MULA-MULA tanaman air itu didatangkan untuk melengkapi koleksi
botani Kebun Raya Bogor. Tanaman itu -- eceng gondok( Eichhornia
crassipes) -- berasal dari Brazilia, Amerika Selatan dan masuk
ke Indonesia sekitar tahun 1894. Ternyata ia tumbuh sangat
cepat, bahkan tak urung segera menyebar melalui Sungai Ciliwung
ke dalam badan air lain di pantai utara Jawa.
Karena bunganya yang indah, banyak orang tertarik, lantas
membawanya ke daerah masing-masing. Bahkan juga Raja Muangthai
yang tahun 1897 berkunjung ke Kebun Raya Bogor, tertarik dan
membawanya pulang ke Bangkok. Kini orang Muangthai terpaksa
bergulat dengan tanaman itu yang menyumbat saluran irigasi dan
perairan lainnya. Tak lupa mereka memberi nama yang pantas bagi
eceng gondok itu: Praktob Java yang berarti "penyakit dari
Jawa".
"Awal tahun 1900, eceng gondok sudah mulai menjadi masalah
(lingkungan) di Asia Tenggara," ujar Ir. Soeprapto. Ia
bertahun-tahun melakukan penelitian tentang gulma air di
Indonesia. Hingga bulan lalu ia berhasil meraih gelar doktor
dalam ilmu pertanian dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Soeprapto Mangoendihardjo, 44 tahun, mempertahankan disertasinya
yang berjudul Serangga Pemakan Tumbuhan Pada Beberapa Jenis
Gulma Air di Indonesia. Pada pokoknya dia berpendapat bahwa hama
penyakit atau gulma hendaknya diberantas dengan cara alamiah dan
bukan dengan obat-obatan.
Menurut Soeprapto, penggunaan obat untuk memberantas hama
penyakit punya efek negatif yang lebih banyak. Obat itu juga
membunuh banyak musuh alami hama itu. Misalnya hama wereng.
Sebelum tahun 1970 wereng sudah ada, tapi waktu itu kebanyakan
petani menanam padi jenis tradisional dan hampir tidak
menggunakan pestisida. Akibatnya musuh alami wereng seperti
kumbang buah misalnya, dapat mengendalikannya dengan baik.
Kemudian orang mulai menggunakan bibit unggul bersamaan dengan
penggunaan pestisida yang meningkat. Musuh alami wereng ikut
terbunuh dan terjadilah ledakan hama wereng setiap kali,
menuntut jenis padi yang lebih unggul lagi dan pestisida yang
lebih ampuh. "Orang tidak mau repot-repot," ujar Soeprapto,
"Pokoknya main semprot."
Pemberantasan dengan cara alami bisa 5 sampai 10 kali lebih
murah, berarti penghematan, menurut Soeprapto. Dia sudah mencari
musuh alami sejumlah gulma air yang ada di Indonesia. Ia
menemukan 10 jenis serangga yang punya potensi untuk itu.
Di antaranya ada dua jenis yang belum pernah dipelajari orang
lain di Indonesia. Keduanya itu ialah ulat daun (Proxenus hennia
Swinhoe) dan penggerek batang (Aorus ferrugineus Boh). Berbagai
jenis lain ulat daun (Syntomis germana Feld) pada eceng gondok,
ulat kantung (Nymphula responssalis Wlk), pada kayambang, kutu
daun (Rhopalesiphum nymphaeae L.) pada kayu apu, kumbang daun
(Haltica sp pada rubah, kumbang daun H. cyanea (Web.) dan
penggerek buah Nanophyes nigritulus Boh) pada lombokan,
penggerek batan (Schoenobius Sp.) serta penggerak daun dan
batang (Cosmopterix attenuatella Wlk).
Dari 7 jenis gulma air yang jadi obyek penelitian -- eceng
gondok, kayambang molesta, kayu apu, krokot air, rubah,
lombokan dan wlingen -- ditemukan 28 jenis serangga pemakan
tumbuhan itu. Namun 18 di antaranya termasuk perusak tanaman
budidaya lain juga. Dari 10 jenis yang tersisa, 4 punya inang
khusus dan potensi merusak yang tinggi. Yaitu: Proxenus hennia
pada kayu apu, Haltica sp pada rubah, Haltica cyanea dan
Hanophyes nigritulus. "Keempat jenis serangga itu dapat dikelola
menjadi sarana pengendalian hayati bagi gulma yang
bersangkutan," ujar Soeprapto.
Selama ini khusus untuk eceng gondok belum diketahui musuh alami
yang berarti. Namun Biotrop di Bogor sudah melakukan penelitian
atas sejumlah serangga yang berasal dari Florida, AS. "Ada
beberapa jenis serangga, tapi yang dianggap potensial ialah
Neochetina eichhorniae," kata Soeprapto lagi. Menurut dia,
serangga itu telah diizinkan Menteri Pertanian untuk diteliti
lebih lanjut.
BIOTROP sudah menelitinya selama 3 tahun dan serangga itu
ternyata dapat hidup baik di Indonesia. Bila kelak
disebarluaskan di berbagai daerah, serangga ini diduga dapat
menekan populasi eceng gondok. Tapi dalam satu percobaan di
tahun 1979 di Cibinong, tcrnyata serangga itu juga memakan daun
tanaman laos, yang kini secara ekonomis kurang penting.
Memang kewaspadaan dalam mendatangkan serangga dari luar perlu
sekali. Tapi, kata Soeprapto, "menurut penelitian di luar
negeri, serangga itu tidak menimbulkan apa-apa pada tanaman
ekonomis." Serangga Neochetina eichhorniae ini hidup pada
pangkal eceng gondok. Larvanya makan tangkai daun dan bagian
pangkal batang di sekitar titik tumbuh.
Selama ini orang memberantas eceng gondok dengan membakarnya
untuk kompos, seperti halnya di Rawa Pening, Ja-Teng. Juga
dipergunakan herbisida 2,4 D untuk mematikan gulma itu, dengan
berbagai akibat sampingan tentunya. Bisa juga diterapkan
pengendaliannya secara hayati, menggunakan serangga, ikan dan
jamur parasit. Agaknya disertasi Soeprapto memberikan harapan
baru bagi pembasmian gulma air yang cukup merepotkan itu.
Soeprapto, setelah lulus dari (jurusan Agronomi) Fakultas
Pertanian UGM tahun 1965, beberapa kali belajar pada berbagai
instansi di luar negeri. Kini ia bekerja sebagai Junior
Scientist di Biotrop, Bogor. Gelar doktor itu membuatnya yang
ke-45 yang berpromosi di UGM, Yogyakarta. Doktor baru itu
sekarang sudah membuat lebih 20 karya ilmiah, dan ia mengajar
juga mata kuliah Pengendalian Hayati di UGM.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini