan harga Rp 3.500 per liter. Itu berarti dari sekali transaksi saja, Kansa bakal memetik keuntungan sampai Rp 4,2 miliar.
Segera polisi menahan Kansa, Arimbi, dan Lohjinawi IIkapal tunda ini acap terlibat kasus penyelundupan BBM. Suseno Yulianto beserta 18 anak buahnya, juga pengemudi Arimbi, Suleman, berikut 16 orang bawahannya, sempat ditahan polisi. Namun, belakangan para anak buah itu dilepaskan karena mereka cuma orang sewaan.
Dari situlah polisi kemudian meringkus Hendrik, 58 tahun. Bekas pegawai Pertamina yang menjadi bos perusahaan agen pelayaran PT Candi Utama Permana itulah yang menyewa Kansa, sekaligus menjadi pembeli solar dari Arimbi.
Toh, Hendrik seakan termakan sumpah. Ia tak hendak bercerita tentang jaringan komplotannya, apalagi menyebutkan para tokoh kuat di belakangnya. Padahal, pada berbagai kasus manipulasi minyak, sudah bukan rahasia lagi bahwa bisnis haram itu melibatkan banyak pihak, termasuk aparat keamanan, bea cukai, pelabuhan, dan Pertamina.
Hendrik sendiri bukanlah tokoh asing di dunia penyelundupan BBM. Ia selalu menggunakan kapal tanker yang berbeda-beda dalam setiap aksinya. Pada 1997, Hendrik pernah tersangkut kasus serupa di Jakarta Utara. Bahkan, kepolisian Jakarta dan Jawa Timur sampai kini masih memburu Hendrik.
Tapi, pada pemeriksaan awal, Hendrik bersikeras mengaku bahwa dirinya baru kali itu terlibat kasus penyelundupan minyak. Ayah dua anak yang sudah punya seorang menantu itu juga membantah tuduhan hendak menjual solar dimaksud ke pihak asing.
"Solar itu bukan hendak dijual ke luar negeri, melainkan untuk masyarakat konsumen Indonesia di Arafura," ujar Hendrik, yang kini terserang penyakit asma dan darah tinggi akibat ditahan hampir dua bulan. Katanya, solar yang dibelinya dengan harga Rp 630 per liter itu akan dijual seharga Rp 800 per liter.
Meski Hendrik "mengunci" diri, polisi akhirnya memperoleh nama Tolib dan Sutoro selaku penyuplai solar ke Hendrik. Sayangnya, menurut polisi, dua tokoh itu keburu kabur ke Sulawesi.
Sementara itu, barang bukti solar telah dilelang di Pandeglang, Jawa Barat, dengan harga Rp 340 per liter. Barang bukti itu, kata kepolisian, hanya sebanyak 0,7 juta liter. Jadi, bukan sebanyak 1,4 juta liter. Menurut sebuah sumber, perbedaan jumlah muatan itu terjadi lantaran Kansa sebelumnya juga mengangkut 0,7 juta liter solar dari Singapura.
Yang jelas, pengusutan kasus penyelundupan BBM yang hanya sampai pada tokoh sekelas Hendrik juga terjadi di daerah penyelundupan lainnya, seperti Sumatra Utara, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Hal itu tentu memprihatinkan. Sebab, jutaan liter BBM yang memakan subsidi uang rakyat terus mengucur ke luar negeri. Itu semua baru yang dari modus manipulasi lewat laut. Belum lagi yang di darat, baik berupa penyelewengan delivery order, pembocoran minyak di jalan, maupun pengoplosan.
Happy S., Rinny Srihartini (Bandung), dan Rian Suryalibrata (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo