Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Malang - Salah seorang keluarga penyintas Tragedi Kajuruhan, Devi Athok Yulfitri, 44 tahun, trauma dan berjanji tidak akan menonton sepak bola. Ia kehilangan keluarga yang dicintai, dua putri dan mantan istri pada 1 Oktober 2022. Ketiganya Natasya Devi Ramadhani, 16 tahun, Naila Debi Anggraini, 13 tahun dan Gebi Asta Putri Purwoko, 37 tahun, meninggal dengan kondisi wajah membiru dan mulut mengeluarkan busa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya sejak kejadian ini tidak akan menonton sepak bola sampai mati. Trauma, tidak akan nonton tarkam maupun piala dunia.,” kata Devi, Jumat, 22 September 2023. Percuma, katanya, tak ada jaminan keamanan dan keselamatan. Sedangkan penonton membeli tiket dengan harga mahal. Pertandingan yang seharusnya menjadi hiburan, berubah menjadi tragedi kemanusiaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Devi Athok kerap mengajak Natasya menonton tertandingan klub Arema sejak anaknya masih bayi pada 2007, bahkan ikut tur pertandingan di sejumlah kota. Namun, sejak terjadi dualisme Devi Athok berhenti menonton Arema. “Saya berdosa, menanamkan fanatisme buta,” katanya. Sudah cukup, kata dia, tidak perlu menonton sepak bola.
Awalnya, Devi Athok juga bakal menemani kedua putrinya menonton laga Arema FC vs Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan yang berakhir dengan tragedi itu. Namun, dalam perjalanan pulang dari Situbondo terjadi kemacetan hingga tak bisa menemani menonton. “Saya wanti-wanti menonton di gate 4. Jangan di gate 11-13, sering terjadi gesekan,” tuturnya.Devi Athok menunjukkan foto kedua putrinya semasa menonton pertandingan sepak bola di stadion Kanjuruhan, Kepanjen, Kabupaten Malang. Tempo / Eko Widianto
Namun, ternyata mereka menonton di gate 13. Devi hanya menonton pertandingan melalui siaran langsung pertandingan Arema FC lawan Persebaya di televisi melalui gawai. Saat memasuki Arjosari, Kota Malang, ia melihat di media sosial terjadi kerusuhan usai laga tersebut. Temannya, sesama suporter, Iwan (Nawi) Junaedi meninggal. Kemudian berturut-turut sejumlah suporter Arema FC menulis “ada gas air mata”. "Padahal saat siaran langsung tidak ada apa-apa. Dikabari ada chaos,” katanya.
Seorang temannya mengabari jika Natasya meninggal. Jenazah di RS Wava Husada. Devi langsung memacu kendaraan ke rumah sakit. Ia menemukan Natasya terbujur kaku, tak bernyawa. “Saya peluk, saya lihat jenazah. Wajah menghitam seperti terbakar. Mulut berbusa,” katanya.
Lantas ia menelepon Naila, namun tak ada respons. Naila ditemukan teman-teman Devi Athok dalam kondisi tak bernyawa di stadion Kanjuruhan. Kondisi jenazah, katanya, tak ada luka. “Hati hancur, saya pingsan. Di sebelah Natasya, mamanya. Ditidurkan berbaris,” katanya.
Sejak kecil, Devi Athok menuturkan, Natasya bercita-cita menjadi polisi. Ia menyiapkan dana untuk masa depan buah hatinya yang tengah menempuh pendidikan di SMKN 1 Kota Malang. “Ternyata Tasya meninggal dibunuh polisi. Sangat sangat menyesali,” ucap dia.
Pillihan Editor: Ketua Umum PSSI Erick Thohir: Duka Mendalam Keluarga Korban Tragedi Kanjuruhan Tak Akan Hilang