Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Upaya pencarian titik lokasi tenggelamnya Kapal Van der Wijck yang diduga disekitar perairan Lamongan hampir menemukan titik terang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pencarian titik persis bangkai Kapal Van der Wijck ini dilaksanakan oleh BPCB Jawa Timur sejak 27 April hingga 5 Mei 2021 mendatang dalam program Survei Cagar Budaya Bawah Air di Kabupaten Lamongan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam survei ini, tim mengumpulkan berbagai informasi dari para penduduk dan nelayan setempat. Proses penyisiran titik lokasi tenggelamnya kapal yang kemudian menjadi judul novel Buya Hamka ini dilakukan dengan menggunakan sonar di beberapa titik
Seperti dikutip Tempo dari laman Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur, Minggu 2 Mei 2021, dari hasil penyisiran, tim berhasil menemukan titik yang diduga lokasi karamnya kapal Van der Wijck yang berjarak 17 mil dari daratan. Berdasar data yang diperoleh, diketahui bahwa kapal memiliki panjang lebih dari 150 meter dan karam di kedalaman 28-38 meter.
Selama proses survei yang masih berlangsung, tim akan terus melakukan penyelaman dan pendokumentasian di bawah air untuk mengumpulkan data. Proses ini untuk memperoleh daya tang lengkap untuk mengidentifikasi apakah kapal karam tersebut benar merupakan kapal Van der Wijck.
Kegiatan survei ini dilaksanakan BPCB Jawa Timur bekerja sama dengan Pemkab Lamongan, dan melibatkan beberapa pihak yang terkait, seperti PB Possi, Polairut Polres Lamongan, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia, dan Rukun Nelayan Paciran Lamongan.
Kegiatan survei ini melibatkan 13 orang personil dari BPCB Jawa Timur, 5 orang personil dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Lamongan, 2 orang Dive Master dari PB Possi, 1 orang dari Polairut Polres Lamongan, dan 6 orang dari nelayan setempat.
Peristiwa tenggelamnya Kapal Van der Wijck menjadi dikenal oleh masyarakat Indonesia karena novel yang ditulis oleh Buya Hamka yang berjudul “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” yang ditulis pada tahun 1939. Novel ini kemudian difikmkan pada 2013 dengan judul yang sama.
Novel ini mengisahkan persoalan adat yang berlaku di Minangkabau dan kisah perbedaan latar belakang sosial yang menghalangi hubungan sepasang kekasih hingga berakhir dengan kematian.
Karena itu, banyak yang mengira bahwa kisah tenggelamnya Kapal Ven der Wijck hanya fiksi semata. Namun sebenarnya, tenggelamnya Kapal Van der Wijck ini adalah peristiwa nyata yang memang benar-benar terjadi.
Peristiwa ini merupakan fakta sejarah. Bukti pertama adalah adanya monumen tugu peringatan sebagai ucapan terima kasih kepada para nelayan yang telah menolong para korban saat kapal van der wijck mengalami kecelakaan pada tanggal 19 oktober 1936. Tugu peringatan ini saat ini masih berdiri kokoh di halaman Kantor Perikanan Brondong, di Lamongan.
Kapal Van der Wijck merupakan kapal penumpang mewah yang dimiliki oleh Perusahaan Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) di Rotterdam pada tahun 1921 yang kemudian digunakan untuk melayani pelayaran di Indonesia.
Perusahaan KPM inilah kemudian menjadi cikal bakal perusahaan pelayaran Indonesia (PT Pelni). Nama Van der Wijck diambil dari nama Gubernur Jenderal Hindia, yaitu Jonkheer Carel Herman Aart Van Der Wijck yang memerintah pada tahun 1893 hingga 1899.