Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Terimpit di dalam botol plastik air minum, 22 ekor kakatua berjambul kuning meregang nyawa saat ditemukan Polisi Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, pekan lalu. Hanya separuh yang selamat. Penyelundupan satwa langka itu menuai reaksi keras dari publik. Para pegiat konservasi menuntut agar peraturan konservasi keragaman hayati direvisi.
Usaha penyelundupan kakatua jambul kuning (Cacatua sulphurea) itu terbongkar setelah polisi mencurigai seorang penumpang kapal KM Tidar rute Papua-Makassar-Surabaya-Jakarta. Saat kapal digeledah, selain kakatua jambul kuning, juga ditemukan seekor nuri bayan hijau (Eclectus roratus).
Kakatua jambul kuning termasuk dalam daftar spesies yang dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam juga melarang penangkapan, pemeliharaan, serta jual-beli semua spesies satwa yang dilindungi.
Hanom Bashari, Biodiversity Conservation Specialist dari Burung Indonesia, menduga kakatua yang diselundupkan itu adalah jenis Cacatua galerita, atau kakatua koki. Seperti C. sulphurea, kakatua koki juga memiliki jambul kuning. Namun tubuhnya lebih besar.
Dugaan Hanom didasarkan pada berita yang menyebutkan pelaku mengaku burung-burung itu berasal dari Maluku. Kakatua koki terdapat di Kepulauan Aru, Maluku, dan Papua. "Tidak ada C. sulphurea di Maluku," kata Hanom dalam pesan pendek kepada Tempo, kemarin.
Dibanding kakatua koki, kondisi kakatua jambul kuning memang lebih kritis dan sangat langka. Adapun jumlah kakatua koki masih cukup banyak karena tersebar sampai Australia.
Kelompok Kerja Kebijakan Konservasi mendesak pemerintah segera mengubah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990. Kelompok ini berisi lembaga swadaya masyarakat yang giat mengkampanyekan konservasi alam dan satwa. Mereka menilai undang-undang itu sudah tak kuat lagi menyokong upaya konservasi keanekaragaman hayati, terutama satwa dan tumbuhan langka.
Menurut Samedi, Direktur Program Tropical Forest Conservation Action (TFCA) Sumatera Yayasan Kehati, kasus penyelundupan flora dan fauna langka di Indonesia semakin mengkhawatirkan. "Peraturan itu sudah berusia 25 tahun, perlu diubah" kata dia.
Samedi mengatakan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberi sinyal positif untuk mengubah Undang-Undang Konservasi. "Kebetulan ada kasus penyelundupan yang terbongkar. Jadi, semakin terlihat kebutuhan untuk mengubah peraturan konservasi," ujarnya.
Sofi Mardiah, Manajer Wildlife Trade Policy Programme dari Wildlife Conservation Society (WSC), mengatakan maraknya penyelundupan satwa yang dilindungi, seperti kakatua jambul kuning, menunjukkan bahwa ada masalah besar dalam UU Nomor 5 Tahun 1990.
WSC mencatat ada 88 kasus perdagangan satwa liar hidup atau mati dari berbagai jenis sejak 2010. Dalam sepuluh tahun terakhir, ada 30 kasus perdagangan kakatua dengan rata-rata hukuman yang diterima pelaku kurang dari satu tahun. "Efek jera dari hukuman belum cukup, makanya perlu direvisi," kata Sofi.
Sofi mengatakan, revisi peraturan konservasi sebaiknya juga mengacu pada aturan Konvensi Perdagangan Internasional untuk Spesies Tumbuhan dan Satwa Liar (CITES). "Diatur mengenai masalah perdagangan satwa liar, jadi peraturannya lebih kuat dan lengkap," katanya.
Selain Kehati dan WSC, anggota Pokja Kebijakan Konservasi antara lain WWF Indonesia, Burung Indonesia, dan Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat, melalui petisi online penyelamatan kakatua jambul kuning di laman change.org/KakatuaBotol, mendesak adanya revisi peraturan konservasi alam. Hingga Kamis, 14 Mei 2015, petisi online itu sudah mendapatkan lebih dari 33 ribu pendukung.
Kementerian Lingkungan juga mendesak agar Undang-Undang Konservasi direvisi guna mengatasi kejahatan terhadap satwa liar yang dilindungi (wildlife crime). Apalagi United Nations Office on Drugs and Crime menggolongkan wildlife crime sebagai kejahatan luar biasa. "Ini kejahatan terbesar ketiga setelah senjata ilegal dan obat-obatan terlarang. Para pelakunya pun terorganisasi," kata Indra Exploitasia, Kepala Subdirektorat Program dan Evaluasi Penyidikan dan Pengamanan Hutan KLHK. GABRIEL WAHYU TITIYOGA
Daftar burung yang dilindungi (PP Nomor 7 Tahun 1999)
Ada 93 spesies burung yang disebutkan. Namun peraturan ini juga menyebutkan nama genus dan famili dengan tambahan "semua jenis dari genus atau famili xxx". Artinya semua spesies yang ada dalam daftar genus bahkan famili itu dikategorikan satwa dilindungi. Berikut ini daftar burung yang hanya ditulis nama genus atau familinya.
1. Semua jenis burung alap-alap/elang dari famili Accipitridae, Pandionidae, dan Falconidae.
2. Semua jenis burung udang/raja udang dari famili Alcedinidae.
3. Semua jenis burung julang, enggang, rangkong, kangkareng, dari famili Bucerotidae.
4. Semua jenis burung cendrawasih dari famili Paradiseidae.
5. Semua jenis burung gangsa laut dari famili Pelecanidae.
6. Semua jenis burung paok/burung cacing dari famili Pittidae.
7. Semua jenis burung dara laut dari famili Sternidae.
8. Semua jenis burung maleo/burung gosong dari famili Megapododae.
9. Semua jenis burung madu/jantingan/klaces dari famili Nectariniidae.
10. Semua jenis burung kuntul/bangau putih dari genus Egretta.
11. Semua jenis burung dara mahkota/burung titi/mambruk dari genus Goura.
12. Semua jenis burung gajahan dari genus Numenius.
Kakatua jambul kuning (Cacatua sulphurea)
Kakatua koki (Cacatua galerita)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo