Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Serangga Anti Eceng Gondok

Ir. soeprapto mangoendihardjo, 44, meraih gelar doktor dalam ilmu pertanian dari universitas gajah mada, dengan disertasi "serangga pemakan tumbuhan pada beberapa jenis gulma air di Indonesia".(ling)

4 September 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MULA-MULA tanaman air itu didatangkan untuk melengkapi koleksi botani Kebun Raya Bogor. Tanaman itu -- eceng gondok( Eichhornia crassipes) -- berasal dari Brazilia, Amerika Selatan dan masuk ke Indonesia sekitar tahun 1894. Ternyata ia tumbuh sangat cepat, bahkan tak urung segera menyebar melalui Sungai Ciliwung ke dalam badan air lain di pantai utara Jawa. Karena bunganya yang indah, banyak orang tertarik, lantas membawanya ke daerah masing-masing. Bahkan juga Raja Muangthai yang tahun 1897 berkunjung ke Kebun Raya Bogor, tertarik dan membawanya pulang ke Bangkok. Kini orang Muangthai terpaksa bergulat dengan tanaman itu yang menyumbat saluran irigasi dan perairan lainnya. Tak lupa mereka memberi nama yang pantas bagi eceng gondok itu: Praktob Java yang berarti "penyakit dari Jawa". "Awal tahun 1900, eceng gondok sudah mulai menjadi masalah (lingkungan) di Asia Tenggara," ujar Ir. Soeprapto. Ia bertahun-tahun melakukan penelitian tentang gulma air di Indonesia. Hingga bulan lalu ia berhasil meraih gelar doktor dalam ilmu pertanian dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Soeprapto Mangoendihardjo, 44 tahun, mempertahankan disertasinya yang berjudul Serangga Pemakan Tumbuhan Pada Beberapa Jenis Gulma Air di Indonesia. Pada pokoknya dia berpendapat bahwa hama penyakit atau gulma hendaknya diberantas dengan cara alamiah dan bukan dengan obat-obatan. Menurut Soeprapto, penggunaan obat untuk memberantas hama penyakit punya efek negatif yang lebih banyak. Obat itu juga membunuh banyak musuh alami hama itu. Misalnya hama wereng. Sebelum tahun 1970 wereng sudah ada, tapi waktu itu kebanyakan petani menanam padi jenis tradisional dan hampir tidak menggunakan pestisida. Akibatnya musuh alami wereng seperti kumbang buah misalnya, dapat mengendalikannya dengan baik. Kemudian orang mulai menggunakan bibit unggul bersamaan dengan penggunaan pestisida yang meningkat. Musuh alami wereng ikut terbunuh dan terjadilah ledakan hama wereng setiap kali, menuntut jenis padi yang lebih unggul lagi dan pestisida yang lebih ampuh. "Orang tidak mau repot-repot," ujar Soeprapto, "Pokoknya main semprot." Pemberantasan dengan cara alami bisa 5 sampai 10 kali lebih murah, berarti penghematan, menurut Soeprapto. Dia sudah mencari musuh alami sejumlah gulma air yang ada di Indonesia. Ia menemukan 10 jenis serangga yang punya potensi untuk itu. Di antaranya ada dua jenis yang belum pernah dipelajari orang lain di Indonesia. Keduanya itu ialah ulat daun (Proxenus hennia Swinhoe) dan penggerek batang (Aorus ferrugineus Boh). Berbagai jenis lain ulat daun (Syntomis germana Feld) pada eceng gondok, ulat kantung (Nymphula responssalis Wlk), pada kayambang, kutu daun (Rhopalesiphum nymphaeae L.) pada kayu apu, kumbang daun (Haltica sp pada rubah, kumbang daun H. cyanea (Web.) dan penggerek buah Nanophyes nigritulus Boh) pada lombokan, penggerek batan (Schoenobius Sp.) serta penggerak daun dan batang (Cosmopterix attenuatella Wlk). Dari 7 jenis gulma air yang jadi obyek penelitian -- eceng gondok, kayambang molesta, kayu apu, krokot air, rubah, lombokan dan wlingen -- ditemukan 28 jenis serangga pemakan tumbuhan itu. Namun 18 di antaranya termasuk perusak tanaman budidaya lain juga. Dari 10 jenis yang tersisa, 4 punya inang khusus dan potensi merusak yang tinggi. Yaitu: Proxenus hennia pada kayu apu, Haltica sp pada rubah, Haltica cyanea dan Hanophyes nigritulus. "Keempat jenis serangga itu dapat dikelola menjadi sarana pengendalian hayati bagi gulma yang bersangkutan," ujar Soeprapto. Selama ini khusus untuk eceng gondok belum diketahui musuh alami yang berarti. Namun Biotrop di Bogor sudah melakukan penelitian atas sejumlah serangga yang berasal dari Florida, AS. "Ada beberapa jenis serangga, tapi yang dianggap potensial ialah Neochetina eichhorniae," kata Soeprapto lagi. Menurut dia, serangga itu telah diizinkan Menteri Pertanian untuk diteliti lebih lanjut. BIOTROP sudah menelitinya selama 3 tahun dan serangga itu ternyata dapat hidup baik di Indonesia. Bila kelak disebarluaskan di berbagai daerah, serangga ini diduga dapat menekan populasi eceng gondok. Tapi dalam satu percobaan di tahun 1979 di Cibinong, tcrnyata serangga itu juga memakan daun tanaman laos, yang kini secara ekonomis kurang penting. Memang kewaspadaan dalam mendatangkan serangga dari luar perlu sekali. Tapi, kata Soeprapto, "menurut penelitian di luar negeri, serangga itu tidak menimbulkan apa-apa pada tanaman ekonomis." Serangga Neochetina eichhorniae ini hidup pada pangkal eceng gondok. Larvanya makan tangkai daun dan bagian pangkal batang di sekitar titik tumbuh. Selama ini orang memberantas eceng gondok dengan membakarnya untuk kompos, seperti halnya di Rawa Pening, Ja-Teng. Juga dipergunakan herbisida 2,4 D untuk mematikan gulma itu, dengan berbagai akibat sampingan tentunya. Bisa juga diterapkan pengendaliannya secara hayati, menggunakan serangga, ikan dan jamur parasit. Agaknya disertasi Soeprapto memberikan harapan baru bagi pembasmian gulma air yang cukup merepotkan itu. Soeprapto, setelah lulus dari (jurusan Agronomi) Fakultas Pertanian UGM tahun 1965, beberapa kali belajar pada berbagai instansi di luar negeri. Kini ia bekerja sebagai Junior Scientist di Biotrop, Bogor. Gelar doktor itu membuatnya yang ke-45 yang berpromosi di UGM, Yogyakarta. Doktor baru itu sekarang sudah membuat lebih 20 karya ilmiah, dan ia mengajar juga mata kuliah Pengendalian Hayati di UGM.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus