Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Yan Unik Dari Sul-sel

Andi Zainal Abidin Farid menyelesaikan disertasinya tentang "Wajo pada abad XV-XVI". Pada abad XV orang Wajo sudah mengenal hak azasi manusia. Kedudukan rakyat dan raja berimbang. (ilm)

21 April 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SESUDAH meraih Sarjana Hukum dari dan mengajar Ilmu Hukum Pidana di Universitas Hasanuddin, dia masih ada waktu untuk belajar bahasa Bugis Lontara (inskripsi di atas daun lontar). Istilah tehnis lontara pun dipelajarinya dari orang sedaerahnya. Akhirnya, selesai pula disertasinya tentang "Wajo' pada abad XV-XVI" -- setebal 795 halaman. Dan 3 April lalu dia meraih gelar Doktor dalam Ilmu Sastra/Sejarah dengan predikat memuaskan dari Universitas Indonesia. "Di antara daerah-daerah lain di Sulawesi Selatan, Wajo yang paling unik," kata Andi' Zainal Abidin Farid yang memberi alasan mengapa pilihannya jatuh pada kampung halamannya sendiri. Dr. Farid lahir di desa Gilireng, kabupaten Wajo, 53 tahun lalu. Disebutnya unik karena hanya lontara di Wajo-lah yang mempunyai lembaran sampai 600 buah banyaknya - kumpulan dengan kisah yang komplit yang bisa memudahkan penelitian kerajaan-kerajaan di Indonesia di masa lampau. Juga ini berarti bahwa suatu kesimpulan bisa segera diambil. Peninggalan lontara di daerah lain di Sulawesi Selatan, paling banter hanya mencapai 50 lembar saja. Sebabnya? "Karena peperangan antar kerajaan kecil di abad 18, penulisan terhenti," ujar Abidin Farid. Sementara Raja Lamapayung Puana Salowung di tahun 1764 telah memerintahkan kabinetnya untuk menulis secara resmi sejarah Wajo'. Apa yang didapat Abidin Farid dalam 600 lembar lontara (dan beberapa bibliografi lain) ialah konsepsi kekuasaan di Wajo. "Di abad XV orang Wajo sudah mengenal Hak Azazi Manusia," katanya, "dan itu yang saya kagumi." Sementara sejarah pemikiran Eropa di abad yang sama (zaman Renaissance) Niccolo Machiavelli juga mengemukakan tentang studia humanitatis. Ammaradekangeng -- hak kemerdekaan individu -- telah dikenal di Wajo. Kedudukan yang berimbang antara rakyat dan raja (penguasa), dijaga betul, dan ini tidak hanya terdapat di Wajo. Di kerajaan Babauae (kini Bone) di bawah pemerintahan Ratu Cinnottabi ada bahasa perlambang yang berbunyi "raja tidak memperlakukan rakyat bagaikan "air yang mengalir dari hulu ke muara," sedangkan rakyat tidak boleh bersikap bagaikan air pasang yang naik ke pantai," (Abdurrazak Daeng Patunru, 1964). Di Wajo bahkan ada semacam governmental contract antara rakyat dan raja. Dan raja dipilih oleh Dewan Rakyat yang terdiri dari 3 orang (matoa, triumvirate) dan para pa'danreng (pendamping, penasehat). Wewenang raja didapat dari bawah, rakyat dan Dewan Rakyat yang mendampinginya. Orang Wajo yang hanya "mempertuan adat berdasarkan persetujuan mereka" ini toh masih membatasi kekuasaan raja. Yaitu pertama, peraturan adat dan petuah yang tertulis dalam buku Latoa, Rapang dan lontara' ade'. Raja yang melanggar adat-adat (hukum) yang telah ditentukan akan diadili oleh Dewan Adat dan dia dianggap bukan turunan tomanurung alias "insan kamil". Hal yang kedua, tentang siri'. Raja harus mempertaruhkan nama baik, kehormatan dan harkat martabat keluarganya. Termasuk tidak boleh mengambil hak orang lain. Siri' dalam arti sebenarnya "martabat harga diri kalau dihina," demikian Abidin Farid. Artinya, tidak boleh mendahului orang lain dalam berkelahi dan untuk menjaga siri' kita harus menghormati siri' orang lain. "Bukan kalau tersinggung, terus main bunuh," kata Abidin Farid. Menunjukkan Generasi Muda Dan satu hal yang menarik dari disertasi Abidin Farid ialah Raja La Tadampare yang waktu itu kekuasaan kerajaan Wajo meliputi hampir seluruh propinsi Sulawesi Selatan sekarang. Pada suatu hari, Raja meminta kepada Dewan Rakyat agar mau merobah isi kontrak pemerintahan. Karena La Tadampare ingin mencalonkan puteranya menjadi raja penggantinya. Dewan bersidang dan keputusan apapun belum bisa diambil, biarpun telah berapat selama 3 bulan lamanya. Pimpinan rapat dipegang oleh paman La Tadampare sendiri, yang bernama La Tiringeng. Melihat kesibukan La Tiringeng, puteranya yang masih berusia 9 tahun, bernama La Paturusi berkata singkat "Yang berhak mewarisi tahta kerajaan adalah semua "putera La Tadampare". Ternyata biarpun orang yang keluar dari biji mata raja, kalau tidak memiliki sifat-sifat sang Raja, dia hanya rai lase saja. La Tadampare akhirnya tidak berhasil mencalonkan puteranya. Permintaannya hanyalah kalau Raja meninggal, -- demikian menurut lontara' -- abu jenazahnya dipakai sebagai arung matoa selama 3 tahun. Secara simbolik, arung matoa itulah yang menjadi "hakim" kalau terjadi perselisihan. Abidin Farid setelah mendapat gelar Doktor ini ditanya: Apakah berniat mengajar di Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin? "Tidak," jawabnya,"saya 'kan orang Hukum Pidana, yah kembali ke sana." Tambahnya lagi: "Tujuan saya menggali barang dulu, untuk menunjukkan pada generasi muda agar dapat meIebihi generasi sebelumnya."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus