Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Prahara Setelah Pilkada

Puan Maharani dan Ganjar Pranowo bertempur bersama di Jawa Tengah. Ditegur karena tak mengenakan kemeja merah.

29 Mei 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ganjar Pranowo berjabat tangan dengan Puan Maharani usai Seminar Nasional Manusia dan Politik Kebudayaan di Kampus Undip, Semarang, Juli 2019. humas.jatengprov.go.id

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GANJAR Pranowo menganggap hubungannya dengan Megawati Soekarnoputri dan Puan Maharani seperti pepatah Jawa: mikul dhuwur, mendhem jero. Artinya kurang-lebih menghormati dan menjaga nama baik orang tua. Gubernur Jawa Tengah itu mengklaim tak lupa atas jasa keluarga Megawati dalam karier politiknya dan menaruh hormat kepada mereka. Saat dikabarkan hubungannya tak harmonis dengan Puan karena polemik pencalonan presiden, Ganjar mengaku prihatin. “Saya sungguh-sungguh tak enak karena selalu hormat sama Mbak Puan,” katanya di Semarang pada Jumat, 28 Mei lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Relasi Ganjar dan Puan disebut-sebut memanas setelah acara konsolidasi Dewan Pengurus Daerah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Jawa Tengah di Semarang pada Sabtu, 22 Mei lalu. Acara yang dihadiri Puan itu mengundang para kepala daerah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan pengurus partai banteng dari seluruh Jawa Tengah. Tapi Ganjar tak masuk daftar undangan. Ketua PDI Perjuangan Jawa Tengah Bambang Wuryanto mengatakan Ganjar tak diundang karena dinilai berambisi menjadi calon presiden.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hubungan Ganjar dan Puan terjalin lebih dari satu dekade. Ganjar menjadi anggota parlemen sejak periode 2004-2009. Pada pemilihan umum legislatif 2004, Ganjar sebenarnya gagal melenggang ke Senayan—lokasi gedung DPR di Jakarta—tapi dia ditunjuk menjadi pengganti antarwaktu Jakob Tobing, yang didaulat sebagai duta besar di Seoul, Korea Selatan. Sedangkan Puan baru menjadi anggota DPR pada 2009 dengan meraih lebih dari 242 ribu suara—terbanyak kedua di tingkat nasional—di daerah pemilihan Jawa Tengah V, yang meliputi Kabupaten Boyolali, Klaten, Sukoharjo, dan Kota Surakarta.

Baca: Opini: Terjebak dalam Politik Dinasti

Ketika Puan ditunjuk menjadi Ketua Fraksi PDIP di DPR pada 2012, Ganjar memegang jabatan Wakil Sekretaris Fraksi. Baru setahun bekerja sama, Ganjar mundur dari Senayan karena berlaga dalam pemilihan Gubernur Jawa Tengah. Bambang Wuryanto mengatakan Puan mengajukan diri memimpin kampanye Ganjar di Jawa Tengah. “Mbak Puan waktu itu memang ingin menjadi panglima tempur di lapangan,” ucap Bambang.

Menurut Bambang, Puan memimpin langsung rapat pemenangan Ganjar di lantai 2 kantor PDIP Jawa Tengah, setiap Selasa pukul dua siang. Rapat itu dihadiri komandan lapangan di semua daerah pemilihan di Jawa Tengah. Di lantai itu juga terdapat ruangan pusat data yang berisi sejumlah monitor yang menampilkan berbagai informasi, dari peta perolehan suara hingga nama tokoh masyarakat yang mendukung Ganjar. Bambang menyebutkan Puan meminta statistik dukungan tak ditampilkan dalam bentuk persentase, melainkan jumlah suara supaya angkanya lebih riil.

Baca arsip majalah Tempo: Puan Maharani, Edhi Baskoro, Solihin Kalla, para Ahli Waris Takhta

Saat kampanye, Puan sempat menegur Ganjar karena mengganti warna kostum. Alih-alih mengenakan baju merah sebagaimana identitas PDIP, Ganjar beralih ke kemeja putih. Polemik itu tuntas setelah Bambang menjelaskan kepada Puan tentang makna warna putih bagi masyarakat Jawa yang melambangkan ketulusan mengabdi.

Hasil survei sempat menunjukkan Ganjar, yang berpasangan dengan Heru Sudjatmoko dalam pemilihan kepala daerah, kalah dibanding gubernur inkumben, Bibit Waluyo. Namun Ganjar mampu mendulang 48,82 persen suara, unggul 18 persen dibanding Bibit. “Pertempuran ditata penuh Puan Maharani dan Ganjar jadi gubernur. Itu fenomenal,” Bambang mengklaim.

Ganjar mengakui bahwa Puan sangat berjasa dalam kampanye pemilihan Gubernur Jawa Tengah pada 2013. Puan dinilai bisa menggerakkan mesin partai di tengah modal kampanye yang tipis dan elektabilitas Ganjar yang rendah. “Saya masih ingat dan belum lupa, Mbak Puan adalah komandan tempurnya,” katanya.

RAYMUNDUS RIKANG
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Raymundus Rikang

Raymundus Rikang

Menjadi jurnalis Tempo sejak April 2014 dan kini sebagai redaktur di Desk Nasional majalah Tempo. Bagian dari tim penulis artikel “Hanya Api Semata Api” yang meraih penghargaan Adinegoro 2020. Alumni Universitas Atma Jaya Yogyakarta bidang kajian media dan jurnalisme. Mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP) "Edward R. Murrow Program for Journalists" dari US Department of State pada 2018 di Amerika Serikat untuk belajar soal demokrasi dan kebebasan informasi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus