Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bandung - Tim mahasiswa dan dosen dari Politeknik Manufaktur Bandung memperkenalkan kompor roket kepada warga Desa Sukamandi, Sagalaherang, Kabupaten Subang, Jawa Barat, saat kuliah kerja nyata (KKN) mahasiswa pada Oktober 2024. Hasilnya, beberapa warga diklaim antusias membuat kompor roket di dapur rumahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Bukan untuk alih energi atau konversi tapi sebagai alternatif kompor,” kata ketua tim dosen pembimbing Dedy Ariefijanto kepada Tempo, Jumat 27 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jenis kompor roket yang diminati warga itu seperti tungku tradisional. Bentuknya kotak dari susunan batu bata setinggi lima lapis. Pada bagian dalam kompor itu dipasangi plat besi agar memaksimalkan panas api. Pada kompor ini, pengguna masih harus mendorong kayu agar terbakar.
"Saat dikenalkan ke warga, setidaknya ada tiga orang yang langsung membuat sendiri di rumahnya. Harapan kami warga lain bisa mencontoh," kata Dedy.
Penamaan kompor itu karena bentuknya yang seperti roket, terutama jenis lain yang terbuat dari bahan logam dan bisa dipindah-pindah (portable). Dirancang dengan bentuk khusus, kompor roket yang sepenuhnya berbahan logam setebal 5 milimeter dibuat agar pengguna tidak perlu mendorong kayu bakar, sekam, atau serbuk gergaji.
Sebelum dipakai, kayu harus dibakar dulu kemudian dimasukkan ke lubang kompor yang dibuat miring. Tim juga menyiapkan komponen untuk mendorong arang kayu . Kompor itu sebelumnya telah dipakai saat uji coba untuk berkemah.
Dedy, inisiator pembuatan kompor roket, mengatakan kalau alat memasak itu khusus menggunakan bahan bakar dari limbah kayu dan ranting. Inspirasinya muncul sekitar 3-4 tahun lalu ketika limbah tebangan pohon di lingkungan rumahnya ditolak untuk diangkut oleh petugas kebersihan.
Sebenarnya, menurut Dedy, teknologi kompor roket yang sederhana telah lazim digunakan di luar negeri namun di Indonesia tidak populer. “Kompor roket ini asapnya tidak banyak dan abunya tidak berterbangan,” kata dia.
Agar asapnya tidak banyak mengepul, kayu yang digunakan harus kering. Dedy menerangkan, asap yang ke luar akan ditarik lagi oleh kompor sehingga menjadi siklus. Mekanismenya seperti prinsip fisika perpindahan panas konveksi, yaitu panasnya menghasilkan dorongan dan bagian lain menghisap asap dan kayu.
“Asapnya menjadi terbakar ulang, ditarik terus dibakar lagi hingga bisa tereduksi sekitar 80-90 persen,” ujarnya.
Dedy mengatakan kompor roket itu bisa digunakan di desa yang banyak limbah kayu dari pepohonan atau ranting. Atau pun di perkotaan yang ingin mengatasi limbah kayu dari sisa pembangunan rumah atau gedung. “Efisiensi dari kompor ini dengan sedikit kayu nyala apinya bisa lama hingga jadi abu,” katanya.
Rencananya, tim akan melakukan riset lanjutan untuk pengembangan kompor. Misalnya untuk membuat arah api tidak hanya ke atas melainkan juga bisa memutar. Adapun panas dari badan kompor berpotensi menghasilkan listrik berarus atau tegangan searah (DC) sekitar 3-12 volt.
Pilihan Editor: Apa Itu Geoengineering yang Diklaim Bisa Menurunkan Suhu Bumi?