Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Widya graha, satu harapan

Peresmian gedung kantor pusat lipi "widya graha", oleh presiden soeharto, bersamaan dengan ulang tahun lipi yang ke-15. (ilt)

4 September 1982 | 00.00 WIB

Widya graha, satu harapan
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SATU gedung bulat setinggi 50 meter, dengan dinding eksteriornya dari keramik putih, diberi nama Widya Graha. Artinya "rumah ilmu pengetahuan". Sejak Agustus 1982, ia resmi jadi kantor pusat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indoensia (LIPI). Arsitekturnya tidak melenceng banyak dari bentuk lambang LIPI yang berwarna biru tenang. Disainnya bulat, mencerminkan siklus kegiatan manusia sebagai pemrakarsa ilmu pengetahuan. Kesan keseluruhannya adalah: gedung LIPI yang baru ini memang unik dan modern. Dan lebih dari itu, dia dirancang dengan semangat LIPI. Strukturnya, misalnya, menggunakan sistem rangka dengan dinding geser. Semua ini dibuat setelah "mempelajari peta gempa bumi di Indonesia," ujar Ketua LIPI Prof. Dr. Tb. Bachtiar Rivai dalam pidato pembukaannya. "Khususnya wilayah (Jalan Gatot Soebroto) Jakarta." Pembuatannya juga memikirkan kemungkinan gedung ini memanfaatkan faktor alamiah secara optimal. Misalnya, pada siang hari sedapat mungkin tidak usah digunakan penerangan listrik. Demi hemat energi. Pertukaran udara juga diusahakan semaksimal mungkin, bisa terjadi secara alamiah dengan memakai sistem ventilasi silang. Lubang di tengah (skylight) nantinya diharapkan bisa menerapkan teknologi tenaga surya. Dalam kata-kata Bachtiar Rivai, Widya Graha ini secara keseluruhan mencakup "makna fungsionaris dan simbolis." Tujuh tingkat (bagian bawah) akan dijadikan ruang pengelolaan dan pembinaan. Empat lantai di atasnya untuk ruang penelitian. Nantinya masih akan dilengkapi lagi dengan gedung serbaguna (auditorium) dan pusat komputer. Agaknya ini memang hadiah istimewa bagi ulang tahun LIPI yang ke-15. Harganya Rp 5,3 milyar. Kegiatan ilmiah di Indonesia -- dari arsip tertulis yang ada telah dimulai di awal abad ke-16. Biasanya tidak dilakukan penelitian secara khusus, melainkan hanya sambilan berdasarkan kesenangan saja. Jacob Bontius, yang jadi pegawai administrasi pemerintah Hindia Belanda waktu itu, mempelajari flora Nusantara. Kemudian Rumphius berhasil membuat karya Herbarium Aboinense. Di akhir abad ke-18, C.G.C. Reinwardt mendirikan 's Lands Plantentuin atas prakarsa Bataviaasch Genootchap van kunsten en Wetenschappen (Himpunan Betawi untuk Kesenian dan Ilmu Pengetahuan) di Buitenzorg, yang kemudian terkenal dengan Kebun Raya Bogor. Baru pada tahun 1928, pemerintah Belanda dengan resmi membentuk Natuurwetenschappelijke Raad voor Nederlandsch-Indie (Majelis Ilmu Pengetahuan Alam untuk Hindia Belanda). Duapuluh tahun kemudian -- setelah Belanda mencoba berkuasa kembali di Indonesia setetelah pendudukan Jepang --Belanda mengubah perkumpulan yang mempunyai tujuan penelitian khusus untuk kepentingan (dan keuntungan) Belanda, menjadi Natuurwetenschappelijk onderzoek (Organisasi untuk Penelitian Ilmu Pengetahuan Alam). Tahun 1950, setelah penyerahan kedaulatan, ia berganti nama Indonesia: Organisasi untuk Penyelidikan dalam Ilmu Pengetahuan Alam (OPIPA), yang cuma berumur sampai tahun 1956. Kemudian lahir Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI) yang berdiri secara otonom di bawah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Badan ini tidak mempunyai lembaga-lembaga penelitian. Tugasnya cuma sekedar membimbing perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memberi nasihat kepada pimpinan pemerintah dalam kebijaksanaan ilmu pengetahuan. Karena riset dirasa diperlukan, Departemen Urusan Research Nasional (Durenas), berdiri tahun 1962, sementara MIPI mendapat tambahan tugas membina berbagai Lembaga Nasional. Durenas berganti nama lagi menjadi Lemrenas yang cuma berumur pendek. Dan baru di tahun 1967, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terbentuk -- dan menghapus semua organisasi ilmu pengetahuan dan lembaga penelitian tadi -- lewat suatu Keputusan Presiden No. 128. Lembaga Non-Departemen ini langsung bertanggung jawab kepada Presiden. Sampai Agustus 1973, lembaga ilmu pengetahuan ini diketuai oleh Prof. Sarwono Prawirohardjo, dokter ahli kandungan RS Cipto Mangunkusumo. Di samping tiga bidang yang mengelola Ilmu Pengetahuan Alam, Teknologi dan Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (Humanoria). LIPI kini mempunyai Sekretaris yang membawahkan 12 biro, termasuk Biro Hukum dan Patent. Jaringan LIPI juga cukup luas. Bukan saja membawahkan Kebun Raya Bogor atau Cibodas. LIPI juga mempunyai kebun penelitian tersebar seperti di Pasuruan, Bedugul (Bali), stasiun penelitian oseanologi di Pulau Pari (teluk Jakarta) dan Pulau Ambon di Maluku. Juga ada tempat latihan geologi-pertambangan di Karangsambung (Kedu Selatan). Secara bergiliran pula, prasarana fisik telah diberikan kepada satuan-satuan ilmu-ilmu pengetahuan. Baru pada Pelita III ini, giliran bagi satuan-satuan Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan yang kini kantornya berpusat di gedung yang baru dan yang sebelumnya tersebar di tempat di Jakarta. Termasuk Leknas (Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional) dan LRKN (Lembaga Research Kebudayaan Nasional) juga berkantor di Widya Graha. Pada galibnya, hampir semua tenaga yang ada di LIPI adalah para ahli yang juga mengajar di berbagai perguruan tinggi. Terutama yang ada di kota-kota besar. Lantas seberapa besar seorang LTPI, terutama tenaga peneliti, harus memberikan dedikasinya kepada ilmu? Drs. R.I Wahono MA sebagai tenaga peneliti Leknas LIPI mempersoalkan tentang dedikasi dan unsur penunjangnya. "Tenaga peneliti adalah manusia biasa," tulis Wahono dalam harian Komps. Agar ia bekerja dengan tenang, kebutuhan minimal harus dipenuhi. Wahono memang tidak menyebutkan persentase, tetapi dia menyatakan dalam lokakarya Rencana Induk Pengembangan (Rinbang) LIPI Juli, 1982, bahwa jumlah tenaga yang keluar semakin besar. Banyak tenaga peneliti yang harus datang berkendaraan sendiri ke kantor. Dalam Anggaran Belanja Rutin 81/82, tercantum biaya Rp 28.189.821 untuk Sub Sektor Penelitian yang ada di berbagai tempat di Indonesia. Sedikit sekali. Lomba Karya Ilmiah Remaja di tahun 1980 saja, yang diselenggarakan LIPI, konon mendapat anggaran biaya Rp 20 juta lebih (TEMPO, 12 April 1980). Dan lomba ini telah dirintis sejak tahun 1971, dengan kenyataan mutunya kini kalah kalau dibandingkan dengan Lomba Karya Ilmu Pengetahuan Bagi Remaja yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Mutu yang kalah ini juga meliputi kualitas jurinya. LIPI masuk ke dunia remaja dalam usianya yang 15 tahun ini. Gedung yang baru dan modern memberi harapan untuk bekerja lebih bermutu lagi. Seperti diharapkan Presiden Soeharto, waktu peresmiannya: "Mungkin sudah banyak hasil yang dicapai, namun pasti jauh lebih banyak lagi tugas-tugas yang harus dikerjakan." Antara lain ia harus memperkuat barisan ke-606 tenaga sarjana LIPI. Dedikasi atau periuk nasi, yang mana yang harus didahulukan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus