Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KAPAL-KAPAL bertiang tanpa layar berjajar di lautan nan biru, setarikan dengan garis emas memanjang di cakrawala. Teluk Jakarta pada sekitar abad ke-17 itu berhias segelintir ombak putih. Sementara itu, di daerah pesisir atau sekitar muara, rumah-rumah panggung terselip di sela deretan nyiur dengan hamparan dataran menguning di seberangnya. “Kuning lambang kesejahteraan alam yang dianggap punya suasana padi menguning,” kata perupa Srihadi Soedarsono secara daring, Selasa, 8 Juni lalu.
Menjelang ulang tahun Jakarta ke-494 pada 22 Juni 2021, pelukis kelahiran Solo, Jawa Tengah, yang akan genap berusia 90 tahun pada 4 Desember nanti itu mengenalkan karya terbarunya. Berjudul Jayakarta: The Glory of The Past, Present, and Future, Srihadi mengisahkan Jakarta dari masa ke masa. Tarikhnya dimulai dari era kerajaan, masa kini, hingga impian masa depan. Perjalanan Batavia itu dibentangkannya pada kanvas berukuran 4 x 2 meter dengan sapuan cat minyak.
Srihadi membagi periode sejarahnya tanpa bidang dan garis yang lugas seperti batas wilayah pada atlas. Titik awalnya dari bagian kiri atas lalu ke bawah, kemudian bergeser ke kanan lalu mengarah ke atas. Lini masa imajinernya seperti membentuk huruf U. “Terbaca dari kiri ke kanan ibaratnya seorang dalang membuat cerita pada waktu wayang beber,” ujarnya.
Pembabakan di lukisan itu juga bisa mudah dirunut dari bentuk gambar dan komposisi warna pilihannya yang dominan primer, yaitu merah, biru, dan kuning, lalu ditambah putih. Walhasil, Jakarta terkesan begitu benderang, seperti menyala terus sepanjang waktu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jalanan kota Batavia dilihat dari Slingerland karya Johannes Rach. Dok. Perpusnas
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Zona hijau” pada lukisan itu merupakan periode kolonial, dengan ilustrasi gedung-gedung yang masih ada sampai sekarang. Misalnya Istana Negara, Museum Fatahillah, Museum Nasional Indonesia, serta Gedung Arsip Nasional. Bergeser ke tengah lukisan, ada tugu Monumen Nasional atau Monas dan beberapa monumen patung, seperti Selamat Datang, Pembebasan Irian Jaya, dan Gelora Bung Karno. Di area yang dominan berwarna putih itu, Srihadi menandai zaman pasca-kemerdekaan Republik Indonesia.
Beranjak ke bagian kanan bawah, lintasan jalan raya dikepung warna merah. Jakarta yang semakin padat oleh hunian juga bertambah sibuk dan gerah. Namun suasana itu segera didinginkan lagi oleh sapuan cat yang dominan putih serta kekuningan di bagian kanan atas. Di bidang itulah Srihadi menempatkan mimpi dan harapannya tentang kejayaan Jayakarta di masa depan. “Pelabuhan dengan kota-kota yang berkembang misalnya diawali dari pembangunan Tanjung Priok,” tutur Srihadi.
Jauh sebelum Srihadi, sekitar 250 tahun silam, seorang pelukis juga merekam berbagai sudut Batavia dalam kanvasnya. Johannes Rach (1720-1783) meninggalkan untuk kita sekitar 270 lukisan yang sebagian besar merupakan pemandangan Jakarta pada masanya. Sebanyak 202 lukisannya yang sudah direstorasi tersimpan di Museum Nasional serta Museum Fatahillah. Sementara itu, puluhan lukisan lain berada di Belanda. Pada 1919, bertepatan dengan ulang tahun Batavia ke-300, karya-karya Rach dipamerkan di Stedelijk Museum, Amsterdam. Di Jakarta juga pernah ada pameran tunggal lukisan-lukisan Rach pada Juni 1935 yang bertajuk “Oud Batavia” di Kunskringgebouw.
Seperti Srihadi, salah satu lukisan Rach juga menampakkan Teluk Jakarta. Dalam lukisan berjudul Jalanan Kota Batavia Dilihat dari Slingerland, Rach mengabadikan pemandangan kapal-kapal yang membuang sauh di Teluk Jakarta pada 1772. Dalam satu bidang datar itu, tampak dua kehidupan pada masa silam yang saling berdampingan tapi begitu kontras: para nelayan di lautan dan beberapa pria dan perempuan Eropa yang berjalan-jalan dengan payung terkembang di pantai Slingerland yang kini kita kenal dengan nama Ancol.
Rach adalah orang Denmark yang sempat bekerja sebagai pelukis di Haarlem, Belanda. Pada 1762, dia bergabung menjadi perwira artileri untuk Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan menginjakkan kaki di Batavia. Di kota baru ini, Rach justru menarik perhatian berkat bakat melukisnya. Pejabat-pejabat tinggi Belanda di Batavia meminta Rach menggambar kediaman megah mereka. Rach juga bekerja sebagai seniman gambar topografis untuk militer Belanda. Dengan kertas berkualitas tinggi dari Belanda, tinta Cina, kuas, dan air, Rach menghasilkan lukisan yang menangkap dengan begitu rinci lanskap, jalanan, arsitektur, dan kehidupan di Batavia, seperti pemandangan galangan kapal VOC di tepi barat Sungai Ciliwung, Istana Buitenzorg, dan rumah Gubernur Jenderal De Klerk di tepi barat Molenvliet.
Begitu detailnya karya Rach sehingga dijadikan acuan dalam proyek restorasi Oud Batavia (Kota Tua). Pemugaran Taman Fatahillah pada 1990-an dilakukan dengan merujuk pada karya Rach pada 1770. Berbekal lukisan tersebut, lokasi dan bentuk pancuran air yang berada di tengah alun-alun dapat dipastikan. Tatkala penggalian dilakukan di titik tersebut, ditemukan fondasi asli air mancur. Fondasi itu pun digunakan sebagai dasar membangun air mancur yang baru. Berkat lukisan Rach pula para tukang berhasil menemukan pagar di bawah tanah saat membuat terowongan di depan Stasiun Beos di Kota Tua.
Lukisan Johannes Rach yang menggambarkan rumah Gubernur Jendral De Klerk di tepi barat Molenvliet. Dok. Perpusnas
Srihadi tampaknya juga memiliki visi untuk merekam sejarah dalam kanvasnya. Srihadi punya harapan kejayaan Jakarta akan berlanjut di masa depan dan memberikan semangat kepada generasi selanjutnya. Dia membangun kebiasaan membuat sketsa dengan pensil dan kertas untuk mendokumentasikan berbagai peristiwa. “Kita catat gambaran untuk generasi yang akan datang,” ujarnya.
Sebelumnya pembuat logo gajah Ganesha untuk Institut Teknologi Bandung itu pernah membuat lukisan berjudul Jayakarta juga. Ukurannya 12 x 3 meter persegi atau 4,5 kali lebih jumbo dibanding yang sekarang. Temanya soal Jakarta pada masa itu. Di rubrik Memoar majalah Tempo terbitan 19 Mei 2014, Srihadi mengatakan lukisan itu pesanan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin untuk dipasang di ruang kerjanya.
Pembuatan lukisan Jayakarta versi terbaru itu, menurut Srihadi, terhitung yang paling lama selama kariernya. Sejak muncul gagasan hingga rampung, Srihadi memerlukan waktu dua tahun. Alasannya, dia harus menekuni tema satu per satu sesuai dengan periode perkembangan Batavia dan gambar rincinya untuk dituangkan ke kanvas. Selain itu, dia harus melakukan studi pustaka untuk meriset foto dan dokumentasi lawas.
Namun, dalam perancangan atau sketsa lukisannya kini, Srihadi meninggalkan pensil dan gulungan kertas. Sambil duduk santai, tangannya luwes menggambar dengan pena digital di layar komputer tablet. Dengan gawai dia merasa lebih lancar dan mudah mengoreksi kesalahan. “Perkembangan teknologi itu menguntungkan untuk saya dalam menyatakan ide-ide,” katanya.
Di tengah pembangunan Ibu Kota yang menggilas berbagai memori dan sejarah kota, lukisan Rach ataupun Srihadi patut ditengok kembali untuk mengingatkan kita akan apa yang sudah hilang dan apa yang patut selalu dijaga seiring dengan bertambahnya usia Jakarta.
ANWAR SISWADI, MOYANG KASIH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo