SESUDAH meraih Sarjana Hukum dari dan mengajar Ilmu Hukum Pidana
di Universitas Hasanuddin, dia masih ada waktu untuk belajar
bahasa Bugis Lontara (inskripsi di atas daun lontar). Istilah
tehnis lontara pun dipelajarinya dari orang sedaerahnya.
Akhirnya, selesai pula disertasinya tentang "Wajo' pada abad
XV-XVI" -- setebal 795 halaman. Dan 3 April lalu dia meraih
gelar Doktor dalam Ilmu Sastra/Sejarah dengan predikat memuaskan
dari Universitas Indonesia.
"Di antara daerah-daerah lain di Sulawesi Selatan, Wajo yang
paling unik," kata Andi' Zainal Abidin Farid yang memberi alasan
mengapa pilihannya jatuh pada kampung halamannya sendiri. Dr.
Farid lahir di desa Gilireng, kabupaten Wajo, 53 tahun lalu.
Disebutnya unik karena hanya lontara di Wajo-lah yang mempunyai
lembaran sampai 600 buah banyaknya - kumpulan dengan kisah yang
komplit yang bisa memudahkan penelitian kerajaan-kerajaan di
Indonesia di masa lampau. Juga ini berarti bahwa suatu
kesimpulan bisa segera diambil.
Peninggalan lontara di daerah lain di Sulawesi Selatan, paling
banter hanya mencapai 50 lembar saja. Sebabnya? "Karena
peperangan antar kerajaan kecil di abad 18, penulisan terhenti,"
ujar Abidin Farid. Sementara Raja Lamapayung Puana Salowung di
tahun 1764 telah memerintahkan kabinetnya untuk menulis secara
resmi sejarah Wajo'.
Apa yang didapat Abidin Farid dalam 600 lembar lontara (dan
beberapa bibliografi lain) ialah konsepsi kekuasaan di Wajo. "Di
abad XV orang Wajo sudah mengenal Hak Azazi Manusia," katanya,
"dan itu yang saya kagumi." Sementara sejarah pemikiran Eropa di
abad yang sama (zaman Renaissance) Niccolo Machiavelli juga
mengemukakan tentang studia humanitatis.
Ammaradekangeng -- hak kemerdekaan individu -- telah dikenal di
Wajo. Kedudukan yang berimbang antara rakyat dan raja
(penguasa), dijaga betul, dan ini tidak hanya terdapat di Wajo.
Di kerajaan Babauae (kini Bone) di bawah pemerintahan Ratu
Cinnottabi ada bahasa perlambang yang berbunyi "raja tidak
memperlakukan rakyat bagaikan "air yang mengalir dari hulu ke
muara," sedangkan rakyat tidak boleh bersikap bagaikan air
pasang yang naik ke pantai," (Abdurrazak Daeng Patunru, 1964).
Di Wajo bahkan ada semacam governmental contract antara rakyat
dan raja. Dan raja dipilih oleh Dewan Rakyat yang terdiri dari 3
orang (matoa, triumvirate) dan para pa'danreng (pendamping,
penasehat). Wewenang raja didapat dari bawah, rakyat dan Dewan
Rakyat yang mendampinginya.
Orang Wajo yang hanya "mempertuan adat berdasarkan persetujuan
mereka" ini toh masih membatasi kekuasaan raja. Yaitu pertama,
peraturan adat dan petuah yang tertulis dalam buku Latoa, Rapang
dan lontara' ade'. Raja yang melanggar adat-adat (hukum) yang
telah ditentukan akan diadili oleh Dewan Adat dan dia dianggap
bukan turunan tomanurung alias "insan kamil". Hal yang kedua,
tentang siri'. Raja harus mempertaruhkan nama baik, kehormatan
dan harkat martabat keluarganya. Termasuk tidak boleh mengambil
hak orang lain.
Siri' dalam arti sebenarnya "martabat harga diri kalau dihina,"
demikian Abidin Farid. Artinya, tidak boleh mendahului orang
lain dalam berkelahi dan untuk menjaga siri' kita harus
menghormati siri' orang lain. "Bukan kalau tersinggung, terus
main bunuh," kata Abidin Farid.
Menunjukkan Generasi Muda
Dan satu hal yang menarik dari disertasi Abidin Farid ialah Raja
La Tadampare yang waktu itu kekuasaan kerajaan Wajo meliputi
hampir seluruh propinsi Sulawesi Selatan sekarang. Pada suatu
hari, Raja meminta kepada Dewan Rakyat agar mau merobah isi
kontrak pemerintahan. Karena La Tadampare ingin mencalonkan
puteranya menjadi raja penggantinya. Dewan bersidang dan
keputusan apapun belum bisa diambil, biarpun telah berapat
selama 3 bulan lamanya.
Pimpinan rapat dipegang oleh paman La Tadampare sendiri, yang
bernama La Tiringeng. Melihat kesibukan La Tiringeng, puteranya
yang masih berusia 9 tahun, bernama La Paturusi berkata singkat
"Yang berhak mewarisi tahta kerajaan adalah semua "putera La
Tadampare". Ternyata biarpun orang yang keluar dari biji mata
raja, kalau tidak memiliki sifat-sifat sang Raja, dia hanya rai
lase saja. La Tadampare akhirnya tidak berhasil mencalonkan
puteranya. Permintaannya hanyalah kalau Raja meninggal, --
demikian menurut lontara' -- abu jenazahnya dipakai sebagai
arung matoa selama 3 tahun. Secara simbolik, arung matoa itulah
yang menjadi "hakim" kalau terjadi perselisihan.
Abidin Farid setelah mendapat gelar Doktor ini ditanya: Apakah
berniat mengajar di Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin?
"Tidak," jawabnya,"saya 'kan orang Hukum Pidana, yah kembali ke
sana." Tambahnya lagi: "Tujuan saya menggali barang dulu, untuk
menunjukkan pada generasi muda agar dapat meIebihi generasi
sebelumnya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini