Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Penelitian oleh Health Collaborative Center (HCC) mengungkap bahwa setengah dari populasi Indonesia memiliki sifat overthinking atau pola pikir negatif yang berulang dengan kecenderungan khawatir berlebihan terhadap masa depan. “Overthinking ditemukan secara luas pada separuh orang Indonesia yang diwakili responden penelitian ini," kata Ray Wagiu Basrowi, peneliti utama HCC, dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Senin 24 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ray menerangkan, penelitian melibatkan 1.061 responden dari 29 provinsi selama Januari hingga Februari 2025. Hasilnya ditemukan bahwa 50 persen dari mereka mengalami overthinking, sementara 30 persen mengalami ruminasi yakni kebiasaan berpikir berulang tentang kejadian negatif pada masa lalu tanpa solusi. "Sebanyak 19 persen responden saja yang memiliki pola pikir reflektif yang lebih sehat," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ditambahkannya, berdasarkan temuan survei, overthinking dominan terlihat pada usia muda, kurang dari 40-tahun, perempuan, dan yang tidak bekerja atau yang baru saja kehilangan pekerjaan. Adapun kenaikan harga bahan pokok yang signifikan dan biaya pengobatan yang semakin mahal teridentifikasi menjadi faktor utama yang berisiko terhadap peningkatan kasus overthinking di Indonesia.
Masing-masing Ray menyebutkan, "Meningkatkan risiko overthinking hingga 2,0 dan 2,2 kali lipat." Faktor lainnya seperti informasi politik yang membingungkan yang meningkatkan risiko overthinking hingga 1,8 kali lipat. "Dan faktor kesehatan seperti berita tentang penyakit baru dan risiko wabah, menjadi pemicu dominan overthinking," katanya.
Atas temuannya tersebut, HCC mendesak pemerintah melakukan langkah-langkah yang sistemik untuk mengatasi penyebab-penyebab fenomena pola pikir negatif yang berulang dan berlebihan yang dialami setengah dari populasi Indonesia tersebut. Menurut HCC, dampak dari overthinking tidak hanya terbatas pada kesehatan mental, tetapi juga mempengaruhi produktivitas dan kualitas hidup. Mereka yang sering mengalami pola pikir negatif berulang disebutkan cenderung lebih mudah mengalami stres, kecemasan, dan bahkan depresi.
"Oleh karena itu, sebagai langkah mitigasi, kami merekomendasikan agar overthinking dijadikan sebagai indikator sosial dan kesehatan dalam kebijakan publik," tutur Ray. Selain itu, katanya, peningkatan literasi kesehatan mental serta penyampaian informasi kebijakan yang lebih humanis juga menjadi kunci dalam mengurangi kecemasan dan kekhawatiran berlebihan di masyarakat.
Faktor pemicu tingginya overthinking juga dinilai perlu dimitigasi secara sistemik oleh kebijakan publik di Indonesia. Bagaimanapun, kata Ray, faktor ekonomi, kesehatan, dan pemberitaan terkait konflik politik terbukti berhubungan langsung dengan tingginya angka overthinking pada orang Indonesia berdasarkan penelitian ini. "Sehingga pemerintah juga perlu memastikan stabilitas sosio-politik dan ekonomi terjaga agar orang semakin tidak overthinking," katanya.