Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Suhu Udara Global: Bumi Baru Saja Melalui Februari yang Terpanas

Rekor bulan terpanas kesembilan berturut-turut sejak Juli lalu. Pertengahan tahun ini diprediksi La Nina akan hadir. Suhu udara langsung mendingin?

10 Maret 2024 | 17.32 WIB

Kebakaran hutan membakar area di Santa Juana, dekat Concepcion, Cile, 4 Februari 2023. REUTERS/Ailen Diaz
Perbesar
Kebakaran hutan membakar area di Santa Juana, dekat Concepcion, Cile, 4 Februari 2023. REUTERS/Ailen Diaz

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Planet Bumi baru saja melalui Februari yang terpanas sepanjang sejarah pengukuran suhu udara. Suhu rata-rata global pada Februari lalu terukur 1,77 derajat Celsius lebih tinggi daripada rata-rata global bulan Februari pada masa pra-industri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Angka itu menjadikan Februari 2024 menjadi bulan kesembilan berturut-turut yang mencatatkan rekor suhu panas bulanan. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

"Ini tidak benar-benar mengejutkan karena terus menghangatnya sistem iklim pasti menuntun ke temperatur ekstrem baru," kata Carlo Buontempo, Direktur Copernicus Climate Change Service Uni Eropa, yang memiliki catata pengukuran tersebut. dalam pernyataannya pada 7 Maret 2024.

Benua Eropa melihat panas anomali Februari lalu pada suhu udara rata-ratanya yang meningkat 3,3 derajat Celsius di atas rata-rata bulanan 1991-2020. Suhu udara yang lebih tinggi dan cuaca lebih kering juga mendorong kebakaran hutan dan lahan di Amerika Utara dan Selatan, termasuk kebakaran paling mematikan sepanjang sejarah di Cile, dan kondisi hangat yang tidak biasa di kebanyakan bagian dunia.

Panas di lautan bahkan lebih ekstrem, dengan suhu permukaan laut global rata-rata pada Februari melampaui Agustus 2023 untuk catatan bulan terpanas di laut. Suhu permukaan laut rata-rata sebesar 21,09 derajat Celsius yang dicatat pada hari terakhir Februari lalu adalah juga hari terpanas di laut, dan luasan es di Arktik maupun Antartika terukur di bawah rata-rata.

Ricard Allan dari University of Reading, Inggris, mengatakan rekor panas di darat dan laut terutama karena meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Faktor itu berkombinasi dengan pengaruh pemanasan dari fenomena El Nino di Samudera Pasifik. 

"Reduksi refleksi radiasi matahari yang datang oleh aerosol, karena efek tak terduga dari pengurangan polusi udara, juga berkontribusi ke pemanasan di beberapa lokasi," kata Allan.

El Nino yang muncul pada Juni 2023 lalu telah membantu mengantar 2023 sebagai tahun terpanas sepanjang catatan pengukuran suhu. US National Oceanic and Atmospheric Administration memprediksi El Nino terus melemah dan mungkin bergantian dengan La Nina pada pertengahan tahun ini.

Kalaupun terjadi, pergantian itu tak berarti segera membalik kondisi suhu udaranya. Menurut sejarah, tahun setelah kemunculan El Nino menanggung efek terparah dari pemanasan yang telah terjadi.

NEW SCIENTIST 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus