MEMANG ada tinja di mana-mana, tapi mawar pun ada di mana-mana.
Atas pengamatan pribadi itulah ndoro pangeran Odoyevsky mengaum:
"Hai kamu orang para penulis! Apa tidak bisa kamu karang ihwal
yang bermanfaat, yang bawa kesejukan, memekarkan hati yang
kuncup, bukan pemandangan gurem-gurem melulu? Gunanya apa
melolong tiap hari, membuat air mata jatuh berurai dan kepala
pening. Tidak bisa juga? Nanti kularang kalian menulis baru
rasa!"
Sungguh benar ndoro yang satu ini. Dan menakutkan. Itu sebabnya
tak akan ada tulisan yang terenyuh ketemu anak muda gagal
perintis, biasa-biasa saja seperti papasan seekor burung gereja
lalu di atas kepala. Di mana-mana ada barang itu, di mana-mana
ada yang tak mampu lolos dari lubangnya. Lagi pula, kenapa
urusan macam begitu jadi pikiran benar tak lebih dari satu
noktah dalam samudra urusan yang tepinya sejauh mata memandang.
Seorang anak muda putra tertua pegawai negeri harus menambah
nyala lampu pijar dan memakai kacamata dan berlarian mengejar
bimbingan tes yang sama banyaknya dengan tukang jual bubur
kacang ijo dan menguras sampai sen terakhir anggaran rumah
tangga. Saatnya tiba, duduklah dia ikuti testing seperti umumnya
penonton sepakbola memenuhi stadion, menggantungkan nasibnya
kepada isi kepala dan makhluk mutakhir yang namanya komputer.
Waktu pengumuman tak ada nama dan nomor ujiannya tercantum dia
pun tersenyum ke langit dan maklum semaklum-maklumnya jumlah
bangku tak sebanding dengan jumlah peminat dan betapa susahnya
tugas negeri bidang pendidikan, tidak semudah membangun toko dan
hotel-hotel.
Tak mau dia mengganggu bapaknya, apalagi tidaklah sopan
memberati pegawai negeri. Tak mau dia mendesak bapaknya jadi
dewa, atau jadi pencuri. Pun membiarkan diri jadi generasi
sontoloyo, generation of vipers, rasanya kurang menarik. Bukan
karena apa, kebanyakan sontoloyo harganya akan turun. Bagusnya
aku ini mandiri saja, simpulnya singkat. Siapa yang bilang itu?
Oh ya, patriot Amerika Latin Jose Figueres -- nama ini tidak
pernah ditanyakan dalam testing -- "La Lucha San in",
perjuangan tiada ujung. Bagaimana wujudnya akan ditentukan
kemudian lewat kebijaksanaan tersendiri.
Maunya membangun, membangun "seperti bukan manusia sehingga
binatang buas minggir semua" meminjam misalnya Ehrenburg, tapi
niat membangun bagi seorang yang tidak lulus perintis adalah
jauh panggang dari api. Terpelanting kalau tidak terlempar --
dari putaran kebudayaan baru yang gagah perkasa dan sendirinya
kurang ramah tamah serta getir. Jadi bagaimana mestinya?
Mestinya tentu saja: perjuangan tiada ujung. Maka dengan langkah
pasti diayunkan langkah menuju laut sebagaimana dianjurkan oleh
banyak orang. Sambil mengempit The Deepnya Peter Benchley sang
anak muda menyelusuri sela karang, meresapi benar betapa besar
makna wawasan nusantara Begitu besarnya sampai-sampai seluruh
ujung jari tidak mampu menyentuh dan jerit pekiknya lenyap entah
ke mana.
Kini giliran memeriksa warna. Mula menyelam darah menjadi hijau.
Oleh serapan air sinar matahari menjadi pudar Oleh pudarnya ini
apa yang namanya warna merah paling cepat sirna sedangkan warnah
hijau paling bertahan. Lebih dari 100 kaki sang hijau pun tak
bisa tegak lagi, undur ingsut beringsut. Tempatnya lekas
diduduki warna biru. Tapi makin melampaui 200 kaki tak ada lagi
warna bersisa kecuali hitam Darah pun menjadi hitam. Anak muda
itu menjadi hitam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini