Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Gejala umum demensia adalah pelupa. Orang awam mengenalinya sebagai pikun. Penyebab demensia beragam, namun yang terutama adalah gangguan fungsi otak.
Riset terbaru di Inggris, yang dilansir jurnal Nature edisi 20 April lalu, menyebut soal faktor tidur yang menjadi pemicu demensia.
Menurut penelitian di jurnal The Lancet, jumlah penderita demensia di dunia sekitar 50 juta orang. Jumlahnya diproyeksi meningkat menjadi 152 juta pada 2050.
LIANA Carolin Sibuea sudah lama merasa ada yang tak beres dengan mamanya, Marintan Siahaan. Dia merasa ibunya kerap bikin gara-gara. Ibunya sering mengajukan pertanyaan yang sama berulang-ulang. Kadang dia lupa meletakkan barang dan menuduh orang lain mengambilnya. Tak terpikir oleh Liana, perilaku itu merupakan gejala awal demensia. “Itu terus berlangsung delapan tahun. Sampai stroke pertama pada 2016 akibat diabetes dan hipertensi,” kata perempuan 37 tahun itu, Jumat, 27 Mei lalu.
Lima tahun yang lalu, Liana masih bekerja sebagai guru di sekolah internasional sehingga tak sempat banyak bertanya ke dokter soal penyakit ibunya. Seusai dirawat selama empat hari di rumah sakit, Marintan diperbolehkan pulang ke rumahnya di Matraman, Jakarta Timur. Merasa ada yang mengganjal tentang sakit ibunya, setahun kemudian Liana kembali membawa sang ibu ke rumah sakit. Barulah dokter memberi diagnosis bahwa Marintan menderita demensia vaskuler.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, Mohammad Hasan Mahfoed mengatakan gejala umum demensia adalah pelupa. Orang awam mengenalnya sebagai pikun. “Entah lupa nama, meletakkan barang, atau lupa nomor telepon rumah. Kemudian meningkat menjadi gangguan perilaku, seperti menyerang atau curiga berlebihan,” tuturnya, Kamis, 26 Mei lalu. Penyebab demensia beragam, tapi yang terutama adalah gangguan fungsi otak.
Riset terbaru di Inggris, yang dilansir jurnal Nature edisi 20 April 2021, menyebut soal faktor tidur yang menjadi pemicu demensia. Setelah meneliti hampir 8.000 orang di Inggris selama sekitar 25 tahun ketika mereka berusia 50 tahun, ditemukan bahwa mereka yang tidur enam jam atau kurang—jumlahnya sekitar 30 persen responden—akan terdiagnosis demensia saat berusia 70 atau 80 tahun.
Pengajar Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta, Yuda Turana, mengaku tak terlalu terkejut dengan hasil riset tersebut. Jurnal The Lancet sebelumnya merilis temuan soal peran perilaku pada usia 50-an tahun terhadap demensia. “Demensia itu penyebabnya multifaktor. Salah satunya adalah tidur,” ucap Yuda, Jumat, 27 Mei lalu.
Menurut Yuda, banyak teori yang menjelaskan bahwa beberapa zat kimia di otak, neurotransmitter, dan aktivitas produksinya terjadi saat tidur malam hari. “Kita diciptakan menjadi makhluk yang malam harus tidur. Beda dengan burung hantu. Restorasi sel otak serta produksi hormon dan zat kimia di otak kita terjadi saat kita tidur itu,” ujarnya.
Hasan berpandangan bahwa tidur menjadi faktor demensia meski tidak langsung. Fungsi tidur, kata Hasan, adalah melakukan regenerasi otak, yang jelek dibuang dan diganti baru. “Kalau misalnya dia tidak tidur, tidak terjadi restrukturisasi dengan baik,” ucapnya. Namun, Hasan menambahkan, itu terjadi kalau kurang tidurnya dalam tingkat ekstrem. Misalnya, kurang dari dua jam.
Menurut penelitian di jurnal The Lancet, jumlah penderita demensia di dunia sekitar 50 juta orang. Jumlahnya diproyeksi meningkat menjadi 152 juta pada 2050. Peningkatan terutama terjadi di negara-negara dengan penghasilan ekonomi rendah dan menengah. Yuda mengatakan, meski belum ada data nasional soal ini, dia bersama empat peneliti lain melakukan penelitian di Yogyakarta pada 2018. “Dari penelitian terhadap 1.970 orang lanjut usia, yang mengalami gejala mirip demensia sekitar 20 persen,” ujarnya.
Faktor yang berkontribusi bagi demensia, menurut Yuda, umumnya adalah pendidikan rendah. Istilahnya adalah cadangan kognitif (cognitive reserve). “Ternyata kalau otak distimulasi dengan pendidikan waktu kita kecil, itu berpengaruh pada cadangan otak di masa tua,” ujarnya. Selain pendidikan, faktor lain adalah kebiasaan merokok, diabetes, dan hipertensi. “Hipertensi ini menyebabkan mati muda. Kalau tua, kita jadi pikun.”
Penanganan terhadap pasien demensia, kata Yuda, dilakukan dengan farmakoterapi dan nonfarmakoterapi. Dokter biasanya akan mengenali lebih dulu jenis demensianya, apakah kognitif atau perilaku. Kalau lupa janji atau lupa sudah pensiun, itu kategorinya kognitif. Untuk perilaku misalnya adalah mengaku melihat hantu. Tapi penemuan obat demensia tergolong tertinggal dan hanya memperlambat penyakit.
Menurut Yuda, belum ada obat yang efektif untuk penderita demensia. Yang ditekankan adalah menghindari faktor risiko dan melakukan deteksi dini. Masalahnya, saat masih berjenis kognitif, demensia kerap diabaikan. Penderita demensia baru dibawa ke dokter saat perilakunya mengganggu. “Padahal, ibarat kanker, itu sudah stadium akhir,” tutur Yuda.
Selama ini, untuk pasien yang mengalami demensia perilaku, pendekatannya tanpa obat. Misalnya, kalau pasien mengaku ada orang lain di kamarnya, dokter biasanya mengevaluasi apakah cermin di kamarnya kebanyakan atau banyak baju tergantung. Sebab, itu bisa menimbulkan kesan ada orang melayang. “Kalau terpaksa, membahayakan pasien dan keluarga, dipertimbangkan pemberian obat,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Faktor lain penyebab demensia adalah kurang gerak. Aktivitas fisik ini bisa berupa senam di tempat atau berjalan dari dapur ke halaman depan. Yuda juga mengingatkan bahaya merasa sendiri (loneliness) di masa pandemi. Meski bersama keluarga, perasaan itu muncul karena orang tua kerap diabaikan. Anak jarang menjenguk atau hanya sebatas menelepon. “Ada penelitian bahwa loneliness itu risikonya sama dengan 10 batang rokok,” ucapnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasan juga menekankan soal aktivitas fisik ini, selain psikis. Meski kini berusia 73 tahun, ia masih aktif mengajar. Ia memang sudah lama tidur kurang dari enam jam. Tapi ia merasa baik-baik saja. “Saya memang insomnia, susah tidur. Cuma bukan insomnia yang patologis destruktif, tapi yang konstruktif. Saat tak bisa tidur, saya mengerjakan paper, membuat soal, mengoreksi ujian,” ujarnya.
Masalah lain dari demensia adalah soal komunikasi. Menurut Yuda, salah satu pasien demensia dibawa ke rumah sakit karena memukul saat diminta mandi. Menghadapi keluhan seperti itu, ia biasanya menyarankan perawatnya memahami kondisi psikologi orang demensia, yang memang pelupa. “Bayangkan jika kita disuruh mandi oleh orang yang tak kita kenal, atau kita tidak ingat? Jelas saja dia memukul,” ucap Yuda.
Psikologi semacam ini, kata Yuda, juga kerap dihadapi jika ada orang tua minta pulang padahal ia di rumahnya. Biasanya ini terjadi kalau misalnya seprai di kamarnya yang biasanya berwarna kuning diganti menjadi warna biru. Kursi tua diganti dengan yang baru. Mungkin niatnya baik, tapi itu membuat dia merasa asing. “Seprai jangan diganti-ganti. Taruh foto pengingat. Itu hal kecil tapi sangat membantu pada demensia perilaku,” ucapnya.
Pasien demensia juga lebih sulit mengungkapkan perasaan. Menurut Yuda, mereka itu kembali seperti bayi. Kalau mereka lapar, sakit, atau demam biasanya diungkapkan dengan menangis. “Menangis itu bukan hanya akibat psikis, bisa juga fisik. Sama seperti anak kecil,” ujarnya. Karena itu, saran pertama bagi perawat demensia adalah jangan berdebat dengan pasien.
Marintan kini berusia 73 tahun. Setelah beberapa kali mengalami stroke, ia lumpuh 99 persen dan tak lagi bicara. Liana yang membantu melakukan semuanya. Di masa pandemi, salah satu hiburannya adalah video call dengan satu cucunya. Mamanya hanya bisa melihat ke layar dan sesekali menyentuhnya. “Sedih melihatnya. Tatapan matanya kadang kosong, seakan tak kenal kita yang tiap hari merawatnya,” kata Liana.
ABDUL MANAN (NATURE.COM)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo