SATU gedung bulat setinggi 50 meter, dengan dinding
eksteriornya dari keramik putih, diberi nama Widya Graha.
Artinya "rumah ilmu pengetahuan". Sejak Agustus 1982, ia resmi
jadi kantor pusat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indoensia (LIPI).
Arsitekturnya tidak melenceng banyak dari bentuk lambang LIPI
yang berwarna biru tenang. Disainnya bulat, mencerminkan siklus
kegiatan manusia sebagai pemrakarsa ilmu pengetahuan. Kesan
keseluruhannya adalah: gedung LIPI yang baru ini memang unik dan
modern. Dan lebih dari itu, dia dirancang dengan semangat LIPI.
Strukturnya, misalnya, menggunakan sistem rangka dengan dinding
geser. Semua ini dibuat setelah "mempelajari peta gempa bumi di
Indonesia," ujar Ketua LIPI Prof. Dr. Tb. Bachtiar Rivai dalam
pidato pembukaannya. "Khususnya wilayah (Jalan Gatot Soebroto)
Jakarta."
Pembuatannya juga memikirkan kemungkinan gedung ini memanfaatkan
faktor alamiah secara optimal. Misalnya, pada siang hari sedapat
mungkin tidak usah digunakan penerangan listrik. Demi hemat
energi. Pertukaran udara juga diusahakan semaksimal mungkin,
bisa terjadi secara alamiah dengan memakai sistem ventilasi
silang. Lubang di tengah (skylight) nantinya diharapkan bisa
menerapkan teknologi tenaga surya. Dalam kata-kata Bachtiar
Rivai, Widya Graha ini secara keseluruhan mencakup "makna
fungsionaris dan simbolis."
Tujuh tingkat (bagian bawah) akan dijadikan ruang pengelolaan
dan pembinaan. Empat lantai di atasnya untuk ruang penelitian.
Nantinya masih akan dilengkapi lagi dengan gedung serbaguna
(auditorium) dan pusat komputer. Agaknya ini memang hadiah
istimewa bagi ulang tahun LIPI yang ke-15. Harganya Rp 5,3
milyar.
Kegiatan ilmiah di Indonesia -- dari arsip tertulis yang ada
telah dimulai di awal abad ke-16. Biasanya tidak dilakukan
penelitian secara khusus, melainkan hanya sambilan berdasarkan
kesenangan saja. Jacob Bontius, yang jadi pegawai administrasi
pemerintah Hindia Belanda waktu itu, mempelajari flora
Nusantara. Kemudian Rumphius berhasil membuat karya Herbarium
Aboinense. Di akhir abad ke-18, C.G.C. Reinwardt mendirikan 's
Lands Plantentuin atas prakarsa Bataviaasch Genootchap van
kunsten en Wetenschappen (Himpunan Betawi untuk Kesenian dan
Ilmu Pengetahuan) di Buitenzorg, yang kemudian terkenal dengan
Kebun Raya Bogor.
Baru pada tahun 1928, pemerintah Belanda dengan resmi membentuk
Natuurwetenschappelijke Raad voor Nederlandsch-Indie (Majelis
Ilmu Pengetahuan Alam untuk Hindia Belanda). Duapuluh tahun
kemudian -- setelah Belanda mencoba berkuasa kembali di
Indonesia setetelah pendudukan Jepang --Belanda mengubah
perkumpulan yang mempunyai tujuan penelitian khusus untuk
kepentingan (dan keuntungan) Belanda, menjadi
Natuurwetenschappelijk onderzoek (Organisasi untuk Penelitian
Ilmu Pengetahuan Alam). Tahun 1950, setelah penyerahan
kedaulatan, ia berganti nama Indonesia: Organisasi untuk
Penyelidikan dalam Ilmu Pengetahuan Alam (OPIPA), yang cuma
berumur sampai tahun 1956.
Kemudian lahir Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI) yang
berdiri secara otonom di bawah Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan. Badan ini tidak mempunyai lembaga-lembaga
penelitian. Tugasnya cuma sekedar membimbing perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta memberi nasihat kepada pimpinan
pemerintah dalam kebijaksanaan ilmu pengetahuan.
Karena riset dirasa diperlukan, Departemen Urusan Research
Nasional (Durenas), berdiri tahun 1962, sementara MIPI mendapat
tambahan tugas membina berbagai Lembaga Nasional. Durenas
berganti nama lagi menjadi Lemrenas yang cuma berumur pendek.
Dan baru di tahun 1967, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) terbentuk -- dan menghapus semua organisasi ilmu
pengetahuan dan lembaga penelitian tadi -- lewat suatu Keputusan
Presiden No. 128. Lembaga Non-Departemen ini langsung
bertanggung jawab kepada Presiden. Sampai Agustus 1973, lembaga
ilmu pengetahuan ini diketuai oleh Prof. Sarwono Prawirohardjo,
dokter ahli kandungan RS Cipto Mangunkusumo.
Di samping tiga bidang yang mengelola Ilmu Pengetahuan Alam,
Teknologi dan Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan
(Humanoria). LIPI kini mempunyai Sekretaris yang membawahkan 12
biro, termasuk Biro Hukum dan Patent. Jaringan LIPI juga cukup
luas. Bukan saja membawahkan Kebun Raya Bogor atau Cibodas. LIPI
juga mempunyai kebun penelitian tersebar seperti di Pasuruan,
Bedugul (Bali), stasiun penelitian oseanologi di Pulau Pari
(teluk Jakarta) dan Pulau Ambon di Maluku. Juga ada tempat
latihan geologi-pertambangan di Karangsambung (Kedu Selatan).
Secara bergiliran pula, prasarana fisik telah diberikan kepada
satuan-satuan ilmu-ilmu pengetahuan. Baru pada Pelita III ini,
giliran bagi satuan-satuan Ilmu Pengetahuan Sosial dan
Kemanusiaan yang kini kantornya berpusat di gedung yang baru dan
yang sebelumnya tersebar di tempat di Jakarta. Termasuk Leknas
(Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional) dan LRKN (Lembaga
Research Kebudayaan Nasional) juga berkantor di Widya Graha.
Pada galibnya, hampir semua tenaga yang ada di LIPI adalah para
ahli yang juga mengajar di berbagai perguruan tinggi. Terutama
yang ada di kota-kota besar. Lantas seberapa besar seorang LTPI,
terutama tenaga peneliti, harus memberikan dedikasinya kepada
ilmu?
Drs. R.I Wahono MA sebagai tenaga peneliti Leknas LIPI
mempersoalkan tentang dedikasi dan unsur penunjangnya. "Tenaga
peneliti adalah manusia biasa," tulis Wahono dalam harian
Komps. Agar ia bekerja dengan tenang, kebutuhan minimal harus
dipenuhi. Wahono memang tidak menyebutkan persentase, tetapi dia
menyatakan dalam lokakarya Rencana Induk Pengembangan
(Rinbang) LIPI Juli, 1982, bahwa jumlah tenaga yang keluar
semakin besar. Banyak tenaga peneliti yang harus datang
berkendaraan sendiri ke kantor.
Dalam Anggaran Belanja Rutin 81/82, tercantum biaya Rp
28.189.821 untuk Sub Sektor Penelitian yang ada di berbagai
tempat di Indonesia. Sedikit sekali. Lomba Karya Ilmiah Remaja
di tahun 1980 saja, yang diselenggarakan LIPI, konon mendapat
anggaran biaya Rp 20 juta lebih (TEMPO, 12 April 1980). Dan
lomba ini telah dirintis sejak tahun 1971, dengan kenyataan
mutunya kini kalah kalau dibandingkan dengan Lomba Karya Ilmu
Pengetahuan Bagi Remaja yang diselenggarakan oleh Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Mutu yang kalah ini juga meliputi
kualitas jurinya.
LIPI masuk ke dunia remaja dalam usianya yang 15 tahun ini.
Gedung yang baru dan modern memberi harapan untuk bekerja lebih
bermutu lagi. Seperti diharapkan Presiden Soeharto, waktu
peresmiannya: "Mungkin sudah banyak hasil yang dicapai, namun
pasti jauh lebih banyak lagi tugas-tugas yang harus
dikerjakan."
Antara lain ia harus memperkuat barisan ke-606 tenaga sarjana
LIPI. Dedikasi atau periuk nasi, yang mana yang harus
didahulukan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini